Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Perjalanan Ilmu Tafsir Dari Klasik hingga Kontemporer

296.web.id – Menurut hemat penulis, ilmu tafsir adalah ilmu yang menjabarkan isi Al-Qur’an dengan keterangan-keterangan agar supaya teks Al-Qur’an bisa dipahami. Usaha untuk menafsirkan Al-Qur’an telah ada sejak zaman para sahabat. Beberapa sahabat yang terkenal dalam hal penafsiran yaitu: Khalifaur Rasyidin (Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib), Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.

أشتهر باتفسير من الصحابة : الخلفاء الاربعة ، وابن مسعود ، وأبيّ بن كعب ، وزيد بن ثابت ، وأبو موسى الأشعري ، وعبد الله بن الزبير

(lihat: hal. 30, Mukhtashor al-Itqon fii ‘Ulumi al-Qur’an li as-Suyuti, lihat juga: hal. 783, al-Itqon fii ‘Ulumi al-Qur’an Jalaluddin as-Suyuti, Resalah Publisher)

Dalam proses menafsirkan Al-Qur’an, para sahabat menggunakan 4 fase. Pertama, para sahabat menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat didalam Al-Qur’an satu sama lainnya saling menafsirkan. Kedua, para sahabat merujuk pada penafsiran Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Ketiga, jika para sahabat tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri. Keempat, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H), Ka’ab al-Ahbâr (w. 32 H) dan lain-lain. (lihat: hal. 271-272, Kuliah ‘Ulumul Qur’an, Yunahar Ilyas, Itqan Publishing, 2013).

Dahulu, para sahabat yang memiliki permasalahan akan mendatangi Nabi Muhammad SAW dan menanyakannya tentang masalah yang sedang dihadapinya. Nabi Muhammad SAW akan memberikan respons atas pertanyaan tersebut, baik berupa perkataan, perbuatan, bahkan dengan hanya diam.

Meskipun tafsir Al-Qur’an sudah muncul sejak zaman Nabi Muhammad SAW namun, akan terus mengalami perkembangan, kedepan perkembangan ini akan terus berjalan dan semakin berkembang lagi tanpa berhenti atau berakhir pada satu tujuan atau batas tertentu. Hal ini tidak mengherankan, mengingat memang Al-Qur’an sungguh-sungguh merupakan kalam Ilahi, firman Tuhan semesta alam, yang tidak terdapat kontradiksi didalamnya, dan kandungan-kandungan keajaibannya tidak akan pernah habis.

Ada beberapa pendapat mengenai fase pembagian penafsiran Al-Qur’an, menurut Mawardi Abdullah dalam buku “Ulumul Qur’an” mengutip pendapat Iffat Al-Syarqawi, bahwa fase penafsiran Al-Qur’an sebelum era modern ada tiga fase, yaitu: fase tafsir ‘amali, tafsir nazhari, dan fase stagnan penafsiran. Menurut Iffat Al-Syarqawi sendiri, pembagian fase cenderung ke pembagian berdasarkan cara yang digunakan para mufassir, yaitu praktis (amali), teoritis (nazhari), dan repetitif dimasa stagnannya. Sementara Abdul Mustaqim, membagi fase penafsiran berdasarkan respons mufassir terhadap Al-Qur’an, yang terbagi menjadi tiga fase, yaitu: fase formatif, affirmatif, dan reformatif. (lihat; hal. 7, Metodologi Tafsir Dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer, Abd. Hadi, 2020).

Berdasarkan masa atau waktu , periode penafsiran dapat dibagi menjadi 3 masa, yaitu masa Nabi Muhammad SAW (12 SH-11 H) dan para sahabat (12 H- akhir abad 1 H), masa para Tabi’in, masa setelah Tabi’in atau semenjak kodifikasi tafsir sebagai ilmu hingga sekarang.

Masa Nabi Muhammad SAW (12 SH-11 H) dan para sahabat (12H- akhir abad 1H)

Penafsiran pada masa Nabi Muhammad SAW bernilai otoritatif dan mempunyai kualitas terbaik, karena sifatnya amali (praktis). Sebab bersumber langsung dari Nabi Muhammad SAW dalam bentuk hadits qauliyyah, fi’liyyah, maupun taqririyyah. Nabi Muhammad SAW memahami Al-Qur’an baik secara global maupun secara spesifik. Tidak ada satu makna, rahasia, hikmah, dan hukum pun yang terlepas dari pengetahuan beliau, baik yang tersirat ataupun tersurat. Sebab Nabi Muhammad SAW selalu dibimbing oleh wahyu, terutama yang berkaitann dengan hal ghaib, syari’at, dan ibadah. Nabi Muhammad SAW juga berijtihad dalam hal muamalah, kebijakan politik, dan strategi perang. Jika ada kesalahan, maka Allah SWT akan menurunkan wahyu sebagai koreksi dan teguran.

Ada perbedaan pendapat mengenai Apakah Nabi Muhammad SAW telah menafsirkan seluh Al-Qur’an atau belum ?. Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW telah menafsirkan seluruh Al-Qur’an, sebab tugas Nabi Muhammad SAW adalah untuk menafsirkan Al-Qur’an, maka mustahil apabila Al-Qur’an belum dijelaskan secara tuntas. Adapun golongan yang berpendapat bahwa tidak semua ayat Al-Qur’an ditafsirkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena tidak banyak riwayat hadis tenatang penafsiran, jadi Nabi Muhammad SAW hanya menafsirkan beberapa ayat yang sulit dipahami.

Dari Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At-Thabari dalam tafsirnya bahwa pada dasarnya tafsir Al-Qur’ann ada 4 macam :
  1. Tafsir yang diketahui oleh orang Arab dari pembicaraan mereka sendiri.
  2. Tafsir yang diketahui oleh setiap orang.
  3. Tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama.
  4. Tafsir yang tidak seorangpun mengetahuinya kecuali Allah SWT.

Jenis-jenis Tafsir pada Masa Nabi Muhammad SAW.

a. Bayan Al-Ta’rif, yaitu menjelaskan istilah yang ada dalam Al-Qur’an. Contohnya lafadz “al-kautsar” ayat 1, surat Al-Kautsar.

إِنَّا أَعْطَيْنَٰكَ ٱلْكَوْثَرَ ١
Artinya : “1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak”

Dijelaskan dalam beberapa hadits bahwa al-kautsar adalah sungai di surga yang kedua tepinya dilapisi dengan mutiara.

b. Bayan Al-Tafsir, yaitu menjelaskan terhadap konsep-konsep tertentu dalam suatu lafadz berupa perincian. Contohnya lafadz “ashoba” ayat 30, surat Al-Syura.

وَمَا أَصَٰبَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٖ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُواْ عَنْ كَثِيْرٍ ٣٠

Artinya : “30. Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”

Ditafsirkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan rinci yaitu: ‘uqubah (siksa), al-marad (sakit atau penyakit), al-nakhbah (bencana), dan al-bala (cobaan).

c. Bayan Tawsi’, yaitu penjelasan untuk memperluas pengertian yang terkandung dalam lafazh. Contohnya lafadz “ud’uni” ayat 60, surat Ghafir.

وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱُدْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْۚ إِنَّ ٱلَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ٦٠

Artinya : “60. Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".

Lafadz tersebut tidak hanya bermakna doa sebagai permohonan, tetapi juga ditafsirkan dengan perintah ibadah.

d. Bayan Al-Tamsil, yaitu penjelasannya dalam konteks memberi contoh sesuai dengan konteks saat itu. Contohnya ayat 60 surat Al-Anfal.

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسْتَطَعْتُمْ مِّنْ قُوَّةٖ وَمِنْ رِّبَاطِ ٱلْخَيْلِ تُرْهِبُوْنَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ وَءَاخَرِيْنَ مِنْ دُوْنِهِمْ لَا تَعْلَمُوْنَهُمُ ٱللَّهُ يَعْلَمُهُمْ وَمَا تُنْفِقُواْ مِنْ شَيْءٖ فِيْ سَبِيْلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ ٦٠

Artinya : “60. Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”.

Di mana untuk menghadapi musuh, kita harus mempersiapkan kekuatan.

Tafsir pada masa sahabat belum merupakan ilmu sendiri, masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang masih terpencar-pencar dan belum sistematis seperti tafsir pada zaman sekarang. Di samping belum sistematis, pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam.

Apabila dirujuk kembali pada masa sahabat, maka diketahui bahwa banyak dari kalangan sahabat yang hanya mencukupkan diri mengetahui makna global saja dari ayat-ayat Al-Qur’an. Penafsiran sahabat terhadap Al-Qur’an senantiasa mengacu kepada inti dan kandungan Al-Qur’an, mengarah kepada penjelasan makna yang dikehendaki dan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat, serta menggambarkan makna yang tinggi dari ayat-ayat yang berisi nasihat, petunjuk, kisah-kisah agamis, penuturan tentang keadaan umat terdahulu, penjelasan tentang maksud peribahasa, dan ayat-ayat yang dijadikan oleh Allah sebagai contoh bagi manusia untuk dipikirkan dan direnungkan, nasihat yang baik, dan maksud-maksud Al-Qur’an yang lain.

Pada masa sahabat, ada dua madrasah (aliran) dalam menafsirkan Al-Qur’an, yaitu:
  1. Madrasah ahli atsar yang hanya menafsirkan Al-Qur’an dengan atsar atau riwayat.
  2. Madrasah ahli ra’yi yang menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat dan ijtihad.
Adapun dalam berijtihad, para sahabat telah memiliki beberapa modal yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk melakukan ijtihad, di antaranya adalah:
  1. Pengetahuan yang memadai tentang sastra Arab,
  2. Pengetahuan akan adat istiadat dan moral bangsa Arab,
  3. Pengetahuan tentang tingkah dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada saat turunnya Al-Qur’an,
  4. Pengetahuan tentang asbab al-nuzul.
  5. Kemampuan penalaran dan daya tangkap.

Masa Para Tabi’in

Setelah masa para sahabat, selanjutnya penafsiran dilajutkan oleh masa para tabi’in yang telah berguru kepada para sahabat. Mereka pernah duduk bersama para sahabat dan menimba ilmu dari mereka. Sebagaimana ada sebagian sahabat yang pandai dalam hal penafsiran Al-Qur’an, begitu pula ada sebagian dari kalangan tabi'in yang pandai dalam bidang tersebut. Pada masa tabi’in ini, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.

Kota-kota tersebut seperti Makkah (disebut dengan Madrasah Makkah), Madinah (Madrasah Madinah), dan Iraq (Madrasah Iraq). Tabi’in Makkah seperti Mujâhid ibn Jâbir (w. 104 H) , ‘Athâ’ ibn Abi Ribâh (w. 114 H) dan ‘Ikrimah Maulâ Ibn ‘Abbâs (w. 104 H) meriwayatkan dari Ibn ‘Abbâs (w. 68 H) Tabi’in Madinah seperti Muhammad ibn Ka’ab al-Qurazhi (w. 118 H), Abû’ al-‘Aliyah ar-Riyâhi (w. 90 H) dan Zaid ibn Aslam (w. 136 H) meriwayatkan dari Ubay ibn Ka’ab (w. 32 H). Tabi’in ‘Iraq seperti al-Hasan al-Bashri (w. 110 H), Masrûq ibn al-Ajdâ’ (w. 93 H) dan Qatâdah ibn Di’âmah (w. 117 H) meriwayatkan dari ‘Abdullah Ibn Mas’ûd (w. 32 H).

Sumber-sumber penafsiran pada fase Tabi'in yang dimaksud adalah sebagai berikut:

  1. Al-Qur’an al-Karim.
  2. Perkataan yang diucapkan oleh Rasulullah Saw secara jelas mengenai tafsir al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan, “in huwa illa wahyun yuha”, bahwa “ucapan (Muhammad) itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”.
  3. Penafsiran-penafsiran yang diriwayatkan dari para Sahabat.
  4. Penukilan dari cerita-cerita para ahli kitab dan dari apa yang termaktub dalam kitab mereka.
  5. Metode ijtihad dan analisis yang dibukakan oleh Allah Swt bagi mereka untuk memahami kitab-Nya.

Masa Kofidikasi

Masa kodifikasi atau pembukuan sudah dikenal sejak akhir khilafah bani Umayyah dan awal khilafah bani Abbasiyah. Perkembangan karya tafsir kali ini memasuki era pertengahan, yaitu pada sekitar abad ke-12 sampai abad ke-18 Masehi, masa kodifikasi (tadwîn) hadits di mana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri.

Pada masa kodifikasi ini, beberapa tahap perkembangan telah terjadi. Tahap yang pertama, tidak lain adalah masa pertama dan masa kedua yaitu masa periwayatan tafsir bi al-ma’tsur dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat serta Tabi'in. Pada masa ini belum ada kodifikasi tafsir yang sistematis.

Setelah masa Tabi'in, dimulailah masa kodifikasi keilmuan, dan itulah awal mula tahap yang kedua dari perkembangan kodifikasi. Tahap ini dimulai dengan kodifikasi terhadap hadits Nabi Muhammad SAW. Waktu itu, tafsir masih menjadi salah satu bab dari bab-bab yang ada dalam kodifikasi hadits dan belum menjadi bab yang berdiri sendiri.

Tahap yang ketiga, yaitu tahap ketika tafsir mulai memisahkan diri dari ilmu hadits dan terkodifikasi menjadi ilmu yang independen. Penafsiran terhadap Al-Qur’an mulai dilakukan ayat per ayat dan surat per surat secara tertib berdasarkan urutan dalam Al-Qur’an. Upaya ini dilakukan oleh sejumlah ulama di antaranya: Ibnu Majah (w.273 H), dan Ibnu Jarir at-Tabari (w. 310 H), dan lain sebagainya.

Tahap yang keempat, dalam tahap ini tafsir Al-Qur’an masih tetap bercorak tafsir bi al-ma’tsur, meskipun sudah mulai ada perubahan pola dalam hal pengambilan sanad. Perubahan yang terjadi di dalam tafsir di antaranya: sanad-sanadnya mulai diringkas, banyak penafsir yang menukil perkataan atau pendapat dari para penafsir pendahulu mereka, tanpa mencatat asal mula dan pemilik pendapat tersebut secara detail. Oleh karena itu, munculah beberapa permasalahan dalam tafsir di tahap ini, yaitu bercampurnya antara riwayat pendapat yang sahih dan yang tidak sahih.

Tahap kelima dari perkembangan kodifikasi tafsir adalah tahap yang paling luas dan paling panjang, membentang sejak zaman bani Abbasiyah hingga zaman sekarang ini.

Ada pendapat lain mengenai pembagian masa penafsiran Al-Qur’an, yaitu dengan ditambahkannya masa perkembangan tafsir Al-Qur’an pada masa modern-kontemporer.

Dengan paradigma baru yang digunakan, maka segala bentuk dogmatisme dan otoritarianisme penafsir dapat meminimalisir sedemikian rupa. Sebab paradigma tafsir kontemporer meniscayakan adanya kritisisme, objektivitas, dan keterbukaan dimana produk penafsiran tidak ada yang kebal kritik. Tafsir kontemporer dinilai oleh banyak kalangan akan memberikan angin segar bagi perkembangan tafsir, meskipun tidak sedikit juga kalangan yang kurang senang dengan adanya tafsir kontemporer ini.

Sumber :
Kitab al-Itqon fii 'Ulumi al-Qur'an karya Jalaluddin as-Suyuti
Kitab Mukhtashor al-Itqon fii 'Ulumi al-Qur'an li Suyuti

Buku Kuliah 'Ulumul Qur'an : Yunahar Ilyas

Buku Metodologi Tafsir Dari Masa Klasik Sampai Masa Kontemporer : Abd. Hadi

Buku Tafsir Al-Qur'an Sebuah Pengantar




Post a Comment for "Perjalanan Ilmu Tafsir Dari Klasik hingga Kontemporer"