Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER KARAKTERISTIK PARADIGMA TAFSIR KONTEMPORER

METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER
KARAKTERISTIK PARADIGMA TAFSIR KONTEMPORER 



Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas kelompok pada semester IV 
Dosen Pembimbing : 
Shohibul Adib, M.S.I 


Disusun Oleh : 
Luthfi Rosyadi 
Akhmad Mudatsir 


ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR / IV 
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN SYARIAH 
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA 
KEBUMEN 
2018 


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat, 
taufik, serta hidayah-Nya, ssehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan paper ini yang berjudul “METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER : KARAKTERISTIK TAFSIR KONTEMPORER”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga beliau, sahabat-sahabat beliau, dan juga kita semua hingga hari kiamat kelak.
Makalah ini merupakan tugas kelompok yang diberikan di Fakultas Ushuludin Dakwah IAINU Kebumen, yaitu oleh beliau Bapak Shohibul Adib, M.S.I diharapkan makalah ini dapat menjadi tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa IAINU, khususnya mahasiswa Ushuludin Dakwah prodi Ilmu Qur’an dan Tafsir.
Penulis menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak, demi perbaikan dimasa yang akan datang.


Kebumen, 26 Maret 2018


Penulis

DAFTAR ISI

METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER.. 1
KATA PENGANTAR.. 2
DAFTAR ISI. 3
BAB PEMBAHASAN.. 3
PARADIGMA TAFSIR KONTEMPORER.. 3
A. Pengertian Paradigma, Tafsir, dan Kontemporer. 3
B. Tafsir dan Perkembangannya. 5
C. Karakteristik Tafsir Modern: Corak Tafsir dan Metodenya. 7
1. Tafsir ‘Ilmi 7
2. Tafsir Filologi 8
3. Adabi Ijtima’i 8
D. Tokoh Yang Muncul 10
DAFTAR PUSTAKA.. 15


BAB PEMBAHASAN
PARADIGMA TAFSIR KONTEMPORER

A. Pengertian Paradigma, Tafsir, dan Kontemporer

Pengertian paradigma secara etimologis, yaitu berasal dari bahasa Yunani, dari kata “para” yang artinya di samping, dan kata “diegma” yang artinya teladan, ideal, model, atau pun arketif. Sedangkan secara terminologis diartikan sebagai pandangan atau cara pandang yang digunakan untuk menilai dunia dan alam sekitar. Paradigma juga dapat diartikan sebagai cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhinya dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif).[1]

Adapun pengertian dari tafsir, menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, yang secara bahasa berasal dari akar kata fa-sa-ra yang bermakna bayana (menjelasakan), dan wadhaha (menerangkan). Sedangkan dari segi istilah, menurut Az-Zarkasyi dalam Burhan Fi ‘Ulumil al-Qur’an, maksudnya adalah “Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menerangkan maknanya, menyingkap hukum dan hikmahnya, dengan merujuk pada ilmu bahasa Arab, seperti nahwu, tasrif, dan lainnya.

Kemudian untuk pengertian kontemporer, pada dasarnya tidak ada kesepakatan yang jelas tentang arti istilah kontemporer. Misalnya apakah istilah kontemporer meliputi abad ke-19 atau hanya merujuk pada abad ke-20 sampai dengan abad ke-21. Menurut Ahmad Syirbasyi yang dimaksud dengan periode kontemporer adalah yaitu sejak abad ke 13 hijriah atau akhir abad ke-19 Masehi sampai sekarang ini.[2] Sebagian pakar berpandangan bahwa kontemporer identik dengan modern, keduanya saling digunakan secara bergantian. Dalam konteks peradaban Islam keduanya dipakai saat terjadi kontak intelektual pertama dunia Islam dengan Barat. Kiranya tak berlebihan bila istilah kontemporer disini mengacu pada pengertian era yang relevan dengan tuntutan kehidupan modern.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Tafsir Kontemporer ialah Tafsir atau penjelasan ayat Al-Qur’an yang disesuaikan dengan kondisi kekinian atau saat ini. Pengertian seperti ini sejalan dengan pengertian tajdid yakni usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan mentakwilkan atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat. Adapun problem kemanusiaan yang muncul dihadapan adalah seperti; masalah Kemiskinan, Pengangguran, Kesehatan, Ketidak-adilan, Hukum, Ekonomi, Politik, Budaya, Diskriminasi, Sensitifitas Gender, HAM dan masalah ketimpangan yang lain. Sehingga dengan demikian metodologi tafsir kontemporer adalah kajian di sekitar metode-metode tafsir yang berkembang pada era kontemporer.[3]

Kemunculan Tafsir kontemporer erat kaitannya dengan mulai muncul istilah pembaharuan yang dipopulerkan oleh beberapa ulama modern kontemporer seperti Jamal al-Din al-Afgani ( 1245-1315 H/1838-1897 M), Syekh Muhammad abduh ( 1265-1323 H/1849-1905 M) dan Muhammad Rsyid Ridha ( 1282-1354 H/1865-1934 M) dikarenakan adanya kolonialis dari bangsa Barat, sehingga munculah gerakan modernisasi Islam. Ketiga tokoh ini menjadi penggerak perubahan dan gerakan purifikasi terhadap nilai-nilai Islam di Mesir, negara yang banyak melahirkan tokoh pemikir dan penggerak Islam.

Mereka menginginkan adanya pendekatan dan metodologi baru dalam memahami Islam. Persepsi para pembaharu memandang bahwa Pemahaman Al-Qu’ran yang terkesan jalan di tempat13. Alih alih mereka memandang bahwa metodologi klasik telah menghilangkan ciri khas Al-Qur’an sebagai kitab yang sangat sempurna dan komplit sekaligus dapat menjawab segala permasalahan klasik maupun modern.[4]

B. Tafsir dan Perkembangannya

Sejarah sudah membuktikan betapa besarnya respon dunia Islam terhadap Al-Qur’an, sehingga tak terhitung jumlah mufassir dan ahli dalam berbagai cabang keilmuan yang menyertai tafsir ini dalam sepanjang sejarah Islam. Sebagian dari para mufassir dan tokoh ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya adalah para pembaharu yang memiliki inisiatif menemukan cara-cara baru yang kreatif dalam pemecahan masalah tafsir Al-Qur’an atau berbagai persoalan lain yang terkait dengan disiplin ilmu tafsir. Dalam jajaran inisiator penggagas lahirnya cara pemahaman dan pemecahan baru dalam wilayah studi Al-Qur’an ini diparoh pertama abad 20, munculah nama Amin al-Khuli.

Para pengamat tafsir modern sepakat untuk memposisikan Amin al-Khuli sebagai pelopor lahinya tafsir Al-Qur’an dengan gaya baru yakni tafsir sastrawi, al-Tafsir al-Bayan sebuah tafsir karya murid dan istrinya Aisyah Abdurrahman Bint al-Syati’ yang dengan jujur mengakui bahwa tafsirnya lahir sebagai langkah lanjut dari tawaran Amin al-Khuli.[5]

Al-Qur’an sebagai asasi Islam memuat banyak makna. Hal itu misalnya seperti dikutip Quraish Shihab dari Abdullah Daraas, “ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan sebuah intan. Setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut lainya. Maka tidak mustahil jika kita mempersilahkn orang lain memandangnya dari sudut lainnya, maka dia akan melihat banyak diabanding apa yang kita lihat.[6]

Tafsir sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan kandungan Al-Qur’an yang telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadinya keanekargaman dalam corak penafsiran adalah tak terhindarkan. Berbagai faktor dapat menimbulkan keragaman itu, di antaranya perbedaan kecenderungan, interes, dan motivasi penafsir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan keragaman dan kedalaman ilmu yang dikuasai, perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi dan lain sebagainya.[7]
Kemudian, disadari atau tidak, adanya globalisasi yang melanda dunia memaksa umat Islam untuk merumuskan kembali berbagai pemikiran keislaman. Pesatnya Teknologi informasi yang berkembang akhir-akhir ini telah menyebabkan terjadinya perubahan yang demikian kompleks dalam kehidupan umat Islam. Pergolakan "emansipasi", "demokrasi" dan "reformasi" di bagian wilayah lain dunia ini dengan begitu mudah diakses umat Islam, dan ini sangat mempengaruhi kehidupan umat Islam.[8]
Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi menyebabkan pemikiran-pemikiran keislaman lama mengalami "keterasingan" karena tidak mampu memberikan jawaban atas berbagai tantangan baru yang muncul akibat perubahan tersebut. Munculnya tantangan-tantangan baru ini mengharuskan dirumuskannya kembali pemikiran-pemikiran Islam agar bisa menjawab tantangan-tantangan tersebut. Masuknya gagasan feminisme dan pluralisme di kalangan umat Islam juga jelas tidak bisa dilepaskan dari perkembangan global yang melanda umat Islam.

Tantangan berikutnya bagi tafsir Al-Qur’an adalah tantangan Perkembangan Global, Munculnya penafsiran baru atas ayat-ayat Al-Qur’an tentang relasi laki-laki-perempuan, tidaklah terlepas dari kesadaran umat manusia dalam masyarakat modern yang dikondisikan oleh konsep Hak Asasi Manusia dan martabat manusia.[9]

Beberapa ulama menyimpulkan bahwa paradigma yang tejadi pada masa modern sebagai berikut: pertama, tafsir kontemporer ini bersemangat mengembalikan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Sebelum itu, Al-Qur’an bagi mufasir kontemporer diasumsikan sebagai wahyu yang progresif, maka mereka meng-embangkan suatu medel pembacaan yang lebih kritis dan produktif. Ali al-Harbi menje-laskan, bahwa pembacaan kritis pada Al-Qur’an adalah pembacaan atas teks Al-Qur’an yang tidak terbaca, dan ingin menyingkap kembali apa yang tak terbaca itu.[10]

Dilihat dari sumber penafsirannya, para peneliti tafsir mebaginya menjadi dua model: Tafsir bi al-Matsur yang juga dikenal dengan tafsir riwayah atau manqul, apbila sumber penafsiranya adalah riwayat-riwayat, dan Tafsir bi ar-Ra’yi yang juga dikenal dengan tafsir ma’qul atau tafsir dirayah, jika sumber yang diambil adalah ijtihad. Kemudian, sebagai turunan dari kedua model tafsir riu, Hay Farmawi meringkas berbagai metode tafsir menjadi empat maca: tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir maqarin, dan tafsir tematik.

C. Karakteristik Tafsir Modern: Corak Tafsir dan Metodenya

Survei yang dilakukan Jensen terhadap corak pemikiran mufasir modern melibatkan pada tiga peta pemikiran, yaitu corak pemikiran tasir Ilmi, tafsir Filologi, dan tafsir Adabi Ijtimai.[11]

1. Tafsir ‘Ilmi 

Setiap muslim mempercayai bahwa Al-Qur’an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti terjadi. Mengingat Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak terlupakan di dalamnya “tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id Huwa, dan lain-lain. Bahkan secara vokal Abduh mengisyaratkan bahwa penemuan Telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah tercantum dalam Al-Qur’an.

2. Tafsir Filologi

Amin AL Khulli telah berjasa dalam memperkenalkan teori-teori penafsiran secara sistematis, ada tiga kerangka yang ia lakukan; Pertama, seoraongmufassir harus mampu mengaitkan satu ayat dengan ayat lainnya yang memiliki tema serupa. Kedua, mempelajari setiap makna kata dalam Al-Qur’an yang tidak hanya menggunakan kamus saja, tetapi juga dengan kata-kata Al-Qur’an sendiri yang memiliki akar kata serupa. Ketiga, analis terhadap bagaimana Al-Qur’an mengombinasikan kata-kata dalam sebuah kalimat. Akan tetapi Amin al-Khulli tidak mencoba sendiri menerapkan pemikirannya itu kedalam bentuk penafsiran Al-Qur’an. Istrinyalah, yakni Bin al-Syathi, yang merealisasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk penafsiran. Asy Syathi membuktikan dirinya sebagai mufassir yang kompeten dalam bidang tafsir filologi dengan karyanya yang berjudul tafsir al Bayan.

3. Adabi Ijtima’i

Tafsir adabi ijtima`i muncul untuk “ menggugat capaian-capaian tafsir klasik yang dianggap kurang mengakar pada persoalan-persoalan masyarakat. Oleh karena itu, diskursus-diskursus yang mencuat dari madrasah ini adalah kritikan tajam terhadap tafsir tafsir klasik. Bagi para mufassir madrasah ini, Al-Qur’an baru dapat dikatakan sebagai hudan li an-nas bila telah dirasakan menjadi problem solver bagi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bentuk-bentuk penafsiran yang sifatnya tidak membumi tentu saja tidak mendapat tempat pada madrasah ini,. Pokok-pokok pemikiran di atas terlihat jelas pada pendapat Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al Maraghi, dan Sayyid Quthb.
Abduh menolak tradisi penafsiran klasik yang menggunakan Israiliyat (legenda-legenda Yahudi dan Nasrani) untuk menfsirkanAl-Qur’an, yang dianggapnya mengda-ngada dan mendistorsi tujuan Al Qur`an, yang sebenarnya. Apa yang tidak dijelaskan sendiri. Menurutnya, mengandung isyarat bahwa itu tidak penting untuk dijelaskan lebih lanjut. Lebih-lebih dengan menggunakan riwayat-riwayat Israiliyyat.[12]

Di dalam metode penafsiran, pada perkembangan dewasa ini, ada yang merujuk pada temuan ulama’ kontemporer, yang dianut sebagian pakar Al-Qur’an misalnya al-Farmawi (di Indonesia) yang dipopulerkan oleh M. Quraish Shihab dalam berbagai tulisanya, pemilahan metode tafsir Al-Qur’an terdapat lima metode: Ijmali (Global), Tahlili (Analis), Muqarin (Perbandingan), Maudlu`i (Tematik) dan metode kontekstual, merupakan cara menafsirkan Al-Qur’an berlandaskan pertimbangan latar belakang sejarah, sosiologi, budaya, adat istiadat, dan pranata-pranata yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Al-Qur’an ) termasuk dalam kategori tafsir kontemporer.

Metode kontekstual secara subtansial berkaitan erat dengan Hermeneutika, yang merupakan salah satu metode penafsiran teks yang berangkat dari kajian bahasa, sejarah, sosiologis, dan filosufis.[13] Menjamurnya berbagai literatur Ilmu Tafsir kontemporer yang menawarkan hermeneutika sebagai variabel metode pemahaman Al-Qur’an menunjukan betapa daya tarik hermeneutika sangat luar biasa. Hasan Hanafi dalam Tulisannya Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutika itu tidak sekadar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tatapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia.[14]

Metode hermeneutik yang dikembangkan oleh para mufassir kontemporer itu juga tidak seragam, namun sangat beragam. Keberagaman ini tentu saja muncul bukan hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan yang berasal dari luar, namun juga adanya dinamika dan kesadaran pada mereka akan kekurangan-kekurangan metode yang ada.[15]

Adapun tokoh yang menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan Al-Qur’an, seperti Fazlurrahman, Arkoun, Abu Zayd. Dimana mereka memandang bahwa metode hermeneutika merupakan metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya menarik makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks Al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks Al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu dipahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dengan dinamika realitas histirisnya.[16]

D. Tokoh Yang Muncul

1. Misalnya saja Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir liberal asal Mesir. Ia menganggap bahwa pembacaan teks-teks keagamaan (Al-Qur’an dan Hadits) hingga saat ini masih belum menghasilkan tafsiran yang bersifat ilmiah-objektif, bahkan masing terpasung dengan mitos, khurafat, dan bercorak harfiyah yang mengatasnamakan agama. Oleh karena itu, dalam mewujudkan interpretasi rasional dan menekankan pentingnya kesadaran ilmiah (wa’y ‘Ilmy) dalam berinteraksi dengan teks-teks keagamaan.[17] Keterpasungan yang dimaksud Abu Zayd adalah interpretasi yang tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks. Baginya, coraik interpretasi yang ada selama ini lebih menonjolkan unsur ideologi dari pada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalisme yang mengabaikan indikasi peranan penguasa baikdalam isue-isue keadilan sosial, ekonomi maupun politik.
Adapun corak penafsiran yang dilakukan oleh Abu Zayd lebih ditekankan oleh superioritas data empiris dan menjadikannya sebagai landasan pokok berbudaya dan beragama.[18] Dengan demikian, interpretasi dan makna teks tidak pernah berpenghujung, bahkan ia setantiasa seiring dengan berkembangnya realitas. Sebab teks berasal dari realitas, sehingga makna teks pun dengan sendirinya harus mengikuti perubahan realitas. Dengan menggunakan prinsip ini, maka makna teks Al-Qur’an pun tidak pernah final. Sebab menurut Abu Zayd yang memandang bahwa realitas lahiriyah dapat menggambarkan wujud yang hakiki, tanpa memerlukan pengetahuan akal.[19]

Dengan menyelami realitas di sekitar teks, maka Abu Zayd mempromosikan mekanismenya dalam memaknai sebuah teks. Berangkat dari pemahaman bahwa Al-Qur’an hanyalah fenomena sejarah yang tunduk pada returan sejarah, maka sebagai suatu yang sudah mensejarah dan terealisasi dalam dunia yang temporal-terbatas. Al-Qur’an juga bersifat temporal-historis dan harus dipahami denagn pendekatan historis. Abu Zayd juga memandang Al-Qur’an sebatas teks linguistik yang tidak dapat melepaskan dirinya dari aturan bahsa Arab dan dipengaruhi oleh kerangka kebudayaan yang melingkupinya. Dengan demikian pemaknaannya harus tunduk pada latar belakang zaman, ruang historis dan latar belakang sosialnya.

2. Dr. ‘Aisyah ‘Abd al-Rahman, ia mulai dikenal luas karena studinya tentang sastra Arab dan tafsir Al-Qur’an, adapun karayanya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu al-‘Ala’ al-Ma’arif, al-Khansan dan karya tafsirnya , Al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an al-Karim vol 1 (1962).
Metode kajian Bint al-Syati memberi pengruh pada banyak orang. Secar jujur dia mengakui, bahwa metodenya itu dia peroleh dari gurunya di Unuversitas Fuad I, yang belakangan menjadi Suaminya, yaitu Al-Khuli, seperti dijelaskan sebelumya. Berikut metode dan prinsip yang digunakan Bint al-Syati:[20]

a. Sebuah prinsip sederhana yang dalam prakteknya bisa tidak sederhana yaitu “Sebagian ayat Al-Qur’an menafsirkan sebagian ayat yang lain”.
b. Metode yang bisa disebut sebagai metode munasabah, yaitu metode mangkaitkan kata atau ayat dengan kata atau ayat yang ada didekatnya, dan bahkan bisa yang tidak berada didekatnya.
c. Prinsip bahwa suatu ‘ibrah atau ketentuan suatu masalah berdasar atas bunyi umumnya lafadz atau teks, bukan karena adanya sebab khusus.
d. Keyakinan bahwa kata-kata di dalam bahsa Arab Al-Qur’an tidak ada sinonim. Satu kata hanya mempunyai satu makna.
3. Inspirasi Muhammad Abduh untuk mengembalikan ajaran Islam kepada sumber utama, “kembali ke Al-Qur’an dan sunnah” berpengaruh besar: secara langsung ataupun tidak. Mufasir wanita terkemuka, Aisyah Abdurrahman bint al-Syati’ (1931-1998)[21] telah menawarkan metodologi pemaknaan Al-Qur’an yang cukup monumental. Prinsip bagaimana Al-Qur’an berbicara sendiri tanpa melibatkan unsur lain lebih dahulu di pegang. Mangartikan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri, sehingga makna yang digali lebih valid dan otentik. Sikap anti israiliyat, sebagaimana didengungkan Abduh lebih dahulu, dikembangkan lebih lanjut, karena dengan membuat Al-Qur’an “speaks for it self” lebih menghasilakn fenomologi Al-Qur’an.

Bersama dengan upaya pembaharuan dan gerakan purifikasi Islam, serta gerakan penafsiran Al-Qur’an di Mesir dan negara-negara Islam lainnya, para ilmuan muslim Indonesia pun melakukan gerakan yang sama. Para ilmuan dan cendekiawan lokal berusaha keras unutk melakukan penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an ke dalam bahasa indonesia. Ulama tafsir yang tergolong aktif dalam usaha penafsiran dan melahirkan tafsir yang berkualitas dan monumental adalah Prof. Dr. Buya Hamka (1908-1981). Buya Hamka, selain berhasil menerbitkan Al-Qur’an dan tafsiranya yang diterbitkan oleh departemen Agama Republik Indonesia dan Tafsir Al-Azhar.

Sementara itu, dilihat dari kecendurungan studi Al-Qur’an mulai klasik hingga kontemporer, Igans Goldziher mencatat adanya lima kecenderungan, yakni studi Al-Qur’an tradisional, studi Al-Qur’an dogmatis, studi Al-Qur’an mistik, studi Al-Qur’an sektarian, dan studi Al-Qur’an modern. Kecenderungan studi Al-Qur’an modern, oleh Goldziher dikaitkan dengan gerakan pemikiran yang berkembang di India dan Mesir, kendati dengan titik tolak yang berbeda. Gerakan Islam di India dengan figurnya Ahmad Khan bertolak pada pembaruan kebudayaan, sedang di Mesir bertolah pada pembaruan pemikir keislaman dengan figurnya Muhammad Abduh.[22]

Yang dimaksud studi Al-Qur’an modern dalam hal ini adalah sebuah usaha “mengontekskan” Al-Qur’an dengan tuntutan zaman. Menurut Abduh, Al-Qur’an merupakan sumber asasi Islam sebagai agama universal, yang acap kali sesuai dengan kepentingan setiap masyarakat, zaman dan berbagai peradaban, dimana pun dan kapan pun,[23] sehingga ia tetap memberi petunjuk pada mereka dalam menghadapi berbagai persoalan hidup. Tafsir modern Muhammad Abduh ini kemudian dikenal sebagai tafsir adabi ijtima’i. Tafisir adabi ijtima’i mempunyai empat unsur pokok, yaitu:[24]

a. Menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur’an.
b. Menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah.
c. Aksentuasi pada tujuan utama diuraikan (diturunkannya) Al-Qur’an.
d. Penafsiran yang dikaitkan dengan sunnatullah dalam masyarakat.

Kecenderunagan tafsir modern dibagi lagi menjadi tiga model, yakni tafsir ilmi, tafsir realis (waqi’i) dan tafsir sastra (adabi). Secara singkat, ketiga tafsir modern itu dapat dipahami demikian.
1. Tafsir ilmi adalah tafsir yang berprinsip bahwa Al-Qur’an mendahului ilmu pengetahuan modern sehingga mustahil Al-Qur’an bertentangan dengan sains modern.[25]
2. Tafsir waqi’i adalah tafsir yang berprinsip Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari, sehingga ia harus ditafsiri dengan pendekatan tertentu yang membuatnya mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi manusia.[26]
3. Tafsir adabi adalah tafsir yang berprinsip bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar dan bacaan mulia yang mampu memengaruhi jiwa terdalam manusia secara estetik. Hanya saja tafsir ini tidak berpretensi untuk menjawab berbagai tantangan yang ada, melainkan hendak mengembalikan Al-Qur’an kepada pesan awalnya yang ditujukan kepada jiwa pendengar awalnya.[27]

Pendekatan hermeneutika telah mengilhami para sarjana muslim kontemporer untuk membuka wacana baru, seperti Arkoun, Hasan Hanafi, Farid Esack dan Nasr Hamid Abu Zaid, dalam melakukan interpretasi.[28]

Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak hanya mengandalkan perangkat keilmuan seperti yang digunakan para penafsir dulu, seperti ilmu nahwu sharaf, ushu fiqh dan balaghah, tetapi diperlukan ilmu-ilmu lain seperti teori sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah, gender dan sebagainya.

Sejalan dengan itu, jika menilik pada sejarah perkembangan tafsir, menurut Ignas Goldziher, perkembangan tafsir selau mengalami pergeseran paradigma dan epistemologi. Pada era klasik, epistemologi tafsir pada umumnya bertumpu pada ranah verbal-tekstual yang penjelasannya sangat mengnadalkan nalar bayani dan memiliki kecendurungan ideologis. Sedangkan tafsir di era modern tidak lagi bertumpu pada verbal-tekstual, tetapi telah memanfaatkan metode-metode kontemporer. Kebenaran tafsir di era ini diukur melalui apakah apakah sebuah produk tafsir sesuai dengan teori pengetahuan atau tidak, dan apakah produk tafsir mampu menjawab persoalan-persoalan sosial-keagamaan yang melanda kehidupan masyarakat atau tidak.[29]

Pada masa modern, tafsir yang berorientasi tekstual dan kontekstual semakin berkembang masif. Pola 
tafsir yang yang berorintasi tekstual kemudian bermetamorfosis dengan mengambil pola berfikir tatbiq asy-syari’ah, tanpa memperhatikan realitas sosio-kultural. Pola pemikiran inilah yang kemudian berpotensi menimbulkan paham dan gerakan fundamentalisme-revivalis yang cenderung reaksioner dan revolusionerdalam menghadapi perkembangan realitas. Sedangkan pola tafsir yang berorientasi kontekstual bermetamorfosis dengan mengambil pola berfikir tajdid al-fahmi, yakni memahamai teks dengan melibatkan aspek sosio-kultural dan orientasi makna ke depan.[30]

DAFTAR PUSTAKA

Faiz, F. (2011). Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontoversial. Yogyakarta: Elsaq Press.
Syafrudin. (2009). Paradigma Tafsir Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusron, M. (2006). Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.


[1] Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar, Indeks, Jakarta 2008. Hal. 27

[2] Ahmad Syirbasi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur‟anul Karim (Jakarta: Kalam Mulia, 1999).

[3] Ahmad Syukri, Metodologi Tafsir Al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman (Jambi: Sulton Thaha Press, 2007).

[4] Muhammad Sayyid Thanthawi, Mabahits Fi “Ulum Al-Qur”an (Kairo: Azhar Press, 2003).

[5] Aisyah Abdurrahman Bint al-Syati’, al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an al-Karim, jilid I (Kairo: dar al-Ma’arif, 1966), hlm. 14

[6] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, volume 1 (Jakarta: Lentera Hati, 200), hlm. XV

[7] Loc. cit

[8] Pdf 780 h. 5

[9] Engineer, Hak-Hak Perempuan, 3.

[10] Ali Al-Harb, Naqd Al-Nash (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi, 1995), 204-205.

[11] Nur Kholis, “Al-Qur’an dalam kesejarahan kalsik dan kontemporer.......hlm. 93

[12] Rosikhun. Anwar, Samudra Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 285-286

[13] Op.cit, hlm. 58

[14] Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, hlm. 1

[15] http://wahyunishifaturrahmah.wordpress.com/2010/02/16/kontribusi-dan-kritik-mufassir-untuk-tafsir-masa-depan-dari-mufassir-klasik-hingga-kontemporer/ diakses 7 april 2017

[16] Fahruddin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: Elsaq Press, 2011), hlm. 15

[17] Nash Hamid Abu Zayd, Naqdu al-Khithab al-Dini, (Sina li al-Nashr, Kairo: 1992, cetakan pertama, hlm.8

[18] Nasr Hamid Abu Zayd, al-Khithab wa al-Ta’wil, cet 1, al-Markaz al-Thaqafi al-‘Arabi, Beirut, 2000, hlm. 99

[19] Munir Ba’albaki, al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar al-‘Ilm li-Malayin, Beirut: 1885), hlm. 762

[20] Muhammad Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: Teras, 2006), hlm. 25

[21] Al-Tafsir al-Bayani li Al-Qur’an sl-Karim (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1990)

[22] Ignas Goldziher, Mazahib at –Tafsir al-Islami, cet. Ke-2 (Beirut Lebanon: Dar Iqra’, 1983), hlm. 392

[23] Ignas Goldziher, Mazabi at-Tafsir, hlm. 352

[24] M. Quraish Shihab, “Metode Penyusunan Tafsir yang Berorientasi pada Sastra, Budaya dan kemasyarakatan”, Makalah, Ujung Pandang, sebagaimana dikutip oleh Harifuddin Cawadu, Ibid., hlm. 11. M. Quraish Shihab mengartikan kata adabi dengan “sastra”. Menurut H.M. Roem Rowi dalam kuliah tanggal 19-11-1996, adabi lebih diartikan “budaya”

[25] Ignas Goldzihe, Mazabi at Tafsir, hlm. 376; Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, terj. Hairussalam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm.55

[26] Jansen, Diskursus Tafsir Al-Qur’an Modern, hlm. 125

[27] Dinukil dari Aksin Wijaya. Aksin Wijaya, “Memburu Pesan Sastrawi Al-Qur’an”, Jurnal JSQ, Jakarta, 2006.

[28] Sebagaimana dinyatakan Roger Trigg bahwa para-digma hermeneutik adalah:

[29] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, hlm. 30.

[30] Madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York: Columbia University Press, 1970), hlm. 7

Post a Comment for "METODOLOGI TAFSIR KONTEMPORER KARAKTERISTIK PARADIGMA TAFSIR KONTEMPORER"