Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُÙˆْصُ Ù‚َدْ Ø¥ِÙ†ْتِÙ‡َÙ‰ ÙˆَالْÙˆَÙ‚َائِعُ غَÙŠْرُ Ù…ُتَÙ†َÙ‡ِÙŠَØ© # صَÙ„ِØ­ٌ Ù„َÙƒُÙ„ِّ زَÙ…َان ÙˆَÙ…َÙƒَان

MAKALAH : STEFAN WILD


MAKALAH
 STEFAN WILD
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
 Study Qur’an Orientalis
Dosen : Muzayyin, M.Hum.



Disusun Oleh :
Muh. Amin (1631034)
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR V
FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH
IAINU KEBUMEN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Stefan Wild” Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas makul study Qur’an orientalis “ Stefan Wild”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.









DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................  1   
KATA PENGANTAR ...............................................................................  2
DAFTAR ISI ..............................................................................................  3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 4
A. Latar Belakang................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 6
A.    Biografi dan Karya Stefan Wild....................................................... 6
B.     Stefan Wild dan Qur’an studies........................................................ 6
C.     Stefan Wild dan Konsep Pewahyuan Al-Qur’.................................. 9
BAB III PENUTUP.................................................................................... 14
A. Kesimpulan......................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 15










BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pentingnya al-Qur’an bagi muslim dan Islam sama dengan pentingnya Yesus Kristus bagi umat Kristiani dan Kristen. Artinya, baik sarjana Muslim maupun non muslim, dari masa ke masa melakukan penelitian dengan berbagai metode dan paradigm untuk membuktikan statemen tersebut.
Sarjana muslim sepakat bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad saw melalui perantara Jibril. Pada periode awal, al-Qur’an belum terbukukan rapi. Pembukuan al-Qur’an atau yang sering dikenal dengan istilah kanosisasi puncaknya terjadi pada era khalifah Utsman bin Affan. Proses perubahan tersebut, dari sesuatu yang tidak tertulis menjadi tertulis dalam waktu belakangan ini telah menarik minat para sarjana untuk menelitinya. Perubahan tersebut, yang seharusnya menyelesaikan beberapa persoalan, di kemudian hari melahirkan persoalan baru, salah satu persoalan yaitu terkait text.
Sebagian sarjana barat dalam kesimpulannya atas studi pretext atau al-Qur’an sebelum dikodifikasikan menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur lain dalam pembentukan al-Qur’an. Misalnya al-Qur’an telah mengadopsi atau mengambil himne-himne umat Kristiani, mengadopsi ajaran Yahudi dan al-Qur’an berasal dari bahasa Syro-Aramaic. Adanya unsur-unsur tersebut, mereka secara tidak langsung menyimpulkan bahwa al-Qur’an bukanlah kalamullah, meragukan orisinilitas atas al-Qur’an sebagai firman. Namun dipihak lain, ada sebagian sarjana Barat yang tidak sependapat dengan hasil kajian tersebut.
Stefan Wild adalah sarjana barat yang tidak sependapat dengan hasil kajian diatas. Wild tetap percaya al-Qur’an adalah sebuah firman Tuhan yang sama halnya yang diyakini terhadap Yesus. Tetapi firman Tuhan yang berupa al-Qur’an dan firman Tuhan yang berupa Yesus jauh berbeda, sehingga terjadi reduksi pemahaman, bahkan kesalahan fatal, jika membandingkan antara kedua firman tersebut.

B. Rumusan Masalah
            Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah :
1.      Bagaimana biografi Stefan Wild ?
2.      Apa saja karya-karya dari Stefan Wild ?
3.      Bagaimana metode dan pemikiran Stefan Wild ?
4.      Bagaimana sanggahan terhadap pemikiran Stefan Wild ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui biografi Stefan Wild.
2.      Untuk mengetahui karya-karya Stefan Wild.
3.      Untuk mengetahui metode dan pemikiran Stefan Wild.
4.      Untuk mengetahui sanggahan terhadap pemikiran Stefan Wild.













BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi dan Karya Stefan Wild
Stefan Wild lahir pada 2 Maret 1937, di Leipzig, Jerman. Wild belajar di Universitas Munich, Yale University, Erlangen dan Tuebengin lulus pada tahun 1961, kemudian menyelesaikan habilitasi pada tahun 1968 di University of Munich dalam perdagangan Semit. 1968-1973 dia menduduki jabatan Direktur Orient-Institus derdeutscshen Morgenlandischen Gesellschaft di Beirut, Lebanon. Pada tahun 1974-1977, Wild menjabat sebagai Profesor Bahasa Semit dan Studi Islam di Universitas Amsterdam dan pada tahun 1977-2002 menjabat sebagai professor Semit-Filologi dan studi Islam di Universitas Bon.[1]
Di antara karya-karyanya adalah Das Kitab al-‘Ain und diearabische Lexikographie. Libanesische Ortsnamen, Typologi und Deutung. Ghassan Kanafi, The life of a Palestinian. The Qur’an as Text. Akten des 27. Deutschen Orientalistentages. Mensch, Prophet und Gott im Islam. Selain karya berbentuk buku Wild juga seorang penulis artikel dan beberapa diantaranya adalah “Lost in Philology? The Virgins of Paradies and The Luxenbreg Hypothesis” dalam Angelika Neuwirth (ed), The Qur’an in Context : Historical and Literary Investigations into the Qur’anic Mileu. “Political Interpretation of the Qur’an” dalam Jane Dammen Mc Auliffe (ed), The Cambridge Companion to The Qur’an. Arabic Recitation :The Meta Linguistics of Qur’anic Revelation” dalam Stefan Wild(ed) Self-Referentiality in the Qur’an.
B.  Stefan Wild dalam Qur’anic Studies
Al-Qur’an sebagai sumber utama umat dalam Islam ditafsirkan oleh para ulama/sarjana Islam secara beragam dari sejak masa klasik/pertengahan hingga saat ini. Tidak hanya oleh umat Muslim, para sarjana non Muslim juga ikut melakukannya. Jika membaca Edward Said, Orientalisme, maka tujuan dari pada sarjana non Muslim salah satunya adalah kolonialisme. Namun perubahan masa, ikut andil menggeser paradigm yang diikuti oleh sarjana non Muslim, setidaknya mereka telah meninggalkan tujuan kolonialisme. Tujuan lain, seperti mencari titik lemah sebuah agama yang dianut oleh penduduk timur perlu diwaspadai dan dicermati, bahkan dikaji ulang.
Semisal Cristhop Luxenbreg yang melihat bahwa al-Qur’an bukan sebagai firman Tuhan yang suci, karena terdapat beberapa bahasa atau istilah yang sudah eksis sebelumnya dan mengalami kesalahan dalam memahaminya. Lunxenberg dalam karyanya, The Syro Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran, mengatakan bahwa terdapatnya bahasa-bahasa Syro-Aramaic yang diadopsi oleh al-Qur’an, menunjukan bahwa al-Qur’an bukanlah firman Tuhan. Hypothesis tersebut lahir ketika luxenberg meneliti kata-kata “Houri” yang sering digunakan oleh al-Qur’an untuk mengilustrasikan wanita surga atau imbalan yang didapat bagi orang beriman.[2]
Berbeda dengan pendapat Luxenberg, John Wansbrough mengatakan bahwa otentitas al-Qur’an sangat diragukan karena peralihan dari non teks kepada teks terjadi bukan pada masa Nabi, sehingga kemungkinan masyarakat pada waktu itu melakukan nogoisasi atau konspirasi dalam penulisan al-Qur’an. Namun yang dipahami oleh Wansbroug adalah epistemology al-Qur’an.
Menurut Wansbrough, yang dinamakan al-Qur’an adalah ketika al-Qur’an sudah berbentuk teks yang sempurna (fixed text), dengan demikian al-Qur’an menurutnya adalah al-Qur’an yang melewati kodifikasi pada era Usman. Wansbroug menafikan tradisi hafalan (oral tradition ) yang dijadikan alat utama dalam memelihara al-Qur’an sebelum kodifikasi dan bahkan tradisi tersebut sampai saat ini masih bertahan. Kodifikasi al-Qur’an yang dilakukan oleh Utsman juga menetapkan salah satu syarat untuk menulis al-Qur’an adalah berdasarkan tradisi oral.
Sekilas melihat pemaparan di atas, kesimpulan yang mengatakan bahwa orientalis hingga sekarang masih mencari kelemahan dari agama lain tetap subur tertanam, tetapi pendapat tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Seperti kajian Stuktural-Semiotik yang dilakukan Ian Richard Netton terhadap surah al-Khaf. Pada dasarnya, kajian Netton merupakan respon atas asumsi bahwa al-Qur’an tidak sistematis-holistik-komperhensif. Dalam al-Qur’an terdapat beberapa kisah dalam satu surah, seperti al-Kahf. Tetapi, berdasarkan kajiannya melalui kajian structural-semiotik, surah al-Kahf bersifat holistic karena membicarakan satu tema: jenis-jenis manusia di dunia. Menurutnya, jenis-jenis manusia berdasarkan surah al-Kahf adalah sleeper, proto-muslim, hero, mistikus dan anti-hero.
Bagaimana dengan Stefan Wild dalam ruang lingkup kajian al-Qur’an yang dilakukan oleh sarjana Barat? Tulisan Wild yang berjudul Los in Philology? The Virgins of Paradise and The Luxenberg Hypothesis merupakan kajian yang focus terhadap kajian sumber-sumber bahan al-Qur’an sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Luxenberg. Jika luxenbreg mengkaji sumber tersebut menggunakan literary criticsm, maka Wild mendekati permasalahan yang sama dengan lexenbreg dengan historical criticsm. Menurutnya, al-Qur’an menggunakan kata Houri bukan menggambarkan al-Qur’an mengadopsi bahasa lain, tetapi lebih menggambarkan keadaan social-geografis masyarakat Arab pada waktu diturunkannya al-Qur’an. Seperti yang sudah diketahui, bahwa keadaan masyarakat Arab secara geografis di tengah bentangan gurun padang pasir, secara social, masyarakat Arab pada waktu itu tidak menghargai wanita dengan semestinya. Oleh karena itu, dengan menggunakan houri al-Qur’an ingin mengharagai wanita dan mensimulasi masyarakat Arab dengan sesuatu yang tidak perna dilihat sebelumnya, sehingga kata houri bersifat informative terhadap orang yang percaya terhadap Allah.[3]
Wild dalam tulisannya “Political Interpretation in the Qur’an” mengatakan meski kondisi masyarakat menjadi refleksi diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an dan bahkan ada bahasa, istilah atau prinsip yang sudah terpakai sebelumnya berlaku dalam al-Qur’an, tetapi al-Qur’an mengadopsinya tidak semena-mena, ada prinsip modifikasi dengan nilai-nilai Islam.
Selanjutnya, Wild mengingatkan bahwa memahami al-Qur’an sebelum menjadi fixed text (istilah Wansbrough), late antiquity (Angelika Neuwirth) atau pre-text (Wild), perlu mengetahui teks-teks tersebut mengalami sebuah proses panjang, salah satu proses tersebut adalah transformasi dari bahasa langit kepada bahasa bumi, transformasi tersebut oleh Wild sebagai metalinguistik, dan kemudian menjadi bahasa teks.  Memang harus diakui, tranformasi al-Qur’an menjadi sebuah teks yang dilakukan oleh Utsman pada abad ke-2 H secara otomatis menjadikan al-Qur’an sebagai corpus tertutup dan mereduksi bagian fundamental-transdental al-Qur’an, yaitu al-Qur’an sebagai firman Tuhan. Oleh karena itu, Wild  ketika ketika mengkaji pewahyuan al-Qur’an, yang dibahas lebih detail pada tulisan ini, tetap memegang teguh nilai-nilai metalinguistik itu. Ini dilakukannya ketika mengkaji kata n-z-l, baik derivasi atau infinitifnya, bahwa kata tersebut mengandung nilai-nilai tranformasi bahasa Tuhan kepada bahasa manusia.
Berangkat dari realita di atas, sarjana barat , melakukan beragam penelitian dan kesimpulannya juga berbeda, sehingga generalitas penilaian terhadapnya tidak dapt dilakukan lagi. Focus kajian yang bermacam-macam seperti kajian sumber al-Qur’an oleh Luxenberg, Wansbrough dan Wiliam A. Graham. Kajian kandungan al-Qur’an oleh Ian Richard Netton, otentisitas al-Qur’an oleh Angelika Neuwirth, kajian tafsir oleh dan ulumul al-Qur’an oleh Anthony H. John.
C.  Stefan Wild dan Konsep Pewahyuan Al-Qur’an
Seperti yang sudah dijelaskna di atas, bahwa al-Qur’an adalah kalamullah yang berbentuk teks, teks yang berbentuk bahasa Arab dan dibaca sebagai buku bahasa arab. Al-Qur’an sendiri menegaskan hal ini[4], dalam artian bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bentuk bahasa Arab. Proses turunnya al-Qur’an inilah yang menjadi bahan diskusi hangat oleh sarjana ketika mengkaji salah satu aspek pre-text al-Qur’an.
Asbab an-nuzul yang diartikan kedalam bahasa inggris sebagai “occasion of revelation” sangat problematic. Hal tersebut dikarenakan nuzul sendiri bukanlah al-Qur’an, tetapi konsep turun (coming down) dan diturunkannya (sending down) sebuah ayat al-Qur’an. Penerjemahan tersebut terpengaruh atas tradisi Kristen, padahal term “revelation” dalam kristen bermakna metafora seperti pembukaan “unveiling”; kata “epiphany (epiphaneia)” yang bermakna terlihat. Sehingga penerjemahan tersebut menggambarkan seolah Allah memperkenalkan diri-Nya agar terlihat dan terdengar bagi umat-Nya. Seperti yang sudah dijelaskan, wahyu dalam Islam dan Kristen berbeda, Islam wahyunya berupa kalamullah dan Kristen berupa manusia dalam diri Isa.
Ibn Manzur menjelaskan bahwa nuzul memiliki makna dasar turun dari atas ke bawah, jika hal tersebut dikaitkan bahwa al-Qur’an temurun dari atas ke bawah. Bahwa al-Qur’an ditransformasikan dari bahasa ketuhanan ke dalam bahasa manusia atau al-Qur’an diturunkan dari langit kepada manusia atau Muhammad Saw. Oleh karena itu , nuzul sebagai konsep menjelaskan bahwa al-Quran sesungguhnya memiliki dua dimensi yaitu ilahiyah dan insaniyah. Manna’ al-Qattan menegaskan dalam karyanya, mabahis fi Ulumul al-Qur’an, bahwa dua dimensi tersebut menuntut Allah untuk memakai perantara, meski tuntutan tersebut tidak absolute. Hal tersebut dikarenakan turunnya al-Qur’an juga ada yang secara langsung kepada Muhammad Saw, seperti pewahyuan al-Qur’an ketika Muhammad Saw tidur.[5] Maka pengistilahan pewahyuan dengan revelation problematic dan tidak dapat dibenarkan, karena dengan istilah tersebut, perantara seolah-olah tidak ada, padahal dalam realita yang ada, tidak semua wahyu yang turun tanpa perantara.
Berawal dari permasalahan tersebut, Stefan Wild mengidentifikasikan bahwa kata-kata al-Qur’an yang mendekati konsep “revelation” dalam Kristen adalah semua derivasi kata yang berasal dari kata kerja n-z-l. hal tersebut sebagaimana yang di ungkapkannya sebagai berikut.
“the most frequent Qur’anic words describing what Cristianity Called revelation are all derived from the verbal root n-z-l, either from n-z-l “to descend, to come down” (infinitives; nuzul) or from the derived stems n-z-l 11 and 1V “to send down(infinitives; tanzil and inzal)”.
Meski merupakan kata yang berderivasi dari n-z-l dan mendekati dengan konsep revelation dalam term Kristen, tetapi semua derivasi atau bentuk intivinitiv dari masing-masing derivasi mempunyai ruang lingkup, perantara, waktu dan makna sendiri-sendiri. Seperti derivasi n-z-l ke II yang berbentuk infinitive (tanzil) menunjukan hasil dari sebuah proses, tidak hanya prose situ saja. Sedangkan pada n-z-l ke I (nuzul), Allah tidak menjadi subjek atas apa yang ada di dalamnya, khusus pada ayat-ayat al-Qur’an, dan derivasi n-z-l bentuk IV (anzala/inzal) lebih sering menunjukan kepedulian Allah terhadap manusia, seperti adanya hukuman.
Konsep inzal dan tanzil ala Sahrur menekankan proses tranformasi al-Qur’an dari dunia ilahi, kepada alam piker manusia, yaitu Nabi Muhammad. Proses tersebut sangatlah penting dalam membuat perbandingan atas kajian para sarjana barat. Dengan tranformasi tersebut, ditambah dengan Nabi adalah seorang ummi, maka adanya istilah peminjaman bahasa yang sudah eksis sebelum  turunnya al-Qur’an adalah bentuk kepedulian Tuhan pada mahluknya. Di samping itu, bahasa-bahasa tersebut menunjukan kontuinitas agama samawi yang dimulai dari manusia pertama sampai kepada Muhammad.[6]
 Berbeda dengan Sahrur, konsep inzal dan tanzil yang digagas oleh Wild lebih menekankan logika multi-dimensi pewahyuan al-Qur’an. Meski sama-sama menekankan adanya perbedaan antara inzal dan tanzil, tetapi dengan pendikotomian lafal derivative n-z-l, Wild secara tidak langsung menguatkan pewahyuan yang diyakini oleh sarjana Muslim dan berbeda dengan kajian sarjana non muslim.
Sarjana muslim meyakini bahwa pewahyuan al-Qur’an setidaknya memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi illhaiyah. Dimensi ini adalah proses transformasi kalamullah yang bersifat teks ilahi kepada teks bersifat malaikat. Al-Qur’an di-tanzilkan oleh Allah kepada Malaikat dalam transformasi kalam ilahi kepada kalam malaki, kemudian malaikat mentransformasikan kalam tersebut kepada kalam inasani (anzala/inzal) sebagaimana yang digambarkan dalm Q.S al-Zumar /39:1-2.
Oleh karena itu, Imam Suyuti dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, menjelaskan bahwa al-Qur’an yang sampai kepada Nabi, dibaca dan didengar, sudah melalui proses linguistic yang panjang, yaitu proses penciptaan, transformasi di lauh al-mahfud dan terakhir terakhir transformasi langit dunia. Proses tersebut menjadi sebuah keharusan karena Allah sebagi authornya, berbeda dimensi pembacanya, Muhammmad Saw, ataupun manusia pada umumnya.
Namun dasar gagasan yang dibawa oleh Wild diatas berbeda dengan gagasan pewahyuan yang dibawa oleh sarjana Muslim secara umum. Kajian sarjana Muslim tentang pewahyuan umumnya berdasarkan kata w-h-y, seperti M.M. A’zami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text, meski sama-sama menampilkan kajian tentang derivasi n-z-l, Azami tidak menfokuskan kajiannya kepada kata tersebut, tetapi fokusnya kepada w-h-y. hal ini juga terlihat dalam kitab primer kajian al-Qur’an sarjana muslim, Mabahis fi ulumul Al-Qur’an.[7]
Adapun perantara (mediation/agent of) dari tanzil dan inzal menurut Wild adalah konteks al-Qur’an yang bersifat ilahiyah dan nuzul perantaranya adalah persoalan-persoalan Tuhan tersebut yang melatarbelakangi adanya tanzil dan inzal. Akan tetapi, perantara dari semua perantara adalh Jibril. “God Send the angel down to the prophet Muhammad, the angel sends down God’s word into the Prophet’s heart”.
Melihat klarifikasi perantara yang dilakukan oleh Wild diatas, Wild tidak langsung mengatakan bahwa tanzi dan inzal saling tali temali dengan proses nuzul, atau bisa dikatakan bahwa dalam pewahyuan, khususnya al-Qur’an, ketiga konsep tersebut teraplikasikan. Namun perkembangan keilmuan asbab al nuzul menjadi makro-mikro yang dipelopori Hasan Hanafi, menyebabkan konsep yang dikembangkan oleh Wild seolah-olah mendapat dukungan.
Sedangkan rentan waktu dari nuzul, tanzil, dan inzal, Stefan Wild lebih melihat antara dikotomi term Mekkah dan Madinah. Dia melihat dikotomi tersebut tidaklah tepat untuk klarifikasi pembagiannya, karena di Madinah dan Mekkah Nabi Muhammad Saw juga menerima wahyu, baik berupa nuzul, tanzil, maupun inzal. Hal tersebut disebabkan wahyu Tuhan bersifat temporal mengikuti setting sejarah manusia. Sehingga dikotomi tersebut terkesan seperti tanzil di Madinah bersifat nasikh dan tanzil di Mekkah bersifat mansukh. Padahal al-Qur’an diturunkan secara totalitas melihat fenomena masyarakat.
Oleh karena itu, study pewahyuan harus terlepas dari konsep waktu yang membelenggu selama ini, makkiy dan madaniy. Study pewahyuan al-Qur’an yang digagas oleh Wild mencoba menguatkan asumsi bahwa asbab an-nuzul yang selama ini dipahami bukanlah sesuatu yang mengikat dalam menentukan kategorisasi level pewahyuan ayat/surat al-Qur’an. Dalam artian bahwa asbab an nuzul dalam posisi pewahyuan merupakan konsep penunjang dari luar al-Qur’an (ma haul al-Qur’an), sedangkan nuzul, tanzil, maupun inzal dalam persoalan ini merupakan penunjang dari dalam (ma fil al-qur’an). Tetapi, dua konsep besar tersebut, asbab an-nuzul dan nuzul, tanzil maupun inzal, bukan al-Qur’an.























BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.      Stefan Wild lahir pada 2 Maret 1937, di Leipzig, Jerman. Wild belajar di Universitas Munich, Yale University, Erlangen dan Tuebengin.
2.      Di antara karya-karyanya adalah Das Kitab al-‘Ain und diearabische Lexikographie. Libanesische Ortsnamen, Typologi und Deutung. Ghassan Kanafi, The life of a Palestinian. The Qur’an as Text. Akten des 27. Deutschen Orientalistentages. Mensch, Prophet und Gott im Islam.
3.      Study pewahyuan al-Qur’an yang digagas oleh Wild mencoba menguatkan asumsi bahwa asbab an-nuzul yang selama ini dipahami bukanlah sesuatu yang mengikat dalam menentukan kategorisasi level pewahyuan ayat/surat al-Qur’an.
4.      M.M. A’zami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text, meski sama-sama menampilkan kajian tentang derivasi n-z-l, Azami tidak menfokuskan kajiannya kepada kata tersebut,tetapi fokusnya kepada w-h-y.

B.  SARAN DAN KRITIK
Demikian makalah yang kami susun, semoga bermanfaat. Apabila terdapat   kesalahan kata dan penyusunan kami memohon kritik dan saran serta permohonan maaf yang sebesar-besarnya.











DAFTAR PUSTAKA
Moh. Achwan Baharuddin. Pdf Konsep Pewahyuan Al-Qur’an. Di akses tgl 1 Desember 2018. Jam 19.00 WIB.
Luxenberg,Cristhop. 2007. The Syro Aramaic Reading af the Koran. Berlin: Verlag Hans Schiler
Wild.Stefen. 2010.Lost In Philogy? The Virgins Of Paadies And The Luxenbreg Hypothesis. Leiden : Brill




[1] . Moh. Achwah Baharuddin, Pdf Konsep Pewahyuan Al-Qur’an, Hlm 163
[2] . Cristhop Luxenbreg, The Syro Aramaic Reading of the Koran. (Berlin,:Verlag Hans Schiler, 2007) hlm. 247
[3] . Stefen Wild , Lost In Philology?The Virgins of Paradise And The Luxenberg Hypothesis, (Leiden: Bril) hlm. 625.
[4] .Q.S .al-Zukhruf/43: 3.
[5] . Manna al-Qattan, Mabahis fil Ulumul al-Qur’an. Tkp: Mansurah al-isry al-Hadis 1973, hlm 37.
[6] . Moh. Achwah Baharuddin, Pdf Konsep Pewahyuan Al-Qur’an, Hlm 170
[7] . Moh. Achwah Baharuddin, Pdf Konsep Pewahyuan Al-Qur’an, Hlm 171

Post a Comment for "MAKALAH : STEFAN WILD"