Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

..planning story...

..planning story...

Hanya sebatas..
(Hanya) sebatas surat penebus rindu...
(Sabtu pagi, 220717)
...pagi ini terasa berbeda, mata tajam tertuju pada layar ponsel, berkali-kali ku kucek mata ini, tapi isi pesan tak berubah,
"Oh, bukan mimpi"
(Bruuk) sebuah bantal melayang tepat dimukaku.
"Hey, kamu kenapa, mukamu kaya orang yang abis nerima kenyataan berat..?"
"Ah, kamu so' tempe....!"
"Ya, udah, dari pada kamu bengong mikirin tuh pesan, udah sana kamu  mandi, siap-siap berangkat kerja. Ni udah setengah enam."
"Iya, iya, sewot amat.."
Sehabis mandi, langsung siap-siap kerja. Sejenak aku masih kepikiran sama tuh pesan. Sepertinya ada sesuatu yang aku lupakan, dari masa laluku, tapi entah apa itu. Yang jelas hati ini sepertinya mencoba mengkoneksikan memori dalam otakku dengan suatu perasaan yang tersimpan sangat dalam.
Setibanya di kantor.
"Ni, tugas dari "camer", suruh cepat-cepat direkap, okey...c-a-l-o-n-b-o-s-m-u-d-a.", si Edo me-slowmotion kan suaranya ditambah nadanya yang agak lebay, membuaku ingin melempar monitor ke mukanya biar mulutnya ganti mode senyap.
Si Edo melenggang begitu saja tanpa menghiraukan tanggapan dariku.
"Sial.", decak ku.
Seisi kantor mulai gemuruh.
"Cie-cie....ada yang....",
"Kaya'nya kantor bakal ada pesta...".
"Hey,,hey, (dengan nada orang sombong), kalian semua sudah bosan kerja ya. Sudah kerjakan tugas kalian masing-masing, okey". Gayaku sudah bos besar yang mengancam para karyawan.
"Huuuu, baru CBM saja, suadh sok, kamu.", seorang cewe berambut panjang terurai, berpakaian rapi nyeloteh seenaknya.
"Eh, apa tuh CBM..?", aku balik tanya penasaran.
Cewe itu sama saja dengan Edo, pergi tanpa mendengarkan pertanyaan dariku. Sebenarnya sih, aku tak pernah ada niatan untuk menge-Bos dikantor ini. Ah, aku tak begitu merespon ledekan orang-orang. Kantor senyap kembali. Terlihat pak menejer berdiri di pintu utama, yang membuat kantor kembali senyap. Tak ku sadari pak menejer berjalan mendekat.
"Nak Fahmi, acara pernikahan akan segera dilaksakan seminggu lagi. Apa-apa yang nak Fahmi butuhkan, jangan sungkan-sungkan untuk mengatakannya.".
"Oh, i.i.iya, pak", aku terbata-bata.
"Lho, kok jawabnya terbata-bata begitu, yang tegas donk.".
"Siap pak.".
"Nah, gitu donk, jadi pria itu harus tegas.". Jawab pak menejer sambil mencontohkan sikap tegak, tapi penangkapanku, itu sikap siap sedia dengan tangan mengepal disamping badan.
"Ah, peduli amat.". Batinku.
Pak menejer (orang-orang bilang itu camerku) akhirnya pergi, aku duduk kembali ke tempat kerjaku yang sudah lima tahun aku dudukin. Aku kembali terpikirkan pesan tadi pagi. Aku ambil ponsel dan aku amati dengan seksama, membaca pesannya dengan seteliti mungkin dengan mengkoordinasikan organ mataku yang terkoneksi dengan otak dan juga hatiku. Seperti ini isi pesannya...
"Dear, M2 (master move),
Sejenak diriku memandang langit, ku ingat janjimu mas. Dulu sebelum kepergianmu ke jakarta, mas pernah bilang ke aku mas.
"De Dea, yang mas sayang, jangan pernah khawatirkan rasa mas ke ade. Seribu bahkan jutaan wanita yang datang, rasa mas ke ade takkan pernah terenggut. Mas pergi ke jakarta, bukan untuk pergi menjauh dari ade. Tapi ini adalah jalan untuk mas agar bisa memantaskan diri mas di hadapan orang tua ade. Mas janji jika kesuksesan telah mas dapatkan, secepatnya mas datang untuk melamar ade. Mas janji."
Tapi setelah lima tahun setelah kepergian mas, mas hanya berkirim pesan hanya 2 tahun, setelah itu Dea tak pernah mendapatkan pesan lagi. Apakah mas sudah lupa pada Dea, mas..?
Mungkin bagi mas, mudah untuk mencari pengganti. Tapi apakah mas melupakan janji mas?.
Dea sudah bertahan selama 3 tahun tanpa ada kabar dari mas. Mungkin Alloh telah berkehendak lain mas, mungkin memang kita tak berjodoh. Dea hanya mau memberitahu mas, bahwa seminggu lagi Dea akan menggelar resepsi. Dan jika Alloh, memang telah menetapkan mas sebagai jodoh Dea, pasti kita kan dipertemukan kembali mas, dan jika tidak, mas jangan pernah lupa untuk berbagi kebahagian jika mas menikah. Sekian pesan dari Dea, sebelumnya Dea minta maaf jika selama mas kenal dengan Dea, mas pernah tersakiti.
Salam rindu, Dea Dwi Novianti
Wassalam.,
Ku pandangi berkali-kali ponsel, tapi ingatanku tak dapat mengaitkan sesuatu, tapi hati ini rasanya terguncang bencana yang amat. Aku menghela nafas. Ku simpan kembali ponselku. Ku lanjutkan kerja.
Pukul 15.30 wib, pekerjaan selesai. Rencananya mau mampir ke taman kota sambil merefresh kepala yang seharian digunakan untuk berfikir, tapi gagal.
"Eh, Nak Fahmi, kamu malam ini ada acara tidak..? Kita sekeluarga mau dinner bersama direstoran, ikut ya..?! Sekalian buat nambah akrab dengan keluarga kami.", pak menejer datang dan langsung mengajak dinner bersama keluarganya.
"Mm, maaf pak, maaf sekali, nanti malam saya ada acara pak", jawabku dengan nada meyakinkan suapaya pak menejer tak menaruh curiga denganku yang sebenarnya tidak ada kegiatan apapun.
"Oh, ya sudah kalau begitu, tak apa apa nak Fahmi. Ya sudah hati-hati dijalan."
"Baik, terimakasih pak."
Di dalam mobil ditengah perjalanan pulang.
"Do, kamu tahu tidak, apa yang 3 tahun ini aku alami..?", aku mulai bertanya dengan nada menyelidik.
"Memang kenapa, kedengarannya ada masalah serius", Edo menjawab dengan sedikit mengelak.
Aku tak balik menjawab hanya diam dengan isyarat mata yang tajam tanda menolak jawaban. Edo terlihat paham dengan tatapanku.
"Eits.eist,, ok ok, sedikit ku ceritakan kejadian 3 tahun terakhir. Walaupun ini sebenarnya harus dirahasiakan darimu",
"Maksudmu apa..?",
(Duh, salah ucap). "M, maksudku...".
"Maksudmu apa Do, kamu menyembunyikan rahasia tentang diriku.?!", nada bicaraku mulai kesal.
"Aduh kalau sudah seperti ini, apa boleh buat. Ya sebenarnya juga bukan keinginanku, tapi ini juga perintah dari camermu itu.".
"Sudahlah, Do, langsung to the point saja. Jangan berputar-putar yang membuatku semakin ingin  memukulmu". Aku sedikit marah, ke Edo yang dari tadi berbelit-belit.
"Okey, okey. Seperti ini ceritanya. 3 tahun yang lalu tepatnya hari senin, saat ada perbaikan kantor di atas ruang administrasi. Nona Via yang lewat dibawahnya, tiba-tiba sebongkah papan jatuh. Dan kamu yang berada di dekatnya dengan sigap menolongnya. Namun, kamu jatuh terbentur dinding, dan mengalami koma beberapa jam. Setelah sadar, kamu langsung kami tanyai, dan kami melihat sepertinya kamu tidak mengalami amnesia. Nah, dari sini cerita baru dimulai. Sebagai rasa ungkapan rasa terimakasih, pak menejer akhirnya berniat menjodohkan kalian berdua".
"Maksudmu, aku dan Nona Via.?".
"Iya, lah. Kan putri pak menejer cuma Nona Via. Sebenarnya aku sudah mencegah pak menejer untuk menjodohkan kalian berdua".
"Lho, kenapa.?!, apa kamu tak setuju".
"Bukannya begitu, aku sih setuju-setuju saja kalau kamu dijodohkan sama Nona Via. Tapi, beberapa hari setelah kejadian itu, aku merasa ada yang aneh denganmu. Kamu tidak pernah bercerita lagi tentang seorang wanita yang kamu bangga-banggakan, ent...".
"Tunggu, siapa yang kamu maksud dengan wanita yang dibangga-banggakan..?".
"Ya, aku tidak tahu lah. Sebelum kejadian itu, kamu selalu menceritakan tantangnya. Tentang kecantikannya lah, tentang kebaikan hatinya lah dan segala sesuatu yang baik-baik tentangnya. Tapi setelah kejadian itu, kamu tak pernah bercerita kembali tentangnya, bahkan tak pernah ku dengar kamu menyebut namanya lagi.".
"Nama,..?! Apakah namanya itu Dea Dwi Novianti..?!", ucapku penasaran.
"Hah, yah. Apakah kamu sudah ingat kembali??", jawabnya kaget.
"Belum", jawabku datar.
"Lalu darimana kamu ingat nama itu, dan apa kamu juga sudah ingat tentang rencana masa depanmu yang pernah kamu ceritakan kepadaku..?".
"Aku dapat nama itu dari sebuah pesan singkat. Dan apa maksudmu dengan rencana masa depanku, kenapa kamu selalu mengajukan pertanyaan yang dulu pernah aku ceritakan kepadamu. Ceritakan saja semua yang kamu tahu tentangku. Supaya aku tidak penasaran lagi.".
"Baiklah, sebagai sahabatmu yang baik. Aku akan bercerita tentang apapun yang pernah kamu ceritakan kepadaku. Dulu, kamu pernah bercerita kepadaku tujuanmu merantau ke jakarta adalah untuk mencari bekal supaya dapat memantaskan diri saat bertemu orang tua si Dea itu. Dan kamu juga pernah bercerita bahwa kamu akan pulang kampung, setelah kurang lebih 5 tahun disini. Lalu melamar si Dea. Mungkin sekarang waktunya, tapi kamu sudah dijodohkan dengan Nona Via."
Aku terdiam. "Apa mungkin yang mengirimkan pesan itu Dea, yang pernah ku ceritakan pada Edo..?", batinku riuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang bermunculan.
Sesampai di apartemen, aku langsung merebahkan badan ke tempat tidur tanpa berkata sepatah katapun kepada Edo. Aku terlelap.
Tok..tok.tok..
Suara pintu apartemen diketuk. Akupun terbangun.
"Iya, siapa..?", jawabku dengan suara parau sehabis bangun tidur.
"Ini Edo, sudah maghrib Mi, kamu sudah sholat belum..?".
"Astaghfirulloh, aku lupa, aku tertidur dari sehabis dari kantor", jawabku lirih.
"Belum. Terimakasih sudah memberitahukan", timpalku sedikit berteriak.
Sesudah sholat maghrib, ku coba  sedikit membaca al Qur'an. Malam pun semakin larut. Aku terlelap kembali.
(4 hari kemudian)
Aku dan Edo, duduk santai di depan kos-kosan. Sambil minum kopi hangat, kami berbincang-bincang seputar persiapan resepsi ku, yang akan dilaksanakan 3 hari lagi.
"Eh, Mi kamu sudah siapkan kemeja belum buat acara resepsi..?", Edo membuka percakapan.
Aku diam tak menjawab sepatah katapun. Aku masih teringat pesan itu. Rasanya memang ada sedikit keguncangan dalam hatiku saat ku membaca pesan itu, apalagi saat sampai pada kalimat bahwa Dea akan resepsi seminggu lagi. Hati ini merasa akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga.
"Eh, ditanya palah bengong".
Pertanyaan Edo membuyarkan lamunanku.
"Eh, m, sudah,sudah ku siapkan", jawabku gugup.
Edo menatapku penuh selidik, sepertinya dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ku katakan. Aku pun melemparkan senyum sebatas bumbu penyedap supaya Edo percaya, dan Edo pun langsung menghilangkan mukanya dariku.
Kring,,kring,,kring,
Ponselku berdering, aku angkat telepon.
"Hallo, assalamu'alaikum..?".
"Wa'alaikumussalam, ini Echa kak..", terdengar suara nan cempreng dieberang sana.
"Echa..", otakku berputar 5000 rpm, untuk menemukan memori tentang Echa. Tapi...
"Iya, Echa kak, adek kakak yang paling manis. Masa kakak lupa, atau jangan-jangan....",
"Jangan-jangan kenapa Cha, jangan bilang kalau Echa kira kaka amnesia lagi", sebuah jawaban keluar dengan begitu entengnya, setelah ku ingat, Echa, dalam otakku masih tersimpan gambar tentangnya, saat ia tersenyum dengan gigi ginsulnya yang khas.
"He,,m, kak, Echa boleh tanya tidak kak..?".
"Boleh, boleh, Echa mau tanya apa".
..Edo yang sedari tadi hanya mendengarkan, akhirnya masuk ke dalam kos-kosan.
"Kan katanya, kak Fahmi mau resepsi".
"Iya".
"Echa mau tanya, apakah calon kaka baru Echa itu, perempuan yang pernah kak Fahmi kenalakan ke Echa pas kita liburan ke kebun teh ?".
Hatiku guncang, mendengar perkataan Echa.
"Kebun teh,... siapa..??".
Pikiranku mulai membuka memori-memori lama, terbesit sedikit bayangan saat aku berlibur ke kebun teh. Hijau, segar. Tak sadar kepalaku mulai terasa pusing dan...gelap, aku pingsan.
"Ka, ka, kaka kenapa,, jawab kak?..".
Suara Echa sayup-sayup mulai lenyap.
"Mi,,Fahmi...", suara Edo menarikku dari dalam mimpi. Aku pun tersadar. Ku lihat sekelilingku sudah banyak orang berkumpul, mulai dari pak menejer, Nona Via, dan 2 teman akrab Nona Via, sepertinya aku pingsan cukup lama.
Tiba-tiba saja Nona Via langsung memeluk erat diriku, aku hanya diam tak bereaksi.
"Mas Fahmi, Via tidak ingin kehilangan Mas Fahmi", kata Nona Via sambil terisak-isak tangis.
"Eh, Via, Via, Nak Fahmi baru saja sadar. Biarkan dia istirahat dulu sejenak. Jangan asal amin peluk begitu.", kata pak Herman (pak menejer/camer) menasehati putrinya.
Setelah semua keluar dari kamar, tinggal aku sama Edo.
"Eh, Mi, kamu sudah beritahu orang tuamu dikampung belum sih, kalau kamu itu mau resepsi..?", tanya Edo yang lagi-lagi penuh selidik.
"Belum..", jawabku datar tanpa nada.
"Bagaimana bisa, kamu belum memberitahukan keluargamu di kampung kalau kamu itu mau mengadakan resepsi.