Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH KE-NU-AN Tinjauan Historis Peran NU dalam Menjaga Kebhinekaan

EL-RO said :

DISUSUN GUNA MEMENUHI TUGAS INDIVIDU

DOSEN : K.H. ALI MU’IN AMNUR, Lc. M.Pd.I












Disusun oleh :
Luthfi Rosyadi (1631037)



Ilmu Al Qur’an Dan Tafsir / Ushuluddin Dakwah / Semester 1
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
IAINU KEBUMEN
2016


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya, ssehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul “MAKALAH KE-NU-AN : Tinjauan Historis Peran NU dalam Menjaga Kebhinekaan”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan juga kita semua hingga hari kiamat kelak.
Makalah ini merupakan tugas individu yang diberikan di Fakultas Ushuludin Dakwah IAINU Kebumen, yaitu oleh beliau Bapak K.H Ali Mu’in Amnur, lc. M.Pd.I, diharapkan makalah ini dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa IAINU, khususnya mahasiswa Ushuludin Dakwah prodi Ilmu Qur’an dan Tafsir.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, demi perbaikan dimasa yang akan datang.

                                                                                    Kebumen, 02 Januari 2017
                                                                                    Penulis,







 

 

 

DAFTAR ISI













 

BAB I

Pendahuluan

A.     Latar Belakang

Sejarah Indonesia selalu diwarnai dengan adanya berbagai konflik horizontal, baik konflik antar suku, agama, ras, maupun antar golongan. Realitas kemajemukan di Indonesia memang rentan konflik jika Pancasila sebagai ideologi pemersatu tidak dihayati oleh segenap warga negara. Dalam kasus-kasus intoleransi agama, umat Islam sebagai kaum mayoritas sering menjadi pelaku dalam kekerasan atas nama agama yang menjadikan umat agama lain atau umat Islam yang tidak sepaham dengan mereka sebagai korban, sebut saja bom Bali I dan II, kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah, kekerasan terhadap penganut Syiah di Sampang, dan bom di sebuah Vihara di Tangerang. Tentu kasus-kasus kekerasan semacam itu bertentangan dengan prinsip Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) seperti yang dipahami oleh Nahdlatul Ulama (NU).

B.     Rumusan masalah

1.      Bagaimanakah Pluralisme dalam Islam dan Ke-Indonesia-an ?
2.      Bagaimanakah hubungan NU dan Pluralisme dalam Sejarah ?

C.     Tujuan penulisan makalah :

1.      Mengetahui Pluralisme dalam Islam dan Ke-Indonesia-an
2.      Mengetahui hubungan NU dan Pluralisme dalam Sejarah













BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pluralisme dalam Islam dan Ke-Indonesia-an

Secara etimologis, arti kata “pluralisme” sebenarnya sangat mudah dipahami, “plural” berarti jamak atau banyak jumlah. Dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme diartikan sebagai suatu teori yang menyatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi. Istilah “pluralisme” memiliki beberapa makna tergantung pada wacana apa yang dirujuknya. Konsep ini pada awalnya dikemukakan oleh filsuf Cristian Wolff dan Immanuel Kant yang menekankan doktrin tentang kemungkinan pandangan-pandangan dunia dikombinasikan dengan kebutuhan untuk mengadopsi sudut pandang universal penduduk dunia.
Dalam konteks ilmu sosial, pluralisme berarti pengakuan terhadap keragaman dalam masyarakat dan sebagai prasyarat bagi pilihan dan kebebasan individu, dalam hal ini pluralisme menghadapi dua tantangan yaitu berbagai bentuk monisme dan sesuatu tanpa bentuk yaitu anarki dan anomi. Selain itu, konsep ini juga memberi kesadaran pada masyarakat akan banyaknya sub-entitas, dan di sisi lain pluralisme juga merupakan pengakuan seseorang yang positif terhadap pluralitas, yang selanjutnya sikap ini membawa seseorang untuk terlibat aktif dalam pluralitas tersebut. Pluralisme bukan hanya semata-mata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan, namun juga menuntut keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, aplikasi pluralisme adalah setiap pemeluk agama bukan saja dituntut untuk mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam ke-bhineka-an. Pluralisme bukan kosmopolitanisme, karena kosmopolitanis hanya menunjuk pada suatu realita di mana keanekaragaman agama hidup dalam suatu lokasi, juga bukan relativisme karena konsekuensi dari paham ini adalah adanya doktrin bahwa agama apapun harus dinyatakan benar. Karena itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa, sehingga konsep ini tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi. Pluralisme juga tidak bisa disamakan dengan sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Permasalahan pluralitas menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika kehidupan manusia, namun hal itu tidak secara otomatis menjadi jaminan bahwa manusia akan mampu memahami secara holistik pluralisme itu, sehingga ketika adanya pluralitas berbenturan dengan berbagai kepentingan ideologi, politik, agama, dan lain-lain, maka realitas pluralitas yang semula bersifat wajar berubah menjadi problem yang serius. Misalnya ketika pemeluk suatu agama mengklaim bahwa agamanya adalah mutlak benar (truth claim) dan mencaci agama lain yang dianggapnya salah, tentu akan menyinggung penganut agama lain dan pada akhirnya akan berujung konflik antar pemeluk agama.
Dahulu, ketika komunitas pemeluk suatu agama masih hidup terisolasi dari komunitas pemeluk agama lain karena belum majunya sistem komunikasi dan transportasi, klaim kebenaran mutlak semacam itu tidak menimbulkan masalah. Mereka bisa hidup tenang menjalankan ajaran agamanya, tanpa ada pihak lain yang mengusiknya. Tetapi setelah dunia ini “mengecil” karena era globalisasi dan kecanggihan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi, klaim kebenaran oleh suatu umat beragama bisa menimbulkan masalah, karena ternyata pemeluk agama lain juga mengemukakan hal yang sama8. Faktor ajaran agama telah menjadi sumber intoleransi karena adanya pemihakan kebenaran atas agama tertentu. Orang lain yang tidak seagama dengan dia dianggap salah, kafir, berdosa, dan tidak selamat.
Islam sesungguhnya memandang pluralisme sebagai suatu keniscayaan, seperti yang dijelaskan di dalam Al-Quran : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. 49: 13)
Ajaran tasawuf (sufisme) memandang pluralisme dalam beragama dengan lebih ekstrem. Dalam tasawuf dikenal istilah wahdat al-adyan (kesatuan agama-agama) yang digagas Al-Hallaj pada masa Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Konsep ini menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan selama ratusan tahun. Ajaran ini meyakini bahwa pada dasarnya semua agama berasal dari dan akan kembali pada pokok yang satu, karena memancar dari yang satu. Dalam konsep ini, perbedaan yang ada dalam berbagai agama sekadar perbedaan dari segi bentuk dan namanya, sedangkan hakikatnya sama, bertujuan sama, yakni mengabdi pada Tuhan yang sama. Jadi, semua agama, apapun namanya berasal dari Tuhan yang sama dan bertujuan sama.
Pluralisme juga menjadi salah satu unsur bagi tegaknya demokrasi, karena pluralisme menolak segala bentuk pemaksaan untuk memasuki suatu agama tertentu. Pluralisme juga mengedepankan rasa menghargai perbedaan agama dan menghormati pemeluk agama lain untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pengakuan terhadap hak-hak kaum minoritas juga menjadi salah satu prinsip pluralisme, yaitu memberikan perlindungan terhadap para pemeluk suatu agama minoritas untuk menjalankan agamanya agar terbebas dari tekanan kaum mayoritas. Perbedaan agama sejatinya merupakan perbedaan paling mendasar dalam kehidupan masyarakat, dan dalam sejarah, agama merupakan penyebab utama ketegangan dan konflik di antara bermacam-macam pengikut agama. Dengan pluralisme, realitas kemajemukan agama bukan menjadi penghalang bagi kita untuk bersahabat dengan pemeluk agama lain. Dari persahabatan itu kita dapat meraih kebaikan bersama, karena atas dasar persahabatan itulah jalan untuk mencapai kesepakatan mudah digapai.
Islam di Indonesia disebut sebagai suatu entitas karena memiliki karakter yang khas yang membedakannya dengan Islam di negara lain, karena perbedaan sejarah dan perbedaan latar belakang geografis serta latar belakang budaya. Selain itu, Islam yang datang ke Indonesia juga memiliki strategi dan kesiapan tersendiri antara lain, pertama, Islam datang dengan mempertimbangkan tradisi, tradisi lokal yang ada diapresiasi kemudian dijadikan sarana pengembangan Islam. Kedua, Islam datang dengan tidak mengusik agama atau kepercayaan apapun yang telah ada sebelumnya, sehingga bisa hidup berdampingan dengan mereka. Ketiga, Islam datang mendinamisasi tradisi sebelumnya sehingga Islam diterima sebagai suatu tradisi sekaligus sebagai agama. Keempat, Islam menjadi agama yang mentradisi, sehingga orang tidak bisa meninggalkan Islam dalam kehidupan mereka.

B.     NU dan Pluralisme dalam Sejarah

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa penerimaan terhadap budaya dan tradisi lokal dalam pemahaman keislaman warga NU sehingga menjadikan tradisi Islam kaum Nahdliyin menjadi khas Indonesia adalah salah satu wujud pengakuan NU terhadap pluralisme. Setelah resmi berdiri tahun 1926, peran pertama NU dalam menjaga kebhinekaan, khususnya kebhinekaan dalam memahami Islam adalah dengan membentuk Komite Hijaz yang mengirimkan utusannya menghadap raja Ibn Sa’ud.
Dalam hal politik, pengakuan NU terhadap kebhinekaan ideologi terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Pada saat partai Islam berhaluan fundamental yakni Masyumi getol menolak konsep Nasakom yang digagas Presiden Soekarno, KH. Wahab Chasbullah selaku Rais Am NU malah menerimanya. Beliau mengemukakan sebuah analogi, “Jadilah ikan di laut, jangan jadi ikan asin dalam kuali. Ikan laut dagingnya tetap tawar meski bertahun-tahun hidup di air asin”. Hal ini mengibaratkan NU yang menurut Kyai Wahab tidak akan kehilangan idealismenya meski dalam hal kenegaraan NU dapat bersanding dengan PKI. Karena keputusannya inilah kaum fundamentalis menyebut Kyai Wahab sebagai “Kyainya Soekarno”, “Kyai Nasakom”, dan bahkan “Kyai Komunis”. Konsep Nasakom sejatinya memang digagas Presiden Soekarno untuk mempersatukan tiga ideologi besar yang ada di Indonesia saat itu, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Sikap NU berubah menjadi radikal dalam menghadapi komunisme pasca meletusnya tragedi Gerakan 30 September 1965. Di daerah-daerah, Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang menjadi pelaksana dalam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menggandeng para anggota Ansor dan Banser untuk menumpas orang-orang yang dicap anggota dan simpatisan PKI. Hal ini yang membuat KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada awal reformasi meminta maaf kepada keluarga para korban pembantaian massal 1965-1966 13.
Puncak penghargaan NU terhadap pluralisme terjadi pasca bergulirnya reformasi, terutama saat Gus Dur menjadi presiden keempat RI. Selain meminta maaf kepada keluarga para korban pembantaian massal 1965-1966, beliau juga mengusulkan pencabutan TAP MPRS No. XXV/1966 yang menyatakan bahwa PKI dan ormas-ormasnya adalah organisasi terlarang di Indonesia. Gus Dur sebagai negarawan menganggap fobia terhadap ideologi komunis sudah kadaluwarsa mengingat Uni Soviet sebagai kiblat komunisme sudah lama runtuh. China, negara komunis lainnya yang masih bertahan secara ekonomi sudah sama kapitalisnya dengan Amerika Serikat. Seperti halnya Kyai Wahab pada masa Demokrasi Terpimpin, Gus Dur juga banyak mendapat tentangan dari tokoh-tokoh Islam lainnya.
Gus Dur yang di kemudian hari dijuluki bapak Pluralisme, juga gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, antara lain dengan mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 tentang agama dan adat istiadat China. Dengan dicabutnya inpres ini etnis Tionghoa14 bebas merayakan tahun baru Imlek, dan menjalankan tradisi-tradisi mereka seperti Barongsai dan Liang-liong. Keputusan ini kemudian dilanjutkan oleh presiden Megawati dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002. Gus Dur juga meminta warga etnis Tionghoa yang melarikan diri ke luar negeri saat meletus kerusuhan di Jakarta tahun 1998 untuk kembali ke Tanah Air dan dijamin keselamatannya. Setelah turun dari jabatan presiden, Gus Dur pernah membela Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari serangan-serangan bernada SARA oleh kelompok-kelompok fundamentalis. Ahok yang seorang pemeluk Kristen keturunan Tionghoa juga didukung dalam pencalonannya sebagai bupati Belitung Timur yang akhirnya terpilih.
Dewasa ini, sikap para tokoh NU yang cenderung membela kaum minoritas seperti membela hak-hak pengungsi Syiah Sampang dan Jemaah Ahmadiyah selalu mendapat tentangan dari kaum fundamentalis yang menganggap NU membela kaum sesat. Namun inilah realisasi dari karakter tawassuth (moderat) dan tasamuh (toleran) yang dipegang kaum Nahdliyin.













BAB III

PENUTUP


Sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia, NU memiliki beberapa peran strategis dalam menjaga kebhinekaan (pluralisme) yang pada akhirnya dapat menjaga keutuhan bangsa. Pertama, paham Aswaja ala NU yang akomodatif terhadap lokalitas membuat Islam lebih mudah dipahami masyarakat dan menjadikannya Islam khas Indonesia. Kekhasan ini penting dimiliki umat Islam Indonesia mengingat kaum radikal dan fundamentalis banyak mengadopsi pemikiran-pemikiran radikal dari Timur Tengah yang pada akhirnya berusaha memutus hubungan antara Islam dan kekhasannya di Indonesia yang anti kekerasan dan telah dijalankan selama ratusan tahun. Kedua, sikap moderat yang dimiliki NU memungkinkannya bergaul dan berkomunikasi dengan kelompok manapun, jika komunikasi yang baik sudah terbangun, maka hubungan antar kelompok yang harmonis akan dapat diwujudkan. Dengan berbekal sikap moderat ini, NU juga dapat berperan sebagai penengah jika ada dua pihak yang saling bertikai. Ketiga, karakter warga NU yang toleran dan membela kaum minoritas yang terdiskriminasi pada hakekatnya adalah realisasi dari prinsip Islam sendiri yakni sebagai rahmatan lil ‘alamin. Pengalaman penulis sebagai guru di sebuah madrasah berkultur NU, beberapa tahun yang lalu pernah datang seorang native speaker dari Amerika Serikat ke madrasah. Sebelumnya beliau selalu memandang Islam dengan stigma negatif, barangkali yang beliau amati hanyalah kelompok-kelompok Islam radikal di Timur Tengah, namun ketika melihat Islam di madrasah, beliau kemudian berpikir bahwa cara pandangnya terhadap Islam selama ini ternyata kurang komprehensif, karena Islam yang menyejukkan dan toleran ternyata lebih banyak.

Post a Comment for "MAKALAH KE-NU-AN Tinjauan Historis Peran NU dalam Menjaga Kebhinekaan"