Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Tentang Tafsir Al-Manar





BAB I
PENDAHULUAN

A.            Latar Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya, karena agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia memiliki pegangan hidup sehingga ilmu dapat menjadi lebih bermakna, yang dalam hal ini adalah Islam. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia.
Penafsiran al-Qur’an dari masa-kemasa masa selalu menunjukkan sesuatu perkembagan yan signifikan, sejak al-Qur’an diturunkan hingga sekarang. Adapun setiap masa mengalami perubahan dan perbedaan ketika menafsirkan al-Qur’an, baik itu dari segi metode maupun bentuk ketika menafsirkannya. Sehingga tiap-tiap masa memiliki karakteristik masing-masing, untuk membedakan produk tafsir satu dengan yang lainnya. Antara tafsir di era klasik dan modern memiliki ciri khas masing-masing dalam menafsirkan al-Qur’an. Adapun tafsir yang muncul di era modern salah satunya adalah tafsir Al Manar.
Kitab tafsir ini merupakan hasil karya tokoh revosioner Mesir yaitu Muhammad Abduh, sang murid yang bernama Rasyid Ridha. Ketika menafsirkan al-Qur’an Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha cenderung berbeda dalam menfsirkan al-Qur’an, beliau lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan sosial. Selain itu tafsir ini merupakan bibit dari tafsir modern, dan dijadikan rujukan oleh kitab-kitab tafsir sesudahnya. Oleh karena itu dirasa perlu pembahasan yang terkait mengenai tafsir al-Manar. Mempelajari mata kuliah Studi Tafsir Modern  merupakan salah satu kewajiban mahasiswa prodi IQT fakultas Ushuluddin. Dengan tujuan memperdalam dan meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah, sehingga terwujudlah mahasiswa yang cerdas, beriman, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung didalam Al Qur’an dan Al Hadits.
Dari makalah yang disusun, penyusun   berharap mampu memberikan kontribusi yang positif akan gambaran tentang Tafsir Al Manar yang lebih dapat diaplikasikan dalam memperdalam kelimuan tentang tafsir Al Qur’an serta mampu mengaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.

B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah :
1.      Siapakah Muhammad Abduh?
2.      Siapakah Muhammad Rasyid Ridha?
3.      Bagaimana sejarah/latarbelakangf penulisan tafsir Al Manar?
4.      Apa sumber dari tafsir Al Manar?
5.      Bagaimana karakteristik dari tafsir Al Manar?
6.      Bagaimana metode tafsir Al Manar?
7.      Apa perbedaan antara Muhammad Abduh dengan Muhammad Rasyid Ridha?
C. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan penulisan atau penyusunan makalah adalah
1.      Mengetahui biografi Muhammad Abduh
2.      Mengetahui biografi Muhammad Rasyid Ridha
3.      Mengetahui sejarah/latarbelakang penulisan tafsir Al Manar
4.      Mengetahui sumber tafsir Al Manar
5.      Mengetahui karakteristik tafsir Al Manar
6.      Mengetahui metode tafsir Al Manar
7.      Mengetahui perbedaan antara Muhammad Abduh dengan Muhammad Rasyid Ridha


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Syaikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M)
Muhammad Abduh memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Ḥasan Khoirullah. Beliau dilahirkan disebuah desa yang bernama Mahallat Nasr, al-Bukhairah Mesir pada tahun 1849M dan wafat di Kairo pada tahun 1905 M.[1] Beliau tidak berasal dari keluarga yang tergolong kaya, serta bukan dari keluarga seorang bangsawan, namun ayahnya adalah sosok yang sangat digemari oleh masyarakat di desa tersebut. Muhammad Abduh hidup di lingkungan keluarga petani, semua saudarannya mendapatkan tugas untuk membantu ayahnya di bidang pertanian, namun hanya Muhammad Abduh yang tidak mendapatkan tugas dari ayahnya untuk bergelut dibidang pertanian, justru beliau mendapatkan tugas dari ayahnya untuk mencari ilmu pengetahuan.  Pada usia 12 tahun Muhammad Abduh telah hafal Al-Qur’an.
Muhammad Abduh mengawali pendidikannya di masjid al-ahmadi di daerah Thanta, kira-kira 80 Km dari Kairo. Pada tahun 1865, beliau menikah dan sempat bekerja menjadi petani selama 40 hari, kemudian beliau pergi ke Tanta untuk kembali belajar. Paman beliau yang bernama Syaikh Darwisy Khidr adalah penganut tarekat asy-Syadziliyah, mampu membangkitkan semangat belajar serta antusiasme Abduh terhadap ilmu dan agama, ketika tahun 1866 beliau memutuskan untuk pergi ke Kairo untuk menuntut ilmu di universitas al-Azhar.[2]
Setelah tamat dari al-Azhar pada tahun 1877, Muhammad Abduh memulai karirnya, dengan mengajar di universitas Dar al-Ulum dalam bidang sejarah. Selain itu beliau juga mengajar logika, teologi dan filsafat di al-Azhar. Abduh menekankan kepada murid-muridnya agar berfikir kritis dan rasional serta tidak harus terikat dengan suatu pendapat. Selain mengajar beliau juga menekuni di bidang jurnalistik. Perjalanan hidup Muhammad Abduh mengarahkan pandangannya ke beberapa persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Abduh menyeru kepada umat Islam agar kembali dasar ajaran Islam dan membuka lebar-lebar pintu ijtihad. Beberapa karya tulis Abduhsebagian besar berupa artikel-artikel di surat kabar serta majalah. Beberapa karya yang telah dihasilkan oleh Muhammad Abduh adalah:
1.        Risalah al-Tauhīd
2.        Tafsīr al-Qur’an al-Karim Juz ‘Amma
3.        Tafsīr surat wa al-‘asr
4.        Hasyiyah ‘ala Syarh ad-Dawani li al-Aqa’id al-Adudiyah

B.       Muhammad Rasyid Ridha (1282-1354 H/ 1865-1935 M)
Rasyid Ridha merupakan murid dari Muhammad Abduh, Rasyid Ridha termasuk salah satu murid yang dekat dengan beliau. Rasyid Ridha lahir pada tahun 1865 M. Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Namun kondisi masyarakat semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi salah satu anggota dari tarekat naqsabandiyah. Selain itu beliau memiliki nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Muhammad Syamsuddin. Beliau lahir di al-Qalamun, yaitu sebuah desa yang di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Syuria), menurut sebuah keterangan bahwasanya Rasyid Ridha adalah keturunan dari al-Husain (cucu Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alaihy wa Sallam).[3]Ketika kecil beliau belajar menulis, berhitung serta membaca al-Qur’an di sebuah sekolah di desa Qalamun. Selain belajar membaca dan menulis kemudian beliau meneruskan pendidikannya di Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyah di Tripoli, yang didirikan oleh Syaikh Husein al-Jisr. Beliau adalah salah seorang ulama’ yang pemikiran agamannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Rasyid Ridha mengalami kecelakaan ketika perjalanan pulang setelah mengantarkan pangeran Su’ud al-faisal, dan akhirnya beliau menderita gagar otak, kemudian wafat pada tanggal 22 Agustus 1935 M.[4]
C.      Pertemuan Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
Majalah al-Urwah al-Wusqa, yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris, yang tersebar di seluruh dunia Islam, ikut dibaca oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh yang sangat besar pada jiwanya. Disaat yang bersamaan Rasyid Ridha sedang memulai perjuangan di kampung halamannya melalui pengajian dan menulis di media massa.
Kekaguman Rasyid Ridha kepada Abduh bertambah besar sejak Abduh kembali ke Beirut untuk kedua kalinya pada 1885 dan mengajar sambil menulis. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika Syaikh Muhammad Abduh berkunjung ke Tripoli untuk berkunjung ke salah seorang temannya, Syaikh Abdullah al-Barakah, yang mengajar di sekolah al-Khanutiyah. Pada pertemuan pertama ini, Rasyid Ridha sempat bertanya, apa kitab tafsir terbaik menurut Muhammad Abduh. Oleh Abduh dijawab bahwa tafsir alKasysyaf , karya al-Zamakhsyari adalah yang terbaik, karena ketelitian redaksinya serta segi-segi sastra bahasa yang diuraikannya.
Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1312 H/1894 M, di Tripoli. Pertemuan ini berlangsung sepanjang hari, sehingga mereka saling berdiskusi tentang banyak hal. Pertemuan ketiga, di Kairo, Mesir pada tanggal 23 Rajab 1315 H/ 18 Januari 1898 M. Sebulan setelah pertemuan ketiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengangkat masalah-masalah sosial keagamaan dan budaya.
Pada mulanya Abduh sempat menolak gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi masalah yang akan diangkat kurang menarik perhatian umum. Namun karena kekukuhan Rasyid Ridha, akhirnya Abduh merestui dan memilih nama almanar, dari sekian banyak usulan nama yang ditawarkan oleh Rasyid Ridha.[5]

D.      Latar Belakang Penulisan al-Manar
Ketika Islam berada pada era kegelapan (abad 19), permasalahan tafsir pun keluar dari rel yang sebenarnya yaitu terjadi disorientasi dalam penafsiran al-Qur‟an.Penafsiran al-Qur‟an yang sebenarnya fleksibel dan dialogis telah direduksi menjadi penafsiran yang monologis yaitu tafsir
yang berkisar sekitar pengulangan terhadap karya-karya mufassir terdahulu yang belum tentu kondusif untuk masa sekarang artinya tafsir al-Qur
an tidak membumi.
Muḥammad Rasyid Riḍhā murid Muḥammad Abduh yang mencatat dan menuangkan kuliah-kuliah gurunya ke dalam majalah Al-Manar. Hal itu sebagai langkah pertama. Langkah selanjutnya ia menghimpun dan menambah penjelasan seperlunya dalam sebuah kitab tafsir yang diberi nama Tafsir al-Manar, kitab tafsir yang mengandung pembaharuan dan sesuai dengan perkembangan zaman. Ia berusaha menghubungkan ajaran-ajaran al-Qur‟an dengan kehidupan masyarakat, di samping membuktikan bahwa Islam adalah agama yang memiliki sifat universal, umum, abadi dan cocok bagi segala keadaan, waktu dan tempat.[6]
Kitab Tafsir al-Manar yang bernama tafsir Al-Qur’an Al-Ḥakīm karya Muḥammad Abduh dan Muḥammad Rasyid Riḍā ditulis pada saat perkembangan pemikiran Islam memasuki era modern. Di era ini umat īslam bangkit untuk melakukan reformasi, modernisasi dan purifikasi ajaran agama Islam setelah selama tujuh abad mengalami kemunduran. Al-Manar terbit pertama kalinya pada tanggal 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, yang dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Riḍha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muḥammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.
Tafsir al-Manar tidak ditulis sampai rampung oleh Rasyid Riḍha, karena ia meninggal. Penafsiran dari mulai surat al-Fatihah sampai surat al-Nisaayat 125, (413 ayat) di ambil dari pemikiran Abduh, kemudian dilanjutkan oleh Rashīd Riḍā sebanyak 930 ayat mulai dari surat al-Nisaayat 126 sampai surat yūsuf ayat 111 dengan berpatokan pada metode Abduh. Kemudian dirampungkan oleh Muḥammad Bahjah al-Bayṭār, surat Yusuf sampai al-Nas.[7]

E.       Sumber Penafsiran Tafsir Al-Manar
Dalam penafsirannya, M Abduh berpatokan dalam dua landasan: riwayat shahihdannalar/rasional. Melihat hal ini, berarti M Abduh menggunakan bi al-Matsūr dan bi al-Rayi. Ia memadukan keduanya.
Uraiannya terhadap ayat-ayat AlQuran begitu menakjubkan dan mengesankan. Makna ayat diungkap dengan mudah dan lugas. Ia juga mengilustrasikan segudang problematika sosial dan menuntaskannya dengan berpedoman pada resep Al Quran.

F.       Metode penafsiran Tafsir Al Manar
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam Tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Quran dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.
Muhammad Abduh dalam penafsiranya terhadap Al-Qur’an menggunakan pendekatan adabi ijtima’i atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Menurut M.Quraish Shihab ia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bercorak adabi ijtima’i ialah tafsir  yang menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi Al-Qur’an kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut  dalam suatu redaksi yang indah dengan menonjolkan tujuan dari diturunkannya Al-Qur’an, yakni sebagai petunjuk dalam kehidupan, lalu menggandengkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.
G.      Karakteristik Tafsir Al Manar
1.         Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2.         Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3.         Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4.         Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5.          Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6.         Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat.[8]

H.      Perbedaan Antara Muhammad Abduh Dengan Rasyid Ridha
Rasyid Ridha dalam penafsiranya memiliki sekian banyak perbedaan dengan Syaikh Muhammad Abduh. Dibawah ini akan dikemukakan perbedaan-perbedaan penafsiran kedua tokoh diatas, diantara perbedaanya adalah sebagai berikut:
1.      Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.
Dalam menafsirkan al-Quran, ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis nabi, riwayat para sahabat dan tabi’in, yang dinilainya shohih. Penilaianya lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaian tersebut tidak hanya terbatas pada isi kandungan riwayat,tetapi juga sisi transmisi periwayatya.
2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat berupa bidang hukum, bidang perbandingan agama, bidang sunnatullah, perkembangan ilmu pengetahuan.
3.      Keluasan tentang penafsiran ayat dengan ayat.
Salah satu pengaruh tafsir ibnu katsir terhadap Muhammad Rasyid adalah usahanya mengikuti jejak Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan ayat-ayat lainya, suatu cara penafsiran yang dinilai oleh ulama paling tepat untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.
4.      Keluasan pembahasan kosa-kata dan ketellitian susunan redaksi
Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat yang lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.[9]

I.         Kelebihan dan kekurangan tafsir Al-Manar
Didalam literatur yang penulis baca belum ada yang membahas tentang kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar. Akan tetapi dalam makalah ini pemakalah akan sedikit menjelasan kelebihan dan kekurangan tafsir al-Manar sesuai dengan pemahaman dari buku yang pemakalah baca.
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yaitu :
1.    Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman  akal secara luas
2.    Orang awam maupun intelektual mudah memahami penafsiranya
3.    Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan teori-teori ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam
4.    Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini
Adapun kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manar Adalah Rasyid Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun yang belum mapan, dengan ayat-ayat al-Qur’an.
Dari keterangan diatas dapat diketahui sedikit tentang kelemahan dan kelebihan tafsir al-Manar, yang jelas setiap karya tafsir pasti ada kelebihan dan kekuranganya dikarenakan adanya perbedaan-perbedaan pemahaman dan latar belakang orang yang menafsirkan al-Qur’an.[10]

F.     Contoh Penafsiran Tafsir Al Manar
Secara umum, terdapat masalah-masalah yang tidak kalah penting terkait seputar metode penafsiran atas Nash al-Qur’ân yang kemudian menjadi adat kebiasaan pada umumnya, yaitu masalah poligami.Al-Qurân secara jelas membolehkan untuk melakukan poligami dan al-Quran telah menetapkan hukum dengan membatasi hanya sampai empat isteri.
Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita wanita lain yang kamu senangi dua, tiga dan empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja atau budak yang kamu miliki”
Maksud ayat di atas menurut Muhammad Abduh adalah tentang perlakuan terhadap anak yatim. Sebagian wali laki-laki, yang bertanggung jawab mengelola kekayaan anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta si anak yatim, satu solusi yang dianjurkan untuk mencegah salah kelola adalah mengawini anak yatim itu. Pada satu sisi al Qur’ân membatasi jumlahnya sampai empat, disisi lain tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi isteri akan sejajar dengan akses harta perempuan yatim melalui tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks perlakuan yang adil terhadap anak yatim.
Muhammad Abduh juga menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan ayat lain seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a dalam surat al-Nisa’: 127 yang artinya: “Dan kamu mempunyai keinginan untuk menikahi mereka (anak-anak yatim itu)” maksudnya adanya perasaan di hati untuk menikahi dengan bekal harta dan kecantikan, maka dilarang untuk menikah kecuali kalau niatnya betul-betul lurus dari hati.
Ibn Jarir berkata: Ayat diatas adalah larangan menikah lebih dari empat karena dikhawatirkan akan hilangnya harta anak yatim. Hal ini terjadi pada seseorang Quraisy yang mengawini perempuan lebih dari sepuluh maka habislah harta tadi yang digunakan untuk memberi nafkah bagi isteri-isteri yang lain, oleh sebab itu dilarang cara semacam ini.”
Abduh berkata: Ayat di atas menjelaskan tentang jumlah isteri dalam pembahasan anak yatim dan pelarangan memakan harta mereka. Seandainya kamu khawatir memakan harta mereka bila mengawininya maka Allah membolehkan nikah dengan perempuan lain sampai berjumlah empat, tetapi bila tidak sanggup untuk berlaku adil maka satu saja.”
Izin yang diberikan dalam ayat tersebut mengenai poligami dibatasi dengan persyaratan, yaitu apabila sang suami itu memiliki akhlak yang baik, dan secara ekonomis dia mampu untuk memberi nafkah kepada dua isteri atau lebih secara adil dalam setiap kondisi, serta mampu menghindarkan dari perilaku yang yang dapat menyulut perpecahanantara kedua isteri tersebut.[11]


BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Al Manarmerupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.Metode yang digunakan dalam penulisan kitab Tafsīr al-Manār adalah metode tahlili atau yang sering dikenal dengan metode analisis. Hal tersebut dapat dilihat dari penafsiran suatu ayat dengan menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat tersebut. Dalam memahami dan menjelaskan suatu ayat, beliau menggunakan kerasionalitasannya dan memperhatikan beberapa kitab tafsir terdahulu untuk dijadikan sebagai bahan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat. Tafsir ini menggunakan pendekatan adabi ijtima’i atau tafsir yang berorientasi pada sastra, budaya, dan kemasyarakatan. Dalam penafsirannya, M Abduh berpatokan dalam dua landasan: riwayat shahihdannalar/rasional. Melihat hal ini, berarti M Abduh menggunakan bi al-Matsūr dan bi al-Rayi. Ia memadukan keduanya.
Ada beberapa kelebihan didalam tafsir al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yaitu :
1.    Dalam menafsirkan sesuai dengan pemahaman  akal secara luas
2.    Orang awam maupun intelektual mudah memahami penafsiranya
3.    Dalam menafsirkan ayat yang sekiranya aneh, dijelaskan dengan teori-teori ilmiah dan mudah dipahami oleh orang awam
4.    Penafsiranya menyesuaikan kehidupan masa kini
Adapun kekurangan kekurangan didalam tafsir al-Manar adalah Rasyid Ridha terlalu memperluas jangkauan penafsiran ilmiyah, sehingga terkadang dirasakan adanya usaha untuk membenar-benarkan suatu teori ilmiyah sekaipun yang belum mapan, dengan ayat-ayat al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA
https://ridhabasri.wordpress.com/2016/08/18/studi-kitab-tafsir-al-manar-karya-muhammad-abduh-dan-muhammad-rasyid-ridha/


[1]Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith, (Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), hlm. 302, diakses dari http://hamidahikmah.blogspot.com/2016/02/bahtsul-kutub-tafsir-al-manar.html
[2]Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufassir Al-Qur’an Dari Klasik Hinga Kontemporer, (Yogyakarta:Kaukaba, 2013), hlm.121, diakses dari http://hamidahikmah.blogspot.com/2016/02/bahtsul-kutub-tafsir-al-manar.html

[3]Abdul Qādir Muhammad Ṣhalih, Al-Tafsīr Wa Al-Mufassirūn Fī Al-‘Asr Al-Ḥadith, (Beirut:Dār al-Ma’rifah,2003), hlm. 303, diakses dari http://hamidahikmah.blogspot.com/2016/02/bahtsul-kutub-tafsir-al-manar.html

[4]Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manār, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hlm.64, diakses dari http://hamidahikmah.blogspot.com/2016/02/bahtsul-kutub-tafsir-al-manar.html

[5] https://ridhabasri.wordpress.com/2016/08/18/studi-kitab-tafsir-al-manar-karya-muhammad-abduh-dan-muhammad-rasyid-ridha/
[6]Ahmad Asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firsaus, 1985), hlm. 161, diakses dari https://ilmu-ushuluddin.blogspot.com/2016/12/metodologi-penulisan-tafsir-al-manar.html
[7]Muhammad Bahjah bin Bahā‟u al-Dīn Al Bayṭār „Alāmah, lahir tahun 1311 H di Damaskus dalam keluarga yang mulia dan berilmu, berasal dari Aljazair. Pernah belajar di beberapa sekolah. Belajar bahasa Arab di Fakultas Adab di Universitas Suriah. Pernah menjadi anggota organisasi bahasa Arab Damaskus dan Baghdad.
Beliau memiliki beberapa karya intelektual. Wafat tahun 1396 H (lihat Itmām Al A‟lām, hlm. 224)
[8]Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm...70-92
[9]Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar...Hlm. 93-108, diakses dari https://aatshoem.blogspot.com/2014/01/mengenal-tafsir-al-quran-modern-al.html
[10]https://aatshoem.blogspot.com/2014/01/mengenal-tafsir-al-quran-modern-al.html
[11]Kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html




Post a Comment for "Tentang Tafsir Al-Manar"