Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Tentang Tafsir Al-Mizan



Kata Pengantar
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang Tafsir Al-Mizan, yang kami sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber informasi, referensi, dan berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.

Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa. Saya sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada dosen pembimbing saya meminta masukannya demi perbaikan pembuatan makalah saya di masa yang akan datang dan mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

Kebumen, 22 Oktober 2018

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Penafsiran Alqur’an dalam lintas sejarahnya mengalami perkembangan yang luar biasa. Berawal dari penafsiran syawafiyah (lisan ke lisan) sampai munculnya studi kitab tafsir yang telah dibukukan. Adapun bentuk penafsiran sejak masa Rasulullah Saw sampai sekarang pada dasarnya terbagi menjadi dua, yakni tafsir bil ma’tsur dan tafsir bil ra’yi.

Dalam perkembangannya kedua bentuk penafsiran ini, tafsir bi ra’yilah yang berkembang jauh lebih pesat dan mendominasi kitab-kitab tafsir. Metode ini pada akhirnya memunculkan berbagai corak penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan spesialisasi keilmuan dan tendensi masing-masing mufasir. Munculnya berbagai kitab tafsir yang memiliki corak berbeda-beda, satu sisi menunjukkan betapa luas dan makna yang dikandung Alqur’an, tetapi di sisi lain mengindisikan bahwa mufasir menjelaskan Alqur’an sesuai dengan selera dan kepentingannya masing-masing.

Pada makalah ini akan dibahas sekilas mengenai Tafsir Al-Mizan karya Muhammad Husain Thabathaba’i mengenal dalam karya tafsir ini memiliki corak dan karakteristik yang kental dengan kapasitas keilmuan dan latar belakang pengarangnya yang cukup menarik.


b. Rumusan Masalah
1. Biografi pengarang
2. Tentang tafsir al-mizan
c. Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengetahui Biografi Pengarang
2. Untuk Mengetahui Tentang Tafsir Al-Mizan


BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Pengarang
Nama lengkap beliau adalah Muhammad Husain Thaba’thabai, lahir di kota Tabriz pada tahun 1281 H di tengah-tengah keluarga pecinta ilmu. Pada usia lima tahun beliau ditinggal oleh ibunda tercintanya dan tiga tahun setelahnya beliau menjadi yatim piatu, karena ditinggal ayahnya. Mengingat keluarga beliau termasuk keluarga yang mampu, kondisi kehidupannya tetap berjalan dan dengan bantuan seorang wakil (pengasuh) beserta istrinya yang telah ditunjuk oleh ayahnya, beliau meneruskan roda kehidupan yang mesti dilakoni. Pada tahun 1934, dia kembali ke Tabriz, dan mulai mengajar, tatapi dia belum dikenal secara nasional hingga dominasi kaum komunis atas Provinsi Azerbaijan di Iran memaksanya datang ke Teheran dan Qum pada akhir Perang Dunia II. Dia menghabiskan sisa hidupnya di Qum dengan beberapa hari dalam setiap bulannya dihabiskan di Teheran. Dia mengabdikan waktu sepenuhnya untuk mengajar dan menulis. Dia meninggal di Qum pada tahun 1981.

Tak lama setelah kepergian ayah, beliau dikirim ke sebuah madrasah dan akhirnya digembleng oleh seorang guru privat yang selalu datang ke rumahnya.

Dan begitulah, tanpa terasa enam tahun beliau mempelajari bahasa Persia dan pelajaran-pelajaran dasar. Pada waktu itu, pelajaran-pelajaan dasar belum memiliki program dan kurikulum khusus dan tetap. Dari tahun 1290-1296 H, pelajaran yang paling banyak diterimanya adalah Al-Quran, kitab Gulistan, Bustan Sa’di, Nishab, Akhlak Mushawar, Anwar Sahili, Tarikh Mu’jam dan Irsyadul Hisab.

Pada tahun 1297 H, beliau mulai memasuki pelajaran agama dan bahasa Arab. Hingga tahun 1304 H, beliau sibuk membaca teks-teks pelajaran. Dalam kurun waktu tujuh tahun inilah, beliau menamatkan kitab-kitab berikut ini: Amtsilah, Sharf Mir, Tashrif, ‘Awamil dalam Ilmu Nahwu, Anmudaj, Shamadiyah, Suyuthi, Jami dan Mugni tentang penjelasan kitab Muthawal, dalam Fiqih; Syarh Lum’ah, Makasib, dalam Ushul, kitab Ma’alim, Qawanin, Rasail, Kifayah, dalam ilmu Logika; Hasyiah dan Syarh Syamsiyah, dalam filsafat Kitab Syarh Isyarat, dalam teologi kitab Kasyful Murad.

Pada tahun 1304 beliau pergi ke Hauzah Najaf untuk meneruskan pelajaran. Di sana dia menghadiri pelajaran Marhum Ayatollah Syekh Muhammad Husain Isfahani. Sekitar 6 tahun pelajaran Ijtihad Ushul dan empat tahun pelajaran kharij Fiqih saya lewati. Begitu juga dia hadiri pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Naini selama delapan tahun dan sekali menamatkan pelajaran kharij fiqih beliau, serta sedikit hadir dalam pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Sayid Abul Hasan Isfahani.

Universalia tentang ilmu Rijal beliau terima dari Ayatollah Hujjat Kuh Kamari. Dalam filsafat dia juga mendapat taufik untuk belajar dari seorang filsuf besar saat itu, Sayid Husain Badkubi. Di bawah arahan beliau, dalam waktu enam tahun dia dapat menyelesaikan pelajaran seperti, Mandhumah Sabzawari, Asfar, Masyair Mullah Shadra, Syifa, Tamhid Ibn Turkah dan Akhlak Ibn Maskawaih. Al-Marhum Ustadz Badkubi saking perhatiannya terhadap perkembangan intelektualitas Ath-Thabathaba’i, senantiasa menganjurkan kepadanya untuk mempelajari matematika guna memperkuat sistem pemikiran argumentatif dan untuk menguatkan analisa filosofis. Dalam rangka menjalankan petuah beliau akhirnya Ath-Thabathaba’i menghadiri pelajaran Sayid Abul Qasim Khansari, ahli matematika yang amat terkenal waktu itu dan beliau mulai mempelajari perhitungan argumentatif. Pada tahun 1314 H, karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, terpaksa Ath-Thabathaba’i kembali ke kampung halamannya, kota Tabriz. Sekitar 10 tahun beliau di sana. Tanpa basa basi lagi, masa ini merupakan masa yang sangat merugikan jiwa dan mental nya, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan, beliau terpaksa terjun ke dunia pertanian dan meninggalkan tadris dan pemikiran ilmiah yang begitu saya gandrungi.

Pada tahun 1325 H. beliau mengesampingkan masalah kehidupan dan kampung halaman dan menuju Hauzah ilmiah Qom. Di kota inilah beliau kembali menggeluti pembahasan ilmiah dan hingga tahun 1341 H beliau meneruskan aktivitas ini. Kehidupan Ath-Thabathaba’i diwarnai dengan keyatiman, keterasingan, berpisah dari teman, kekurangan isi saku dan problem-problem lain. Alhasil beliau telah menghadapi pasang surutnya kehidupan, dan merasakan berbagai nuansa kehidupan. Akan tetapi Ath-Thabathaba’i selalu merasakan ada tangan gaib yang selalu menyelamatkannya dari gang buntu dan membawanya kepada cahaya hidayah.

Pada awal-awal pendidikan, beliau sibuk dengan pelajaran tata bahasa Arab, Nahwu dan Sharaf. beliau tidak memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pelajaran seperti ini. Oleh karena itu, dengan minat yang minim, beliau selalu kesulitan dalam memahami pelajaran yang ia terima.

Kemudian pada akhirnya tanpa terasa, inayah Allah datang dan merubah segalanya. Ath-Thabathaba’i merasa tak kenal lelah dari awal belajar hingga akhir – yang kurang lebih memakan waktu 17 tahun-. beliau juga lupa akan indahnya dunia yang membuat belajar menjadi kurang nikmat dan bersemangat. beliau merasa cukup dengan hal yang sangat sederhana dalam makanan, pakaian dan atribut materi lainnya. Lebih dari itu, beliau curahkan semuanya untuk mutala’ah. Sering kali beliau belajar semalam suntuk hingga pajar menyingsing (khususnya pada musim panas) dan senantiasa membaca pelajaran yang akan dia pelajari esok harinya, dan jika ada masalah dengan segala cara dia tuntaskan sendiri.

B. Latar Belakang Penulisan
Setiap kitab tafsir disusun dengan motivasi tertentu. Ada kitab tafsir yang ditulis untuk memenuhi tuntutan masyarakat seperti Ma’anil Qur’an karya al-Farra. Ada juga kitab tafsir yang ditulis dengan tujuan merangkum kitab tafsir sebelumnya yang dinilai terlalu panjang dan luas, seperti al-Dur al-Mansur karya al-Suyuthi dan banyak lagi kitab-kitab tafsir lainnya.

Adapun motivasi yang mendorong Thabathaba’i untuk menulis kitab tafsirnya, al-Mizan adalah karena ia ingin mengajarkan dan menafsirkan al-Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Di sisi lain, karena gagasan-gagasan matrealistik telah sangat mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan hawzah tersebut mengkolaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrinal dalam islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka mempertahankan posisi islam.

Nama al-Mizan, menurut al-Alusi, diberikan oleh Thabathaba’i sendiri, karena di dalam kitab tafsirnya itu dikemukakan berbagai pandangan para mufassir, dan ia memberikan sikaap kritis serta menimbang-nimbang pandangan mereka baik untuk diterimanya maupun ditolaknya. Meskipun tidak secara eksplisit memberikan nama ini, namun pernyataan Thabathaba’i secara implisit memang mengarahkan pada penamaan al-Mizan tersebut.

C. Corak Penafsiran
Kalangan Syi’ah, sebagaimana dikemukakan oleh Thabathaba’i, memandang ayat-ayat yang dikatakan mutasyabihat bisa dipahami dengan merujuk pada ayat lain yang termasuk dalam katergori muhkamat. Inilah yang dalam syi’ah dipahami sebagai ketergantungan ayat-ayat mutasyabihat terhadap ayat-ayat muhkamat.

Diantara karakteristik yang menonjol dalam penafsiran Thabathaba’i adalah perhatiannya yang besar terhadap munasabah (persesuaian) serta hubungan di antara ayat-ayat al-Qur’an. Kajian tentang munasabah oleh sementara mufasir lebih menekankan pada hubungan serta persesuaian antara suatu surah dengan surah sebelum atau sesudahnya. Thabathaba’i relatif sedikit mencurahkan perhatian pada munasabah antar surah. Baginya yang bernilai adalah mengkaji munasabah serta hubungan antar ayat, sebab keutuhan makna di antara ayat-ayat hanya bisa sempurna manakala aspek-aspek tertentu dari ayat-ayat tersebut serta bagaimana konteksnya dapat tersingkap melalui pendalaman atas munasabah serta tarabut antar ayat.

Sebagai seorang ulama Syi’ah yang terkemuka, pemikiran Thabathaba’i memang sangat diwarnai ideologi kesyi’ahan. Hal ini terlihat jelas dalam beberapa karyanya, termasuk dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini. Tampak sekali bahwa kitabnya ini sangat memperlihatkan keteguhan Thabathaba’i berpegang pada mazhab Syi’ah. Dalam karya monumentalnya ini, Thabathaba’i bahkan kelihataan sekali berupa mengkampanyekan mazhab Syi’ahnya ketika menafsirkan ayat-ayat yang menurut kaum syi’ah sendiri, berkenaan dengan pandangan-pandanngan ideologis kesyi’ahan mereka.

Untuk menjelaskan posisi tafsir dan penafsirannya, Thabathaba’i merasa perlu menjelaskan corak penafsiran yang berkembang waktu itu. Dalam mukodimahnya, ia menjelaskan bahwa ragam tafsir muncul sejak zaman kekhalifahan karena berbagai sebab. Pertama, umat islam telah berbaur dengan berbagai kelompok di masyarakat dan juga telah berinteraksi dengan dengan berbagai tokoh agama dan mazhab. Kedua, filsafat yunani telah ditransfer ke dunia arab pada masa kekhalifahan Umawiyah dan terus berkembang pada masa Abasiyah. Hal ini menjadikan kajian kaum muslimin terhadap al-Qur’an sangat bercorak filosofis. Masuknya filsafat dalam dunia islam juga memberi andil atas berbagai pemahaman terhadap islam yang tidak semuanya disetujui oleh umat islam yang lain, terutama yang berkecenderungan fikih. Thabathaba’i juga menjelaskan corak penafsiran ulama terhadap al-Quran yang terdiri dari ; Pertama, Ulama hadist. Mereka mencukupkan diri pada penafsiran berdasarkan riwayat dari ulama-ulama salaf, sahabat dan tabi’in. kedua, para teolog yang menggunakan berbagai macam pendapat mazhab dengan segala perbedaannya. Pendapat-pendapat yang sesuai diambil, sedangkan yang tidak sesuai diinterpretasi dengan batas-batas kewenangan yang ada di dalam mazhab. Ketiga, para filosof yang dalam menafsirkan tiak jauh beda dengan para teolog.

D. Metode Penafsiran
Dalam metode ini, pada awalnya pengarang menyebutkan beberapa ayat Alquran dalam suatu surah yang memiliki konteks yang sama, kemudian dengan menggunakan kitab kamus bahasa Arab dan penggunaan istilah kata yang lain dalam ayat-ayat lain untuk menjelaskan makna-makna mufradat (kosa kata), macam-macam istiqaq (asal-usul kata) dan juga membahas persoalan lughawi (kebahasaan). Kemudian pada bagian penjelasan ayat, dengan memisahkan setiap ayat Allamah Thabathabai akan menjelaskan penafsiran ayat-ayat itu. Jika dipandang perlu, maka Allamah Thabathabai akan mengkritik pendapat-pendapat mufasir besar baik dari kalangan Syiah maupun Ahlussunnah. Pada bagian akhir, terdapat pembahasan mengenai "Pembahasan Riwayat" untuk mengkritik riwayat-riwayat Syiah dan Ahlussunnah dalam ayat-ayat tertentu.

Demikian juga, pengarang dalam sela-sela tafsirnya, berusaha untuk menjelaskan ayat-ayat dengan disesuaikan dengan temanya, menganilisa suatu tema, mendeskripsikan, melakukan pendekatan filosofis, kemasyarakatan, sejarah dan atau keilmuan ayat-ayat yang bersangkutan. Dengan memperhatikan bahwa penguasaan Allamah Thabathabai atas berbagai ilmu dalam Tafsir al-Mizan, maka Allamah memiliki pendekatan yang komprehensif dalam membahas tema-tema dalam kitab tafsirnya.

Al-Qur’an diposisikan sebagai petunjuk bagi manusia, maka sebagai konsekuensi logisnya, tidak ada tawaran lagi bagi umat untuk bisa memahami al-Qur’an itu secara mutlak. Sebab, bagaimana mungkin pesan-pesan yang dikandungnya dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa memahaminya terlebih dulu.

Atas keunikan itulah, al-Qur’an dapat selalu memberi peluang untuk menghasilkan penafsiran baru. Dalam kaitannya dengan pemahaman al-Qur’an, Thabathaba’i berasumsi bahwa setiap ayat al-Qur’an pada dasarnya bisa dipahami dari dua sisi. Satu sisi adalah pemahaman makna literalsebagaimana yang tersurat dalam teks-teks al-Qur’an, yang kemudian dikenal sebagai aspek lahir. Sedangkan sisi lain adalah pemahaman terhadap makna yang tersirat, yakni makna yang terdapat di balik teks ayat, yang kemudian dikenal dengan aspek batin.

Dalam pandangan Thabathaba’i, baik arti lahir maupun batin, keduanya tidaklah saling bertentangan. Pemahaman ini didasari oleh pengamatan Thabataba’i terhadap struktur inderawi manusia dalam memperoleh pengetahuan yang memiliki tingkatan-tingkatan yang berbeda.

Untuk mengungkapkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, Thabathaba’i menggunakan tiga cara yang bisa dilakukan. Pertama, menafsirkan suatu ayat dengan bantuan data ilmiah dan non ilmiah. Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan hadist Nabi yang diriwayatkan dari Imam-imam yang diucapkan dalam konteks ayat yang akan dibahas. Ketiga, menafsirkan al-Qur’an dengan jalan merefleksikan kata-kata dan makna ayat dengan bantuan sejumlah ayat lain yang relevan, dan sebagai tambahan, dengan merujuk kepada hadist-hadist sejauh hal tersebut memang diperlukan. Meteode tafsir seperti ini disebut metode tahlili.

Dalam kitab tafsirnya al-Mizan ini al-Tabataba’i mengikuti sistematika tartib mushafi, yaitu menyusun kitab tafsir berdasarkan susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam mushaf al-Quran, yang dimulai dari Surah al-Fatihah hingga berakhir pada Surah al-Nas. Meski menempuh sistematika tartib mushafi, namun al-Tabataba’I dalam penafsirannya membagi-baginya ke dalam beberapa tema. Sehingga dalam menafsirkan al-Quran, al-Tabataba’i tidak melakukannya secara ayat per ayat, melainkan mengumpulkan beberapa ayat untuk kemudian baru diberikan penafsirannya. Dalam kaitan ini, al-Tabataba’i mengawalinya dengan tema penjelasan yang meliputi kajian mufradat, I’rab, balagah, kemudian tema kajian riwayat yang di dalamnya berisi pandangan berbagai riwayat yang disikapi al-Tabataba’i secara kritis, dilanjutkan kajian filsafat dan lain-lain.

E. Karakteristik Tafsir al-Mizan
Ciri terpenting tafsir al-Mizan adalah tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an. Dalam tafsir-tafsir sebelumnya pada umumnya, apabila sebuah ayat kemungkinan memiliki beberapa makna, maka seorang mufasir akan menukil kemungkinan-kemungkinan tanpa memberikan mana yang lebih cocok menurut seorang mufasir itu namun salah satu kelebihan Tafsir al-Mizan adalah memberikan penjelasan makna, mana yang lebih cocok dengan bantuan ayat lainnya atau tanda-tanda yang ada pada ayat itu sendiri. Allamah Thabathabai juga memberikan penjelasan sebagian istilah agama dan qurani seperti kemustahaban doa, tauhid, taubat, rizki, berkah, jihad, dan lainnya dengan bantuan ayat-ayat Alquran.

Pada masa lalu, tidak menjadi tradisi bahwa seorang mufasir meletakkan ayat-ayat Alquran pada satu tema yang kemudian menyatukan dan mengambil kesimpulan, namun Allamah Thabathabai dalam berbagai hal telah melakukan hal ini. Misalnya ia menyatukan semua ayat yang berkenaan dengan ihbāth (kisah turunnya Nabi Adam as) dan menarik kesimpulan apakah yang dimaksud dengan ihbāth menurut ayat Alquran.

Salah satu keisitimewaan Tafsir al-Mizan yang menonjol adalah kisah Alquran. Allamah menyatukan dan menafsirkan semua ayat-ayat Alquran yang berkenaan dengan kisah-kisah Alquran dan dalam hal jika di ayat lain mengisyaratkan akan hal itu lagi, maka Allamah akan mengungkapkan lagi namun secara singkat. Untuk mengetahui kisah-kisah nabi, tafsir yang ia tulis merupakan literatur yang paling baik. Allamah Thabathabai, disamping membandingkan Taurat dan Injil dengan Alquran, juga menentukan hal-hal yang telah mengalami distorsi.

Corak yang cukup jelas dalam Tafsir al-Mizan adalah memberi jawaban atas keraguan dan berupaya untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta menaruh perhatian khusus terhadap masalah ilmiah dan filsafat teologis dari sisi lain.

F. Terjemahan Tafsir al-Mizan
Tafsir al-Mizan ditulis dalam bahasa Arab dalam 20 jilid (kira-kira 8000 halaman). Pada mulanya sekumpulan dari ulama dan para staf pengajar Hauzah Ilmiyah Qom seperti Ayatullah Makarim Syirazi, Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, Ayatullah Abdul Karim Burujerdi dan lainnya menerjemahkan kitab Tafsir al-Mizan ke dalam bahasa Persia dalam 40 jilid (kira-kira 16.000 halaman), namun karena setengah dari al-Mizan itu diterjemahkan oleh Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamedani, maka atas saran Allamah Thabathabai sisa jilid Tafsir Al-Mizan kembali diterjemahkan lagi oleh Ayatullah Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamedani.

Teks Arab Tafsir al-Mizan diterbitkan oleh Dar al-Kitab Islamiyah di Tehran pada tahun 1375 H/1955 dan Muasasah al-A'la di Beirut pada tahun 1382 H/1962 dan 1417 H/1996, sedangkan teks Persianya diterbitkan oleh Muasasah Dar al-Ilm Qom, Kanun Intisyarat Tehran dan Daftar Intisyarat Islami (yang menginduk kepada Jamiah Mudarisin Hauzah Ilmiah Qom) dan telah mengalami beberapa kali cetak ulang.

Tafsir ini hingga sekarang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti: Persia, Inggris, Urdu, Turki, Spanyol termasuk bahasa Indonesia. Terjemahan dalam bahasa Inggris dimulai dari permulaan Alquran hingga ayat 74 surah an-Nisa dan terdiri dari 4 jilid teks bahasa Arabnya, namun sayangnya tidak berlanjut. Terjemahan ke dalam bahasa Inggris ini juga terbit di luar Iran. Di tanah air, 7 jilid pertama kitab tafsir ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

G. Pendapat para Ulama tentang Tafsir al-Mizan
Ayatullah Muthahhari: Kitab Tafsir al-Mizan adalah salah satu kitab tafsir terbaik Al-Quran. Aku bisa mengklaim bahwa tafsir ini dari sisi spesialisasi adalah kitab tafsir terbaik yang ada diantara Sunni dan Syiah semenjak permulaan Islam hingga zaman sekarang ini.

Ayatullah Jawadi Amuli: Sebagaimana bahwa Al-Quran adalah gudang semua ilmu, tafsir yang ditulis oleh Allamah Thabathabai juga merupakan gudang pemikiran dan keilmuan dimana seorang teolog memanfaatkan kehadirannya (demikian juga karyanya) dan menyampaikan kepada orang lain.
Allamah Sayid Muhammad Husaini Tehrani: Pada karya ini terkumpul makna-makna dhahir, batin, aqli, naqli, semuanya memainkan peranannya masing-masing. Tafsir ini sangat menarik untuk diperkenalkan sebagai bukti akidah Syiah kepada dunia. Tafsir ini juga memiliki titik sensitif, unik dan komprehensif.

Ayatullah Ja'far Subhani: Alllamah Thabathabai harus dianggap sebagai pendiri metode khusus dalam penafsiran karena metode ini hanya ada pada keluarga wahyu, yaitu upaya menghilangkan kekaburan yang ada dengan menggunakan ayat-ayat lain Al-Quran.

Ayatullah Nashir Makarim Syirazi: Karya dengan menggunakan metode luar biasa yaitu tafsir Al-Quran bi Al-Quran dan pasti mencakup kumpulan kebenaran yang hingga kini tersembunyi bagi kita.
Ayatullah Muhammad Hadi Ma'rifat: Tafsir ini adalah harta dari pemikiran Islam. Penemuan baru yang patut diperhatikan. Allamah Thabathabai dalam karyanya melakukan penelitian dengan sangat cermat dan teliti yang bisa menciptakan perubahan dalam bidang pemikiran-pemikiran ke-Islaman, keilmuan, filsafat dan Islam. Oleh itu, pembahasan dan penelitian mengenai hal itu, merupakan sesuatu penting yang harus dilakukan oleh hauzah-hauzah ilmiah Syiah.

Ayatullah Muhammad Gilani, murid Allamah: Luar biasa Tafsir al-Mizan! Sang penulis tidak hanya menggunakan metode rasional untuk menjelaskan penafsirannya, tapi pembahasan-pembahasan filsafat dan riwayat sengaja dibahas di Tafsir al-Mizan dengan alasan kebenaran ilmu-ilmu ini bisa dibuktikan melalui Al-Quran dan perkataan [[Ahlulbait as].

H. Sumber Rujukan Tafsir al-Mizan
Berdasarkan kitab-kitab di atas, Allamah Thabathabai menggunakan kitab-kitab berikut ini sebagai referensinya: Kitab-kitab Tafsir: Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi, Tafsir Majma' al-Bayan, Tafsir Ibn Abbas, Tafsir Kasysyaf, Tafsir Thabari, Tafsir Baidhawi, Tafsir Abu al-Su'ud, Tafsir Dur al-Mantsur, Tafsir Ruh al-Ma'ani, Al-Jawahir (Thanthawi), Tafsir al-Manar, Tafsir al-Burhan, Tafsir al-Shafi, Tafsir Nu'mani, Tafsir al-Qummi, Tafsir Nur al-Tsaqalain, sebagian kitab-kitab Ayat al-Ahkam dan lainnya. Sumber rujukan Allamah Thabathabai dalam pembahasan mengenai riwayat-riwayat sebagian besarnya menggunakan
kitab-kitab seperti: Dar al-Mantsur dan Tafsir Nur al-Tsaqalain.
Kitab lughat: Mufradat Raghib, Sihah al-Lughah, al-Misbah al-Munir, Qamus al-Lughah, Lisan al-‘Arab, Al-Mazhar fi Ululmu al-Lughah. Kitab-kitab sejarah yang sangat banyak: Berbagai Dairah Ma'arif, Taurat, Injil, majalah-majalah dan berbagai surat kabar pada waktu itu. Itu semua sumber-sumber rujukan yang digunakan oleh Allamah Thabathabai dalam menulis kitab Tafsir al-Mizan.


BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Sayid Muhammad Husain Thabathabai adalah seorang filosof, hakim muta'allih, mufassir kenamaan lahir di sebuah desa Syadgan, Tabriz. Pada tahun 1925 M/1281 H demi menyempurnakan pelajarannya, ia hijrah ke Najaf dan belajar dari ulama-ulama terkenal seperti: Ayatullah Husain Gharawi (Isfahani) terkenal dengan Kumpani, Ayatullah Muhsin Naini, Ayatullah Hujjah Kuhkamari, Ayatullah Husain Badkubai, Ayatullah Abul Qasim Khunshari dan Ayatullah Sayid Ali Qadhi.

Setelah mendapatkan derajat ijtihad, pada tahun 1935 ia kembali ke tempat kelahirannya, Tabriz dan pada tahun 1946 pergi ke Qom dan tinggal di kota itu. Allamah Thabathabai semenjak saat itu hingga akhir hayatnya, di samping mengajar filsafat dan tafsir di Hauzah Ilmiyah Qom juga menulis Tafsir al-Mizan dan selesai pada malam 23 Ramadhan (Lailatul Qadar) tahun 1392 H/1971, setelah hampir selama 20 tahun ditulisnya.

Allamah Thabathabai meninggal dunia pada 15 November 1981 dan dimakamkan di Masjid Al-Asr Haram Sayidah Fatimah Maksumah sa Qom. Selain Tafsir Al-Mizan, kitab-kitab lainnya yang merupakan karyanya di antaranya: Ushul Falsafah wa Rawisy Rialism, Bidāyah al-Hikmah, Nihāyah al-Hikmah dan Syiah dar Islām.

Thabathaba’i menulis kitab tafsirnya, al-Mizan adalah karena ia ingin mengajarkan dan menafsirkan al-Qur’an yang mampu mengantisipasi gejolak rasionalitas pada masanya. Di sisi lain, karena gagasan-gagasan matrealistik telah sangat mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis yang akan memungkinkan hawzah tersebut mengkolaborasikan prinsip-prinsip intelektual dan doktrinal dalam islam dengan menggunakan argumen-argumen rasional dalam rangka mempertahankan posisi islam.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur’ Waryono, Millah Ibrahim dalam al-Mizan fi tafsir al-Qur’an. (Yogyakarta: Sukses Offset. 2008).
Baidlowi, Ahmad, Al-Thabathaba’i dan kitab tafsirnya, al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an. (Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadist Vol. 5 No. I Januari 2004: 29-43).
Thabathaba’I, Muhammad Husain, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, terj. A. Malik Madaniy dan Hamin Ilyas, (Bandung: Mizan, 1992) h. 5. Lihat juga Ensiklopedi Dunia Islam Modern.
Zendegi Nāmeh Khud Newesy Allamah Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Cet. Fulistan Quran, Adzar 1381, No. 136, hlm. 5.
Ayatullah Jawadi Amuli, Syams al-Wahyi Tabrizi (Sireh-ye Amali Allamah Thabathabai), hlm. 96.
Dānesy Nāmeh Qurān wa Qurān Pazuhi, Bahauddin Khuramsyahi, Nasyar Dustan, Nahid, Tehran: 1381, jld. 1, hlm. 770.
Majmu'ah Ātsār Ustad Muthahhari, jld. 25, hlm. 429.


Diakses seluruhnya pada tanggal 22 Oktober 2018 pukul 22:00

Post a Comment for "Tentang Tafsir Al-Mizan"