Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

contoh laporan hasil pengamatan ke makam K.H Hasyim Asy'ari


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG


Pada zaman sekarang ini, banyak sekali wisata-wisata alam, namun terkadang wisata-wisata itu hanya berfungsi untuk menghilangkan rasa jenuh, bosan ataupun hanya untuk hiburan belaka tanpa ada manfaat yang lainnya.

Namun, selain wisata-wisata alam, ada juga wiasta yang lebih menonjolkan manfaat rohani, yaitu wisata religi, yang diantaranya adalah ziarah ke makam-makam para wali.

Selain para wali juga para pahlawan yang lebih cenderung berjuang dibidang keagamaan seperti K.H Hasyim Asy’ari, K.H Wahid Hasyim, K.H Abdurrahman Wahid, dll.

Oleh karena itu, agar dalam berwisata tidak terlalu mementingkan kepentingan dunia, ada baiknya untuk berwisata ke makam para wali agar lebih kental nuansa kerohaniaannya.

Dalam hal ini, kami lebih memusatkan untuk mengunjungi wisata religi makam K.H Wahid Hasyim yang merupakan anak dari K.H Hasyim Asy’ari. Dan pemakamannya satu komplek dengan makam K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

B. RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimanakah biografi K.H Wahid Hasyim ?


2. Bagaimanakah sepak terjang perjuangan K.H Wahid Hasyim ?


3. Bagaimanakah perjalanan hidup K.H Wahid Hasyim ?


C. TUJUAN MASALAH



1. Mengetahui biografi K.H wahid Hasyim.


2. Mengetahui sepak terjang perjuangan K.H Wahid Hasyim.


3. Mengetahui perjalanan hidup K.H Wahid Hasyim



BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI


K.H Abdul Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914. Ia adalah putera kelima dari pasangan K.H Hasyim Asy’ari dengan Nyai Nafiqah binti K. Ilyas. Abdul Wahid sangatlah cerdas. Pada saat kanak-kanak, ia sudah pandai membaca Al-Qur’an. Ia khatam Al-Qur’an ketika berusia tujuh tahun. Selain mendapat bimbingan langsung dari ayahnya, ia juga blajar di madrasah salafiyah di pesantren tebuireng.

Abdul Wahid tidask pernah menganyam pendidikan di sekolah pemerintah kolonial. Meskipun begitu, pada usia 15 tahun, ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa inggris dan belanda. Saat usia 18 tahun, ia berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Di tanah suci, ia belajar selama dua tahun. Sepulang dari Mekkah, ia banyak menerima tawaran untuk aktif di perhimpunan atau organisasi pergerakan. Akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung bersama Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1938, ia menjadi pengurus NU ranting Cukir. Beberapa waktu kemudian, ia dipercaya menjadi ketua NU Jombang. Pada tahun 1940, HBNO mengesahkan Departemen Ma’arif (pendidikan) untuk dipuimpin olehnya. Inilah awal keterlibatan Abdul Wahid hasyim dalam kepengurusan NU di tingkat pusat (PBNU).

Meskipun dikenal sebagai pemimpin neasionla yang berpikiran maju, K.H Abdul Wahi Hasyim tetap memiliki sifat tawadhu’. Hal itu bisa dilihat ketika berbicara dengan ang ayah K.H Hasyim Asy’ari. Ia selalu berbicara dengan bahas kromo inggil (jawa halus). Padahal, ayahnya mengajak berbicara dalam bahas arab. Salah satu kegemarannya adalah berkirim surat. Surat-surat itu umumnyaberisi pandangan politik, arah perjuangan, dan cita-cita. Segala ditulis dalam bahasa menarik, lancar, dan dibumbui dengan humor segar.

B. PERJUANGAN

KH. Abdul Wahid Hasyim (1914-1953) memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia. Beliau merupakan pendiri Partai Nahdlatul Ulama (NU), pernah menjabat sebagai Menteri Agama, dan anggota BPUPKI serta salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu preambule UUD Republik Indonesia yang ditandatangani pada 22 Juni 1945 di Jakarta.

Pada waktu berumur 24 tahun ia mulai aktif di organisasi NU dan tahun berikutnya ia diangkat menjadi anggota Pengurus Besar NU. Pada tahun itu juga ia dipilih menjadi Ketua MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi sejumlah organisasi sosial-politik Islam dan wadah persatuan umat Islam. Ia terpilih kembali sebagai ketua dewan dalam Kongres Muslimin Indonesia, yang merupakan kelanjutan MIAI. Tetapi organisasi ini dibubarkan oleh jepang pada 1943 dan tidak lama kemudian berdiri wadah baru bernama Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Saat itu pemerintah pendudukan Jepang mendirikan Shumubu, yaitu badan urusan agama Islam yang dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua. Tetapi Wahid Hasyim yang kemudian ditunjuk sebagai pimpinan disana mewakili ayahnya yang tidak bisa meninggalkan Jawa Timur. Badan ini yang menjelma menjadi Departemen Agama setelah Indonesia merdeka.

Sebelum meninggalkan Indonesia, pemerintah Jepang membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelirik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Wahid Hasyim ditunjuk sebagai salah satu anggotanya. Setelah sidang pertama, dibentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan orang yang dipilih, salah satunya adalah Wahid Hasyim. Tokoh lainnya adalah Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, dan Muhammad Yamin. Panitia kecil ini berhasil mencapai suatu modus vivendi antara dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu pihak nasionalis dan Islam mengenai dasar negara. Panitia Sembilan ini menyetujui rancangan preambul UUD Republik Indonesia yang mereka tandatangani pada 22 Juni 1945, yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Setelah berakhir masa revolusi dan Indonesia mendapat kedaulatan, Wahid Hasyim diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta (20 Desember 1949 - 6 September 1950) dan menduduki jabatan yang sama dalam dua kabinet berikutnya; Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951) dan Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952). Banyak langkah penting yang ia lakukan sebagai Menteri Agama, antara lain; mewajibkan pendidikan agama di lingkungan sekolah umum, mendirikan sekolah guru agama, pendirian Perguruan Tinggi Agama Silam Negeri pada 15 Agustus 1951 yang berkembang menjadi 14 Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di 14 propinsi, dan lain-lain.

Saat itu Wahid Hasyim duduk sebagai Ketua Muda II Dewan Partai Masyumi, yang merupakan satu-satunya partai politik Islam. Tetapi ia sering mengkritik kepemimpinan PB Masyumi yang dianggap terlalu lemah. Hingga dalam kongres NU di Palembang pada April 1952, dimana ia bertindak sebagai pemimpin Kongres, NU memutuskan untuk lepas dari Masyumi dan mengembangkan diri menjadi partai politik. Sebelumnya NU merupakan anggota istimewa partai Masyumi.

Pada 28 April, K.H wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang untuk menghadiri rapat NU. Ia ditemani puteranya, Abdurrahman wahid (Gus Dur). Ketika memasuki Cimindi, mobil yang ditumpanginya disalip. Sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Bagian belakang mobil membentur truk hingga K.H Wahid Hasyim terlempar keluar mobil. Sejak saat itu, ia pingsan hingga akhirnya wafat pada 19 April dalam usia muda, belum genap 40 tahun. Beliau meninggal dalam sebuah kecelakaan di Cimahi dan dimakamkan di Jombang di pemakaman keluarga pesantren Tebuireng.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN


Berdasarkan laporan diatas serta pengamatan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa :


1. Para pejuang tidak hanya berjuang melalui jalur peperangan namun juga melalui jalur diplomasi.

2. Perjuangan para pejuang akan selalu dikenang.

3. Perjuangan para pejuang harus dijadikan suri teladan.

4. Para pejuang tidak hanya memperjuangkan tanah air namun juga memperjuangkan aqidah mereka.

5. Semangat perjuangan para pejuang harus tetap dijaga, karena untuk saat ini diperlukan semangat mempertahankan aqidah dari kebudayaan asing.

B. LAMPIRAN


a. Foto

Post a Comment for "contoh laporan hasil pengamatan ke makam K.H Hasyim Asy'ari"