Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُÙˆْصُ Ù‚َدْ Ø¥ِÙ†ْتِÙ‡َÙ‰ ÙˆَالْÙˆَÙ‚َائِعُ غَÙŠْرُ Ù…ُتَÙ†َÙ‡ِÙŠَØ© # صَÙ„ِØ­ٌ Ù„َÙƒُÙ„ِّ زَÙ…َان ÙˆَÙ…َÙƒَان

MALAKAH Kajian Hadist dikalangan Orientalis

MALAKAH
Kajian Hadist dikalangan Orientalis
Disusun guna memenuhi tugas mata  kuliah Metodologi penelitian hadist
Dosen pengampu:Wahyuni Shifatur Rohmah,M.S.I



Disusun oleh:
                                                NAMA                 :ANAS MASRURI
                                               PRODI                  :IQT  IV
                                                FAKULTAS       :USADA
 


PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USADA
INSTITUT AGAM ISLAM NAHDLOTUL ULAMA
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya mencari kelebihan dan kekurangan sesuatu untuk menemukan kebenaran Kritik yaitu masalah penganalisaan dan pengevaluasian sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.Secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kritikós – “yang membedakan”, kata ini sendiri diturunkan dari bahasa Yunani Kuna krités, artinya “orang yang memberikan pendapat beralasan” atau “analisis”, “pertimbangan nilai”, “interpretasi”, atau “pengamatan”. Istilah ini biasa dipergunakan untuk menggambarkan seorang pengikut posisi yang berselisih dengan atau menentang objek kritikan.hal yang wajar berlaku dalam studi ilmiah. Demikian pula terhadap hadis dan para ulama hadis.Kajian hadis dan ulama hadis juga menuai kritik, baik dari kalangan Islam sendiri maupun dari orang-orang non-Islam.
Jika di kalangan Islam, kritik hadis bertujuan untuk mengetahui mana hadis yang diterima (maqbul) dan mana yang tertolak (mardud), untuk diketahui pula apakah hadis tersebut dapat dijadikan dasar ajaran Islam atau tidak, maka lain halnnya dengan kritik yang datang dari orang non-Islam. Mereka (non-Islam) melakukan kritik terhadap hadis dengan tujuan mencari kesalahan dan kelemahan, untuk digunakan sebagai alat melemahkan Islam.
Mereka yang melakukan kajian dunia Timur (Islam) secara umum, baik Timur Dekat maupun Timur Jauh, baik dalam bidang bahasa, sastra, peradaban, maupun agamanya, ini kemudian dikenal dengan istilah orientalis.
B. Rumusan Masalah
  1. Apakah yang di maksud dengan orientalis?
  2. Siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis?
  3. Bagaimana sanggahan dan bantahan dari ulama Muslim terhadap kritik orientalis?

C. Tujuan
  1. Untuk mengetahui tentang orientalis.
  2. Mengetahui siapa saja orientalis yang melakukan kajian hadis.
  3. Mengetahui bagaimana sanggahan dari ulama muslim terhadap kritik orientalis



BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Orientalisme dan Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
      1. Definisi Orientalism
Istilah orientalis berasal dari kata “orient” yang berarti timur, dan kata “Ism” yang berarti paham. Jadi secara bahasa orientalis berarti paham tentang dunia timur/ketimuran. Atau orang yang memiliki concern terhadap kultur timur disebut Orientalis. orientalisme (dengan penambahan kata isme yang berarti aliran, pendirian, ilmu, paham, keyakinan, dan sistem) secara etimologis, dapat diartikan sebagai ilmu tentang ketimuran atau studi tentang dunia timur. dalam karya monumentalnya, Orientalism, Edward Said secara lebih komprehensif menyatakan bahwa orientalisme dpat di jelskan melalui tiga hal yang sangat berkaitan; pertama, seseorang orientalis adalah orang yang mengajarkan, menulis atau meneliti tentang Timur, dengan kata lain orientalis adalah mereka yang mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang budaya timur; kedua, orientalisme merupakan model pemikiran yang didasarkan kepada pembedaan ontologis dan epistemolohis tentang timur dan barat; ketiga, orientalisme merupakan suatu institusi berbadan hukum untuk menghadapi dunia timur, yang memiliki kepentingan membuat pernyataan tentang timur, membenarkan pandangan tentang timur, mendiskripsikan, mengajarkan, memposisikan dan menguasainya.[1]
Dr. Qasim Assamurai, seorang ahli orientalis, telah mencoba merangkum beberapa pendapat tentang kemunculan orientalis yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Sebagian ahli sejarah mengatakan munculnya orientalisme, ketika persentuhan Romawi dengan orang-orang Islam pada Perang Mu’thah
  2. Orientalisme muncul sebagai akibat Perang Salib
  3. Orientalisme muncul ketika berkecamuk perang antara orang Islam dan Kristen di Spanyol
  4. Orientalisme muncul karena faktor kebutuhan Barat untuk menolak Islam dan untuk menyelidiiki kekuatan umat Islam seteleha jatuhnya Konstantinopel serta masuknya pasukan Turki Usmani ke perbatasan Wina
  5.  Munculnya karena Eropa memiliki kepentingnan untuk menjajah negara-negara Arab di Timur, Afrika Utara dan Asia Tenggara.
Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua a bad yang lalu (abad ke-18 M), meski aktifitas kajian bahasa dan sastra ketimuran telah terjadi jauh sebelumnya. Dari sekian banyak pengertian tentang orientalis Ia kemudian mendefinisikan orientalisme secara cukup komprehensif yaitu “segala sesuatu yang bersumber dari orang-orang barat.
Muthabaqani juga mendefinisikan orientalisme sebagai :
(1) Segala sesuatu yang di sebar luaskan oleh media masa barat, baik menggunakan bahasa    mereka ataupun bahasa arab yang menyangkut islam dan kaum muslimin.
(2) Segala sesuatu yang ditetapkan oleh para peneliti dan politisi barat dalam berbagai konferensi dan seminar mereka, baik yang te rbuka maupun yang rahasia.[2]
(3) Segala sesuatu yang di tulis oleh orang arab kristen, seperti kaum maronit yang memandang islam dengan kacamata barat.
(4) Segala sesuatu yang disebarluaskan oleh para peneliti musim, yang belajar kepada para orientalis, dan mengadopsi anyak fikiran kaum orientalis, hingga sebagian murit orientalis itu bahkan melampaui guru-gurunya dalam hal penggunaan teknik dan metode yang lazim dalam orientalisme.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kritik orientalis pada pembahasan ini adalah orang-orang Barat non-Muslim yang melakukan kajian terhadap hadis Nabi yang diyakini oleh umat Islam sebagai dasar penetapan hukum.[3]
2. Sejarah Kajian Hadis di Kalangan Orientalis
   Dari sekian banyak bidang kajian yang menjadi garapan para orientalis, salah satunya adalah hadis nabi.Siapakah orientalis yang pertama melakukan kajian dibidang ini belum direntukan kepastian sejarahnya karna para ahli berbeda pendapat.
Dalam hal ini Goldziher telah berhasil menanamkan keraguan terhadap autentisitas hadis yang di lengkapi dengan studi-studi ilmiyah yang dilakukanya, sehingga karyanya dianggap sebagai ‘Kitab Suci’ oleh para orientalis sendiri. di samping itu , kehadiran Joseph Schacht melalui bukunya: the origin of Muhammadaan Jurisprudence, terbit pertama kali tahun 1950, yang kemudian dianggab sebaggai ‘kitab sucu kedua’ oleh para orientalis berikutnya, juga telah membawa dampak yang kuat terhadap sejumlah penelitian kajian hadis dikalangan orientalis. Bahkan, menurut Ali Musthafa Ya’qub, untu mengetahui kajian hadis cukup hanya dengan menelusuri kedua pendapat tokoh ini (goldziher dan joseph), karena para orientalis sesudah mereka pada umumnya hanyaa mengikuti pendapat keduanya.
Namun ada pula orientalis yang memiliki padangan yang lebih jernih dan bertentangan dengan kedua ilmuan diatas. Freedland Abbott, misalnya, dalam bukunya Islam and Pakistan (1908) membagi substansi hadis menjadi tiga kelompok besar:
(1) Hadis yang menggambarkan kehidupan Nabi secara Umum
(2) Hadis yang diprmasalahkan karena hais-hadis itu tidak konsisten dengan ucapan Nabi,
(3) Hadis yang menceritakan Wahyu yang diterima oleh Nabi.[4]
Meskipun ketiga klasifikasi tersebut berbeda dengan klasifikasi oleh kalangan ulama hadis, tetapi secara tidak langsung menunjukan bahwa ia mengakui bahwa hadis benar-benar bersumber dari Nabi. Pengakuan yang lebih tegas di sampaikan oleh Nabila Abbott dalam bukunya Studies in Literary papiry: Qur’anic Commentary and tradition (1957). Menegaskan bahwa hadis-hadis Nabi dapat ditelusuri keberadaanya hingga masa Nabi dan bukan buatan Umat Islam setelah abad pertama hijriyah.Pandangan ini didasarkan atas manuskrip-manuskrip yang berhubunan dengan hadis Nabi.
Jadi dapat dikatakan bahwa di kalangan orientalis telah terjadi pergeseran pendapat tentang hadis.Sebagian mereka sependapat dengan Goldziher dan Schacht, namun ada pula yang sependapat dengan mereka dala memandang Islam umumnya dan hadis khususnya.
B. Sikap Para Orientalis Terhadap Islam Umumnya dan Kususnya Kajian Hadis
Perbedaan orientalis dalam memandang Islam termasuk hadis, tidak terlepas dari motivasi dan sikap mereka di dalam mengkaji Islam.Sikap mereka itu dapat dibedakan menjadi tiga.pertama, sikap netral terjadi pada awal persentuhan antara Timur dan Barat pada masa jauh sebelum perang salib. Kedua, pasca-perang salib sikap tersebut bergeser ke arah pendistorsian islam dilatarbelakangi oleh sentimen kegamaan yang semakin menguat. Ketiga, silkap mulai mengapresiasi islam yang terjadi pada perkembangan orientalisme kontemporer yang didorong oleh semangat perkembangan intelektual yang rasional. Meskipun belum seratus persen objektif, pada masa ini penghargaan dan penghormatan terhadap islam mulai terlihat.
Dalam bidang hadis, sikap para orientalis tersebut tidak terlepas dari sikap dan pencitraan mereka terhadap Nabi Muhammad. Sebab, bagaimanapun pembicaraan tentang hadis akan selalu berhubungan dengan Muhammad yang perkataan, perrbuatan, dan persetujuanya melahirkan hadis. Dalam konteks ini, pencitraan Muhammad dimata orientalis dapat di pandang dari dua sisi. Satu sisi Muhammad dipandang sebagai Nabi dan Rasul yang telah membebaskan manusia dari kezaliman Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh De Boulavilliers dan Savary, sisi lain Muhammad dianggab sebagai paganis, penganut kristen dan yahudi, intelektual pintar yang memiliki imajinasi yang kuat dan pembohong, serta seseorang tukang sihir yang berpenyakit ayan. Pandangan ini di kemukakan antara lain oleh D’Herbelot, Dante Alighieri, washington Irving, Hamilton Gibb, Goldziher, dan Joseph Schacht.
Sikap kedua diatas telah membentuk citra yang sama teerhadap hadis. Dalam pengertian bahwa mereka yang berpandangan negatif terhadap Nabi Muhammad akan berpandangan negatif pula terhadap hadis, demikian pula sebaliknnya. meskipun hal ini tidak menunjukan keharusan. Demikian halnya, jika diklasifikasikan secara keseluruhan ternyata kelompok orientalis yang mencela hadis lebih banyak di banding kelompok yang mengakui eksistensi hadis. Dalam pandangan banyak orientalis, hadis hanya merupakan hasil karya ulama dan ahli fiqih yang ingin menjadikan islam sebagai agama yang multidimensional, mereka menganggab bahwa hadis tidak lebih dari sekedar ungkapan manusia atau jiblakan dari ajaran Yahudi dan Kristen.[5]
C. Pandangan Orientalis tentang Hadis sebagai Sumber Hukum
Pandangan orientalis terhadap hadis sebagai sumber hukum dapat ditelusuri dari pandangan mereka tentang peranan Nabi Muhammad dalam pembentukan hukum.Sebagaimana terlihat pada pandangan Joseph Schacht, Anderson, Snouck Hurgronje, dan E. Tyan. Menurut Schacht , tujuan Muhammad selaku Nabi bukanlah untuk membuat sistem hukum yang baru, tetapi sekedar mengajarkan manusia bagaimana harus bertindak agar selamat menghadapi perhitungan pada hari pembalasan dan agar masuk surga. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Anderson bahwa Muhammad tidak berusaha menyelesaikan sistem hukum yang Komperehensif, tetapi hanya melakukan sedikit amandemen terhadap hukuum adat yang sudah ada.
Snouck Hurgronje juga menyatakan bahwa Muhammad sangat menyadari betapa kurang menuhi syaratnya untuk memenuhi urusanya dibidang hukum, kecuali kalau benar-benar mendesak. Pandangan yang sama dikemukakan oleh E.Tyan bahwa jika seseorang melihat sepintas karya Muhammad, maka akan dengan mudah meyakini bahwa Muhammad tidak bermaksud untuk mengadakan sistem hukum baru.
Beberapa pandangan diatas menunjukan bahwa dimata para orientalis , Nabi Muhammad tidak memiliki kapasitas dan otoritas dlam menetapkan hukum. Mereka menolak adanya penetapan hukum yang sistmatis dari nabi, yang konsekuensinya mengarah kepada penolakan sunnah bagi sumber hukum islam. Kalaupun ada sunnah yang menjaddi sumber hukum islam, maka hal itu bukan berasal dari Nabi. Tetapi berasal dari tradisi yang sudah berkembang dalam masyarakat, baik masa jahiliyah yang kemudian direvisi maupun pada masa awal generasi islam dan sebelumnya.[6]
Anggapan dasar para orientalis bahwa Al-Qur’an bukan wahu dan firman Allah tetapi perkataan Nabi Muhammad dan hadis atau sunah merupakan perbuatan atau perkataan sahabat, tabi’in, dan para ulama. Sangat jauh berbeda dengan pandangan dan keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an adalah wahyu dan firman Allah sedangkan hadis atau sunah merupakan perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi.
D. Kritik Orientalis tantang Sanad dan Matan Hadis
  1. Kritik Orientalis terhadap Sanad
     Para orientalis beranggapan bahwa hadis yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab hadis tidak asli dari Rasulullah, karna sanadnya tidak benar dan para perawi dianggap palsu.Caetani Berpendapat bahwa Urwah (W. 93 H) adalah oranng yang menghimpun hadis tetapi tidak menggunakan sanad.[7]
Joseph Schacht dalam The Origins of Muhammadan Jurisprudence, berpendapat bahwa bagian terbesar dari sanad hadis adalah palsu.Menurutnya, semua orang yang mengetahuibahwa sanad pada mulanya muncul dalam bentuk yang saangat sederhana, kemudian mencapai tingkat kesempurnaanya pada paruh kedua aabad ke tiga hijriah.Dia menyatakan bahwa sanad merupakan hasil rekayasa para ulama abad kedua hijriah dalam menyandarkan sebuah hadis kepada tokoh-tokoh terdahulu hingga akhirnya samppai kepada Nabi untuk mencari legitimasi yang kuat terhadap hadis tersebut.
2. Kritik Orientalis terhadap Matan
     Para orientalis juga telah telah melontarkan kritik mereka terhadap matan hadis. A.J. Wensink menyatakan bahwa perkembangan dan aktifitaspemikiran umat islam pasca-wafatnya nabi membuka peluang bagi para ulama untuk menjelaskan roh agama islam itu melalui hadis. Ucapan-ucapan para ulama inilah yang kemudian dikenal sebagi matan.Pandangan ini sejajar dengan pendapat para orientalis yang bermuara pada pandangan bahwa matan itu bukanlah ucapan Nabi.Melainkan capan para ulamaa yang kemudian di sandarkan pada Nabi.
Keterangan diatas juga menunjukan bahwa pandangan para orientalis terhadap sanad sebenarnya berangkat dari pemahaman mereka tentang sunnah itu sendiri yang mereka yakini sebagai sesuatu yang bukan berasal dari Nabi. Mereka beranggapan bahwa sanad dan matan yang berada pada kitab-kitab hadis adalah uatan ulama dan umat isam pada abad kedua dan ketiga hijriah.untuk mendukung keyakinan ini mereka kemudian mencari-cari argumentasi sehingga sanad_dan otomatis matan_ dipahami sebagai hasil rekayasa oleh para ulama, demikian pula matan merupakan perkataan mereka.[8]
 E. Pandangan Orientalis tentang Pengertian Sunnah
Dalam pandangan kaum orientalis, hadis juga dipandang berbeda dengan sunnah. Perbedaan ini antara lain terlihat pada pendapat Goldziher yang menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu yang bersifat teoretis, sedangkan sunnah berisi aturan-aturan praktis. Menurutnya, kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum yang di akui sebagai tta cara kaum muslimin periode awal yang dipandang autoritatif dan telah dipraktikkan dimnamakan sunnah. Sedangkan peryataan tentang tata cara itu disebut hadis. I juga menyatakan bahwa hadis bercirikan berita lisan yang di klaim bersumber dari nabi, sedangkan sunnah merupakan hal yang menjadi adat kebiasaan yang muncul pada abad keduitua di awal pertumbuhan dan perkembangan islam, terlepas dari apakah kebiasaan itu ada hadisnya atau tidak.
Pada kesempatan lain, Ignas Goldziher menyatakan bhwa perbedaan sunnah dan hadis bukan saja dari maknanya. Tetapi melebar pada pertentangan dalam materi hadis dan sunnah.Menurutnya hadis berisikan berita lisan yang dinilai bersumber pada Nabi, sedangkan sunnah berdasar kebiasaan yanng lazim digunakan dikalangan umat islam awal yang menunjuk pada permasalahan hukum dan keagamaan, baik ada atau tidak ada berita lisan tentang kebiasaan itu.
Pendapat senada di kemukakan oleh Schacht bahwa sunah merupakan konsep bangsa arab kuno yang berlaku kembali sebagai saalah satu pusat pemikiran islam. Menurutnya, sunnah lebih lebih merupakan tradisi arab kuno yang kembali mengemuka dalam ajaran islam.
Dapat dikatakan bahwa pendapat Goldziher dan Schacht tentang sunah relatif sama. Keduanya menganggab sunah bukan suatu yang berasal dari nabi. Tetapi hanya kelanjutan dari tradisi bangsa arab yanng kemudian direvisi dan diteruskan oleh islam serta kemudian di saandarkan kepada Nabi.[9]
F. Pandangan Orientalis tentang Hadis Palsu
Sebagaimana dijelaskan diatas baik Ignas Goldziher maupun Joseph Schacht berpendapat bahwa hadis tidaklah berasal dari Nabi melainkan sesuatu yang hadir pada abad pertama dan kedua hijriah. Sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-Qadir, Goldziher menyatakan bahwa bagian terbesar dari hadis tidak lain merupakan hasil dari perkembangan islam pada abad pertama dan kedua baik dalam bidang keagamaan, politik maupun sosial.
Menurut Goldziher tidaklah benar pendapat bahwa hadis merupakan dokumen islam yang sudah ada semenjak masa pertumbuhan, melainkan sebagai pengaruh perkembangan islam pada masa kematangan. Goldziher didalam bukunya meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa semua hadis palsu, telah meragukan keautentikan hadis sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi.Pernyataan lebih tegas datang dari Joseph Schacht bahwa tidak dapat di temukan satupun hadis Nabi, terutama yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dianggab sebagai hadis yang asli dari Nabi.
Dengan demikian, baik menurut Goldziher maupun Schacht sunnah atau hadis bukanlah sesuatu yang berasal dari nabi melainkan merupakan rekayasa ulama dan umat islam generasi abad pertama dan kedua hijriah. Atau suatu tradisi yang terjadi dikalangan umat islam yang kemudian disandarkan kepada Nabi. [10]
G. Bantahan dan Kritik Balik Ulama Muslim terhadap Kritik Orientalis
Kritik dan tuduhan yang dilontarkan oleh orientalis tentang keabsahan dan autentisitas hadis banyak mendapat jawaban dari ulama hadis, sebagai upaya meluruskan kritik dan tuduhan tersebut.Di antara ulama yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pendapat para orientalis tersebut adalah Musthafa al-Siba’i, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Shubhi al-Shalih dan Muhammad Musthafa Azami. Terkait dengan tuduhan mereka tentang adanya larangan penulisan hadis oleh Nabi dan tidak adanya peninggalan tertulis, Shubhi Al-Shalih mengatakan bahwa larangan penulisan tersebut disampaikan secara umum pada masa awal turunnya wahyu al-Quran karena Nabi khawatir hadis tercampur dengan Al Quran. Tetapi setelah sebagian besar Al Quran diturunkan, maka Nabi memberikan izin penulisan hadis secara umum kepada para sahabat.Kenyataan ini diperkuat dengan dikemukakannya catatan-catatan hadis pada masa Nabi seperti catatan Sa’id ibn ‘Ubaddah, Samrah ibn Jundub (w. 60 H), Jabir ibn ‘Abd Allah (w. 78 H), ‘Abd Allah ibn ‘Umar ibn al – Ash (w. 65 H), dan ‘Abd Allah ibn al-Abbas (w. 69 H).
Tuduhan orientalis bahwa sanad dan matan hadis merupakan rekayasa umat Islam abad pertama, kedua, dan ketiga Hijriah, oleh Musthafa Azami dibantah sebagai berikut.
  1. Kenyataan sejarah membuktikan bahwa permulaan pemakaian sanad adalah sejak masa Nabi, seperti anjurannya kepada para sahabat yang menghadiri majelis Nabi untuk menyampaikan hadis kepada yang tidak hadir.
  2. Mayoritas pemalsuan hadis terjadi pada tahun keempat puluh tahun Hijriah yang dipicu oleh persoalan politik, karena di antara umat Islam saat itu ada yang lemah keimanannya sehingga membuat hadis untuk kepentingan politik atau golongan mereka.
  3. Objek penelitian para orientalis di bidang sanad tidak dapat diterima karena yang mereka teliti bukan kitab-kitab hadis melainkan kitab-kitab fiqh dan sirah.
  4. Teori projecting back (al-qadhf al khalfi) yang dijadikan dasar argumentasi beserta contoh-contoh hadis yang dijadikan sampel, karenanya menjadi gugur dengan banyaknya jalan periwayatan suatu hadis.
  5. Tidak pernah terjadi perkembangan dan perbaikan terhadap sanad seperti membuat marfu’ hadis yang mawquf atau menjadikan muttashil hadis yang mursal. Demikian pula, tuduhan bahwa sanad hanya dipakai untuk menguatkan suatu pendapat atau suatu madzhab merupakan tuduhan yang tidak mempunyai bukti dan melawan realitas sejarah.
  6. Penelitian dan kritik ulama hadis atas sanad dan matan hadis, dengan segala kemampuan mereka, dilakukan atas dasar keikhlasan dan tanpa tendensi duniawi. Dalam kaitannya dengan tuduhan Ignaz Goldziher tentang pemalsuan al-Zuhri terhadap hadis: لاتشدالرجالإلاعلىثلاثةمساجد   (janganlah melakukan perjalanan kecuali pada tiga mesjid) menurut Azami, tidak ada bukti historis yang memperkuat tuduhan tersebut, karena pada satu sisi hadis tersebut diriwayatkan dengan 19 sanad termasuk al-Zuhri. Kelahiran al-Zuhri sendiri masih diperselisihkan oleh ahli sejarah antara tahun 50 H dan 58 H, dan ia tidak pernah bertemu dengan ‘Abd Malik ibn Marwan sebelum tahun 81 H.[11]
Di sisi lain, pada tahun 68 H, orang-orang dinasti Umayyyah berada di Mekkah menunaikan ibadah haji, Palestina pada tahun tersebut belum berada di bawah kekuasaan Bani Umayyah (Malik ibn Marwan), dan pembangunan Qubbah al-Sakhrah dimulai tahun 69 H (saat itu al-Zuhri berumur antara 10-18 tahun), dan baru selesai tahun 72 H.
Karena itu, tidak mungkin ‘Abd Malik ibn Marwan bermaksud mengalihkan umat Islam berhaji dari Mekkah ke Palestina dan tidak mungkin al-Zuhri membuat hadis palsu dalam usia antara 10 sampai 18 tahun.
Menurut Musthafa Azami, teori Scacht tentang projecting back itu dijawab dengan penjelasan, bahwa fiqh sudah berkembang sejak masa Nabi. Fiqh adalah ijtihady.Oleh sebab itu, sulit menerima pendapat Schacht bahwa fiqh baru berkembang saat pengangkatan qadhi pada masa Dinasti Umayyah.













      
BAB.III
PENUTUP
  KESIMPULLAN
Dari uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, antara lain :
  1. Orientalis adalah segolongan sarjana-sarjana Barat yang melakukan pengkajian terhadap dunia timur, baik agama, bahasa, sejarah, adat-istiadat dan lain-lain, juga terkait hadis Nabi Muhammad saw.
  2. Ignaz Goldziher dan Schacht adalah dua tokoh orientalis yang dipandang sebagai pemula yang mengkaji hadis oleh orientalis lainnya
  3. Kritik terhadap hadis yang dilakukan bertujuan untuk menggoyahkan otentisitas hadis sebagai sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an.
  4. Kritik hadis yang dilakukan oleh Goldziher dan Schacht meliputi kritikan terhadap terminologi, materi, ketokohan dan literatur hadis.
SARAN
Mengingat betul bahwa makalah kami ini masih sangat  jauh dari kesempurnaan , untuk itu kami sangat mengharap kepada para sahabat pembaca untuk memberikan partisipasinya baik berupa kritik maupun saran agar kami bisa memperbaiki makalah kami untuk yang akan datang dan apabila ada kata'' yg kurang berkenan  semoga pembaca dan Alloh ta'ala memaafkan kami

DAFTAR PUSTAKA
B.Smeer.H.Zeid.2008.Ulumul Hadist.Malang:Uin-MalangPress.
Idris.2010.Studi Hadist.Jakarta:Kencana.           
Sumbulah Umi. 2010. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN-Maliki Press.

Hanafi Hasan. 1981. Orientalisme. Jakarta: Pustaka Al-Husna.



[1]Umi sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010),hal. 161


[2]H.Zeid B.Smeer, Ulumul Hadis,(Malang: UIN-Malang Press,2008),hlm. 156
[3]Hasan Hanafi, Orientalisme, (Jakarta: PustakaAl-Husna,1981),hlm. 9

[4]Idri, Studi Hadis,(Jakarta:Kencana,2010),hlm.308

[5]Ibid.,hlm. 309

[6]Ibid., hlm. 319
[7]Zeid B. Smeer, OP. Cit, hlm. 164.

[8]Idri, Op Cit, hlm. 316
[9]Ibid, hlm. 311

[10]Ibid, hlm. 317
[11]Ibid, hlm. 321

Post a Comment for "MALAKAH Kajian Hadist dikalangan Orientalis"