Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

QIRAAT yang 7

QIRAAT
Qiraat adalah jamak dari qira’ah, yang berarti “bacaan”, dan ia adalah masdar dari qara’a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suautu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya. Qiraat ini ditetakan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Raosululloh SAW. Diantara para sahabat yang terkenal mengajarkan qiraat adalah Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dan lain-lain.
Az-Zahabi menyebutkan di dalam “Tabaqatul Qurra”, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur’an ada 7 orang, yaitu : Utsman, Ali, Ubai, zaid bin Tsabit, Abu Darda’ dan Abu Musa al-Asy’ari.
Kemudian kepada para sahabat, sejumlah besar tabi’in belajar qiraat di setiap negeri. Diantara negeri-negeri itu adalah :
1.      Mekkah : ‘Ubaid bin ‘Umair, ‘Ata’ bin Abi Rabah, tawus, Mujahid, Ikrimah, dan Ibnu Abu Malikah
2.      Madinah :Ibnul Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman Dan ‘Ata’ –keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris (Muaz al-Qari’)
3.      Kuffah : ‘Alqamah, al-Aswad, Masruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Syurahbil, al-Haris bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman as-Sulaimi, Sa’id bin Jabir, an-Nakha’i dan asy-Sya’abi.
4.      Basrah : Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirn dan Qatadah.
5.      Syam : al-Mughirah bin Abu Syihab al-Mukhzumi –murid Utsman-, dan Khalifah bin Sa’ad –sahabat Abu Darda-.
Ketujuh orang imam yang terkenal sebagai ahli qiraat di seluruh dunia ialah :  Abu ‘Amr bin ‘Ala’, Nafi’ bin Abdurrahman, ‘Asim bin Abun Najud, Hamzah al-kufi, al-Kisa’i, Ibn ‘Amir dan Ibn Kasir.
Popularitas Tujuh Imam Qira’at
Imam qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang pouler itu hanya tujuh dan yang memang telah disepakati. Akan tetapi di samping itu para ulama memilih 3 orang imam qiraat yang dipandang sahih dan mutawatir, mereka adalah : Abu Ja’far Yazid bin Qa’qa’ al-Madani, Ya’qub bin Ishak al-Hadramandi dan Khalaf bin Hisyam. Pemilihan qurra’ yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ke 3 Hijriyah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya banyak imam yang dapat dipertanggung jawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya.
Imam Ibn Jaziri di dalam an-Nasr mengemukakan, Imam pertama yang menghimpun qiraat dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam (224 H.). kemudian al-Jaziri mengatakanpula, sesudah itu, Abu Bakr Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid merupakan orang yang membatasi hanya pada qiraat 7 orang saja.
Sebab-sebab mengapa hanya 7 imam qiraat yang masyhur, padahal masih banyak imam qiraat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari 7, ialah karena banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berbicara berupaya untuk membatasi hanya qiraat yang sesuai dengan khat Mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-Dhabit-an qiraatnya. Para penulis kitab tentang qiraat memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, karena memberikan popularitas bagi para qari’ meski masih ada qari’-qarr’ lain yang tingkatnya lebih tinggi, sehingga menyebabkan orang menyangka bahwa para qari’ yang ditulis adalah imam qiraat yang terpercaya.
Macam-Macam Qiraat, Hukum, Dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad, dan syaz. Qiraat mutawatir adalah yang tujuh, sedang qiraat ahad adalah qiraat yang menggenapkanya menjadi 10 ditambah qiraat sahabat, dan selain itu adalah syaz.
Kaidah qiraat yang shahih adalah sebagai berikut :
1.      Kesesuaian qiraat tersebut dengan kaidah bahsa arab sekalipun itu dari satu segi, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima, apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan isnad.
2.      Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Utsmani, meskipun hanya mendekati saja. Misalnya, lafadz الصراط dalam QS. Al Fatihah ayat 6, dengan sad sebagai ganti dari sin. Tidak menuliskan sin yang merupakan asal, ini agar lafadz tersebut dapat pula dibaca dengan sin. Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan saram secara tahqiq adalah تعلمون dengan ta dan ya. Juga يغفرلكم dengan ya dan nun.
3.      Qiraat itu harus shahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang harus diikuti yang didasarkan pad keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi 6 macam :
1.      Mutawatir, yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang mustahil untuk berdusta, dan sanadnya bersambung sampai ke Rosululloh SAW.
2.      Masyhur, yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai tingkat mutawatir. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat macam ini termasuk qiraat yang dipakai.
3.      Ahad, yaitu qiraat yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasam utsmani, menyalahi kaidah bahasa arab. Contohnya ialah yang diriwayat Ibn Abbas dalam QS. At-Taubah: 128 لقد جاءكم رسول من أنفسَكم  dengan membaca fathah huruf fa-nya.
4.      Syaz, yaitu qiraat yang tidak shahih sanadnya, seperti مَالَكَ يَوْمَ الدِّيْن dengan bentuk madhi dan menashabkan lafadz yaum.
5.      Maudhu’, yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6.      Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qiraat sebagai penafsiran, seperti qiraat Ibn Abbas : QS. Al Baqarah : 198  أن تبتغوا ف من ربكم في مَوَاسِمِ الحَجِّ فاذا افضتم kalimat في مَوَاسِمِ الحَجِّadalah penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat.
Faedah ragamnya Qiraat yang shahih
Bervariasinya qiraat yang shahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi, di antaranya :
1.      Menunjukkan betapa terjaganya Kitab Alloh dari perubahan dan penyimpangan.
2.      Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
3.      Bukti kemu’jizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya.
4.      Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.
Al-Waqfu dan Al-Ibtida’
Pengetahuan tentang al-waqfu dan al-ibtida’ mempunyai peranan penting dalam cara pengucapan al-Qur’an untuk menjaga keselamatan makna ayat, menjauhkan kekaburan dan menghindari kesalahan. Pengetahuan ini memerlukan pemahaman mendalam tentang berbagai ilmu kebahsaan, qiraat, dan tafsir al-Qur’an, sehingga suatu makna ayat tidak rusak. Misalnya, wajib waqaf pada ayat QS. Al-Kahfi : 1 ولم يجعل له عوجا . kemudian ibtida’ dengan   قيما لينذر بأشا شاديدا , hal ini agar tidak mengesankan bahwa lafadz قيما adalah sifat dari lafadz عوجا, sebab al-‘iwaj (kebengkokan) itu tidaklah qayyiman (lurus).
Wajib waqaf pada lafadz yang di akhirnya terdapat “ha” sakat, misalnya pada ayat
يا ليتني لم اوت كتابيه, ولن ادر ما حسابيه (al-Haqqah :25-26). Sebab, pada selain al-Qur’an ha skat ini ditetapkan atau dibaca ketika waqaf dan dibuang ketika wasal. Tetapi karena di dalam Mushaf “ha” tersebut dituliskan, maka lafadz yang da ha-nya itu tidak boleh diwasalkan, sebagaimana kaidah nahsa arab, ha sakat harus dibuang ketika wasal. Dengan demikian mentetapkan ha ketika wasal bertentangan dengan kaidah bahsa arab, namun membuangnya juga bertentangan dengan Mushaf. Sedang di dalam mewaqafkannya berarti telah mengikuti  Mushaf dan mengikuti kaidah bahasa arab. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa pengetahuan tentang waqaf dan ibtida’ sangat berfaedah dalam memahami makna dan menganalisis hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur’an.
Diriwayatkan dari Ibn ‘Umar, ia berkata : “kami pernah hidup pada susatu masa di amna salah seorang diantara kami diberi iman sebelum membaca al-Qur’an. Tetapi sekarang, kami melihat banyak orang yang salah satu di antar mereka telah diberi al-Qur’an namun juga belum beriman. Ia membaca dari awal sampai tamat namun tanpa mengetahui apa yang diperintahkan dan apa yang di larang serta di man seharusnya ia berhenti. Padahal setiap huruf al-Qur’an menyerukan : ‘Aku adalah utusan Alloh kepadamu agar engkau mengamalkan aku dan mengikuti nasihat-nasihatku’.
Macam-macam waqaf
Menurut pendapat yang masyhur, waqaf terbagi menjadi 4, yaitu :
1.      Tamm, ialah waqaf pada lafadz yang tidak berhubungan sedikit pun dengan tlafadz sesudahnya . Misalnya, QS al-Baqarah : 5-6  وأولئك هم المفلحون...الذين كفروا..
2.      Kafin ja’iz, ialah waqaf pada sesuatu lafadz yang dari segi lafadz telah terputus dari lafadz sesudahnya, tetapi maknanya tetap bersambung Diantaranya ialah  lafadz yang sesudahnya terdapat “lam kai”. Misalnya, QS Yasin : 69-70 إن هو إلا ذكر وقران مبينُ...لينذر من كان حيا ويحث القول علي الكافرين
3.      Hasan, ialah waqaf yang dipandang baik pada lafadz itu, tetapi tidak baik memulai dengan lafadz berikutnya karena masih berhubungan lafadz dan maknanya. Misal, QS al-Fatihah : 1-2
4.      Qabih, ialah waqaf pada lafadz yang tidak dapat dipahami maknanya. Misalkan, pada QS al-Maidah : 17 لقد كفر الذين قالوا.. (waqaf, kemudain mulai lagi) إن الله هو المسيح ابن مريم. Sebab maknanya akan sangat kacau.
Tajwid dan adab tilawah
Nabi SAW pernah bersabda :
من احب أن يقرأ القرأن غضا كما أنزل فليقرأ قرأة ابن أم عبد
Para ulama, dahulu dan sekarang, menaruh perhatian besarterhada tilawah al-Qur’an sehingga pengucapan lafadz-lafdznya menjadi baik dan benar. Cara membaca ini, dikenal dengan Tajwidul Qur’an. Tajwid sebagai disiplin ilmu mempunyai kaidah-kaidah tertentu yang harus dipedomani dalam pengucapan-pengucapan huruf-huruf dari makhrajnya di samping harus pula diperhatikan hubungan setiap huruf dengan huruf yang sebelum dan sesudahnya dalam pengucapannya. Oleh karena itu, tidak dapat diperoleh hanya sekedar mempelajari namun juga harus melalui latihan, praktek dan menirukan orang yang baik bacaannya.
Para ulama menganggap qiraat Qur’an tanpa tajwid sebagai suatu lahn. Lahn adalah kesalahan yang menimpa suatu lafadz,. Ada 2 lahn yaitu lahn jalli dan khafiy. Lahn jalli adalah kerusakan secara nyata artinya dapat diketahui oleh ulama qiraat dan lainnya. Lahn khafiy adalah kerusakan yang hanya diketahui oleh ulama qiraat dan para pengajar al-Qur’an. Berlebihan dalam tajwid sampai kelewat batas tidak lebih bahaya daripada lahn, misal seperti yang dilakukan orang-orang zaman sekarang  yang membaca al-Qur’an dengan nada melankolis seperti halnya dengan nyanyian yang diiringi alunan musik, sehingga para ulama mensinyalir hal tersebut sebagai bid’ah. Sebagaimana dinukil oleh as-suyuti dalam al-Itqan dan diungkapkan kembali oleh ar-Rafi’i dalam I’jazul Qur’an dengan mengatakan : “Di antara perbuatan bid’ah dalam qiraat dan ada’ adalah talhin atau melagukan bacaaan yang hingga sekarang ini masih ada dan disebar-luaskan oleh orang-orang yang hatinya ter[ikat dan terlanjur mengagumi. Mereka membaca al-Qur’an sedemikian rupa layaknya sebuah irama atau nyanyian. Dan diantara macam-macam talhin yaitu :
1.      Tar’id, yaitu qari’ menggetarkan suaranya, laksana suara orang yang kedinginan atau kesakitan.
2.      Tarqis, yaitu sengaja berhenti pada huruf mati namun kemudian dihentakkan secara tiba-tiba.
3.      Tatrib, yaitu melagukan al-Qur’an sehungga membaca mad bukan pada tempatnya.
4.      Tahzin, yaitu membaca al-Qur’an membaca al-Qur’an dengan nada memelas seperti orang bersedih.
5.      Tardad, yaitu sekelompok orang yang menirukan qari’ pada akhir bacaannya.
Qiraat itu sebenarnya ada yang bersifat tahqiq, yaitu  dengan memberikan hak-hak setiap huruf sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Ada yang bersifat hadar, yaitu membaca cepat dengan tetap memperhatikan syarat-syarat pengucaan yang benar. Ada yang bersifat tadwir, yaitu pertengahan antara tahqiq dan hadar.
Adab membaca al-Qur’an
Dianjurkan bagi orang yang mambaca al-Qur’an memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Membaca al-Qur’an sesudah berwudhu.
2.      Membacanya ditempat bersih dan suci.
3.      Membacanya khusyuk,tenang dan penuh hormat.
4.      Sebelum membaca bersiwak atau menggosok gigi.
5.      Memulai dengan ta’awudz
6.      Membaca basmalah pada setiap awla surat kecuali surat al-Bara’ah.
7.      Membacanya secara tartil.
8.      Memikirkan ayat-ayat yang dibacanya.
9.      Mersapi makna dan maksud ayat-ayat yang dibaca.
10.  Membaguskan suara dengan membaca al-Qur’an.
11.  Mengeraskan suara bacaan, karena membaca dengan keras lebih utama.
12.  Ada prbedaan pendapat mengenai membaca dengan melihat mushaf atau dengan hafalan. Pertama dengan melihat mushaf lebih utama, sebab melihat mushaf juga ibadah sehingga akan mendapat kan 2 ibadah membaca dan melihat. Kedua, dengan hafalan lebih utama karena akan lebih mendorong untuk merenungi dan memikirkan makna dengan baik. Ketiga tergantung dengan kondisi individu masing-masing.
Mengajarkan Al-Qur’an Dan Menerima Upah
Mengajarkan al-Qur’an adalah fardu kifayah, dan menghafalnya adalah suatu kewajiban bagi umat islam agar tidak terputus kemutawatirannya. Sebagian ulama, membagi pengajaran al-Qur’an dengan 3 tipe, seperti yang disebutkan oelh Abu Lais dalam kitabnya al-Bustan : “pengajaran al-Qur’an itu ada 3 macam. Pertama, karena Alloh semata. Kedua, dengan memungut biaya. Ketiga, tidak memungut biaya namun jika diberi hadiah, amka diterima.”

Pengajaran pertama, merupakan tugas Rosululloh SAW. Tipe kedua, ada yang mengatakan boleh ad yang mengatakan tidak boleh, tapi ada juga ang membolehkan. Untuk tipe ketiga, boleh menurut semua pendapat ulama.

Post a Comment for "QIRAAT yang 7"