Penyalahgunaan Pendekatan Antropologi dalam Kajian al-Quran
Pada prakteknya sosiologi maupun antropologi modern tak jarang dijadikan senjata untuk mereduksi otoritas al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Karena metode yang ditonjolkan adalah fungsi akal dan nalar di atas segala-galanya.
Karena dominasi pandangan hidup sekuler-liberal-ultra liberal seperti di atas, maka nilai-nilai yang ada pada tradisi dan agama –yang sudah mapan- menjadi terpinggirkan bahkan dibongkar. Renè Descartes, -bapak filsafat modern- dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Wahyu dalam struktur epistimologi menjadi terpinggirkan. Sekularisasi epistimologi semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang mengangap realitas sebagai perubahan dialektis. Akhirnya, sekularisasi epistimologi memasuki ruang lingkup agama. Hasilnya tidak ada lagi yang benar-benar sakral, abadi dan universal. Semuanya manusiawi belaka. Manusia lebih tahu tentang dirinya sehingga tak perlu campur tangan kitab suci dan aturan dari Tuhan.
Oleh kelompok liberal, antropologi dijadikan ilmu alat untuk mereduksi kemapanan sebagian tafsir al-Qur’an. Lihat saja bagaimana tafsir emansipatoris yang berkembang –justru- dibidikkan untuk menggugat ayat-ayat yang diopinikan misogini dan memberi peran sub-ordinat bagi perempuan. Penyuaraan penyetaraan gender yang berlebihan dengan dalih porsi ini masih minim dalam penafsiran al-Qur’an para ahli tafsir salaf. Pada tataran ekstrim ada yang menyuarakan amandemen ayat-ayat di atas. Na’udzubillah min dzalik. Dr. Muhammad Belatagy menambahkan bahwa pemikiran seperti ini lebih masuk karena disuarakanoleh orang-orang Islam yang terkontaminasi oleh pergolakan budaya internal dan serangan budaya eksternal yang hedonis. Mengingat bahwa tema-tema perempuan menjadi salah satu sasaran empuk desakralisasi teks-teks al-Quran.
Sebagai contohnya, dengan pendekatan sosial menyuarakan penafian poligami oleh al-Quran sendiri, dengan dalil penasakhan hukum aslinya. Ayat yang digunakan adalah surat an-Nisa, ayat 129 . Tentunya pembacaan seperti ini tidak dibenarkan. Final destinasinya adalah penyetaraan gender dan penguapan supremasi laki-laki atas perempuan dalam praktek-praktek keberagaman.
Dalam konteks lebih luas, penggunaan metode ini akan menjadi kurang tepat bila mengadopsi peleburan istilah kata. Karena kata-kata dalam al-Qur’an ada haqiqah lughawiyah (makna bahasa) dan haqiqah syar’iyyah (makna syar’i). Seperti kata ash-shalah, al-jihad, al-Islam dan seterusnya. Penghapusan dua limit inilah yang menjadi masalah.
Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafazh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh atau kepasrahan total untuk al-Islam.
Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus hukuman pencuri yang muthlaqkemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul saw hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-syâri’ (sumber hukum otoritatif). Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tindakan tak menerapkan hukum potong tangan dan kemudian dijadikan justifikasi untuk keluar dari sakralitas teks alQur’an . Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul saw yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa diterima. Padahal seperti tutur al-Qurthubi, hal ini pernah dilakukan juga oleh Rasululla saw dan khalifah Abu Bakar ra . Hanya saja Umar ra populer dengan pernyataannya: ”Aku tidak memotong (tangan) pada tahun ini” .
Tak kalah serunya, juga ketika Umar ra memiliki penilaian khusus tentang menikahi perempuan ahli kitab. Saat sebagian besar ulama shahabat membolehkanya, bahkan Usman bbin Affan ra memperistri kitabiyah Nasrani, Talhah memperistri kitabiyah Yahudi; Umar melarang Hudzaifah. Hanya saja, pertanyaan cerdas Hudzaifah menjadi solusi polemik hukum ini. Hudzaifah menanyakan: Apakah ini halal atau haram? Umar menjawabnya: bukan, masalahnya tidak di situ. Hal ini halal. Hanya saja aku takutkan mereka berbuat makar dan mengalahkan perempuan-perempuan kalian sehingga kalian lebih tertarik pada mereka . Sebuah pandangan sosiologis yang matang. Sebuah langkah prefventif sosial yang cerdas. Dan tidak harus melawan otoritas teks yang memang benar menghalalkannya.
Post a Comment for "Penyalahgunaan Pendekatan Antropologi dalam Kajian al-Quran"