Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH TAFSIR MODERN TAFSIR AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM

MAKALAH TAFSIR MODERN
TAFSIR AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM


Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas individu pada semester V
Dosen Pembimbing : Ali Mahfudz, Lc., M.S.I
Disusun Oleh : Luthfi Rosyadi
NIM : 1631037

ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR / V
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2018


بِسْمِ الله ِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, rabbul ‘alamin. Dzat yang memiliki sifat dzal jalali wal ikram, yang mana telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini, yang berjudul “Makalah Tafsir Modern : Tafsir Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur`an Al-Karim”.
Shalawat serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada sang pembawa kedamaian, pembebas perbudakan, beliau Baginda Agung Nabi Muhammad SAW. Semoga kita bisa berkumpul dengan Beliau di yaumul akhir, amin
Penulis ucapkan terimakasih, kepada Bapak Ali Mahfudz, Lc., M.S.I, khususnya yang telah membimbing dalam pembuatan makalah, dan kepada semua teman-teman saya pada umumnya, yang telah membantu terselesaikannya makalah ini. Jaza kumulloh khoiro jaza.
Di penghujung kata pengatar ini, penulis mengharapkan kepada para pembaca sekalian, agar memberikan kritik dan saran yang mampu meningkatkan kualitas makalah-makalah yang akan tercetak pada waktu yang akan datang.
Sekian,
Wassalamu’ailikum, warahmatullahi wabarakatuh.
Kebumen, 22 Oktober 2018


Penulis
Al-Qur’an yang notabenenya menjelaskan segala hal, secara tersurat maupun tersirat telah banyak menyinggung fenomema alam (dhawahir al-‘alam), Dan itu jauh masanya sebelum manusia diera ini mengenal dan mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang sains (science). Sebagai contoh ayat yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Nabi Ibrahim dalam mencari Tuhan, pertama ia melihat bintang di malam hari, lalu melihat bulan dan kemudian melihat matahari, Allah SWT. memperlihatkan fenomena alam tersebut kepada Nabi Ibrahim tidak lain hanya agar supaya ia mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah SWT atas segala sesuatu.
Sebagaimana Al-Qur’an telah banyak menyinggung tentang alam semesta, tafsir Al-Qur’an juga mengalami kemajuan dan perkembangan corak ragamnya, tidak seperti periode awal, di era kontemporer makin corak tafsir ‘ilmi yang salah satunya adalah mengenai al-ilm al-thabi’iyah atau ilmu sains. Thanthawi Jauhari merupakan salah satu ilmuan kontemporer yang melakukan terobosan penafsiran jenis ‘ilmi, ia menulis kitab tafsir yang diberi judul Al-Jawahir yang banyak mengupas tentang sains dan ilmu pengetahuan. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
1. Bagaimanakah biografi Thanthawi Jauhari ?
2. bagaimanakah latar belakang dikarangnya Tafsir Al-Jawahir ?
3. bagaimanakah metode dalam Tafsir Al-Jawahir ?
1. Mengetahui biografi Thanthawi Jauhari.
2. Mengetahui laar belakang dikarangnya Tafsir Al-Jauhari.
3. Mengetahui metode dalam Tafsir Al-Jawahir.


Tanthawi bin Jawhari al-Mishriy lahir pada 1287 H/1862 M di desa 'Iwadillah, di provinsi administratif Mesir Timur, dan beliau wafat pada tahun 1358 H/ 1940 M.
Sejak kecil, Thanthawi dikenal sebagai anak yang rajin dan sangat mencintai agamanya. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun demikian, keadaan ini tidak menyurutkan semangat belajarnya untuk menuntut ilmu. Dia memulai giat belajar di al-Ghar, meskipun harus sambil membantu orang tuanya yang berprofesi sebagai betani. Ia juaga belajar kepada orang tuanya sendiri dan pamannya, Syaikh Muhammad Syalabi. Selain itu ia juga belajar disekolah ditempat ia dilahirkan.
Meskipun orang tuanya sebagai seoarang petani, akan tetapi ia adalah seorang tokoh agama di daerahnya yang sangat memperhatikan pendidikan anaknya. Dia sangat mendorong anaknya untuk menjadi oarang yang terpelajar dan terdidik. Oleh karena itu,ia menyuruh agar Thanthawi melanjutkan studinya di Al-Azhar Kairo.

Di universitas Al-Azhar, ia bertemu dengan banyak tokoh pembaharu terkemuka di Mesir pada saat itu. Diantara tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadiannya adalah Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikirannya dengan Muhammad Abduh memercikkan pengaruh besar Thanthawi Al-Jauhari pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.

Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim adalah bentuk dari kepedulian dan kecintaannya terhadap Al-Qur’an. Dengan kemampuannya ia berusaha menafsirkan Al-Qur’an yang bercorak ilmu pengetahuan yang memang sangat dibutuhkan oleh umat Islam saat ini.

Setelah berhasil menyelesaikan studinya di Al-Azhar, kemudian Thanthawi melanjutkan studinya di Dar Al-‘Ulum dan menamatkannya pada tahun 1311 H./1893 M. Atas bimbingan Muhammad Abduh, yang telah membuka cakrawala pemikirannya yang demikian luas ketika belajar di Al-Azhar.
Setelah studinya selesai, Thanthawi memulai kiprahnya sebagai pendidik. Pada mulanya, menjadi guru madrasah ibtida’iyah dan tsanawiyyah, selanjutnya ia memberi kuliah di Universitas Dar al-‘Ulum. Pada tahun 1912, ia diangkat sebagai dosen di al-Jami’ah al-Mishriyyah dalam mata kuliah filsafat islam. Bahkan ia aktif menulis dalam rangka memberikan semangat terhadap gerakan kebangkitan dan 
kehidupan umat, dan tulisannya dimuat di koran al-Liwa.

Sebagai seoarang cendikiawan, Thanthawi selalu aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, baik melalui buku-buku maupun melalui majalah dan surat kabar. Di samping itu, ia selalu aktif menghadiri pertemuan ilmiah dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan yang lebih menarik perhatiannya adalah ilmu tafsir. Ia juga tertarik pada ilmu fisika, ilmu yang dipandangnya dapat menjadi penangkal kesalahpahaman orang menuduh bahwa islam menentang ilmu dan tekhnologi modern.

Karena kegemaran dua disiplin ilmu yang saling dipadukan, dan disertai penguasaan ilmu tafsir dan ilmu-ilmu pengetahuan ini, akhirnya lahirlah pemikiran tafsirnya dengan argumentasi-argumentasi ilmiah yang cukup menggemparkan Mesir pada saat itu.[1]

Pada tahun 1922, Syaikh Thanthawi telah berhenti mengajar dan memasuki masa pensiun. Namun semangat yang masih begitu tinggi menggerakannya untuk menulis tafsirnya yang berjudul al-Jawahir. Beliau mulai mengerjakannya dari tahun 1922, dan berakhir pada tahun 1935, yakni kurang lebih selama tiga belas tahun. Jadilah sebuah kitab tafsir al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim tapi sebelumnya, tafsir ini merupakan kumpulan artikel yang dimuat di beberapa media dengan nama kolom al-Taj al-Murassha’ bi Jawahir Al-Qur’an wa al-Ulum (mahkota dengan untaian mutiara Al-Qur’an dan pengetahuan).

Thanthawi mashur karena kegigihannya dalam gerakan perubahan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetehuan. Oleh karena itu, beliau dijuluki “Mufassir Ilmu” lantara ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.

Dalam Muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dahulu beliau sering menyaksikan keajaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang bergerak, kilat yang menyambar seperti listrik yang membakar, barang tambang yang elok, tumbuhan yang merambat, burung yang beterbangan, binatang buas yang berjalan, binatang ternak yang digiring, hewan-hewan yang berlarian, mutiara yang berkilauan, ombak laut yang menggulung, sinar yang menembus udara, malam yang gelap, matahari yang bersinar, dan lain sebagainya.

Selanjutnya ia mengatakan: “Ketika aku berfikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir dan sebagian ulama-ulama besar tentang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilalaikan dan dilupakan. Sebab sedikit sekali diantara para ulama yang memikirkan tentang kejadian alam dan keajaiban-keajaiban yang melingkupinya”.

Itulah yang mendorong Thanthawi al-Jauhari menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran islam dengan kemajuan sosial ilmu alam. Selanjutnya Thanthawi menyatakan bahwa: “...didalam karangan-karangan tersebut aku memasukkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan keajaiban-keajaiban alam semesta, dan aku menjadikan wahyu ilahiyah itu sesuai dengan keajaiban-keajaiban penciptaan, hukum alam, munculnya bumi disebabkan cahaya Tuhan-Nya. Maka aku meminta petunjuk (tawajjuh) kepada Tuhan yang Maha Agung agar memberikan taufik dan hidayah-Nyasehingga aku dapat menafsirkan Al-Qur’an dan menjadikan segala disiplin ilmu sebagai bagian dari penafsiran serta penyempurnaan wahyu Al-Qur’an”.[2]

Adapun referensi yang digunakan dalam Tafsir al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim, di antaranya:
1. مفاتيح الغيب لفخر الدين الرازي
2. انوار التنزيل للبيضاوي
3. غريب القران للنيسابوري
4. الاتفاق للسيوطي
5. الكشاف للزمخشري

Kitab tafsir al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an al-Karim yang terdiri dari 25 juz tersebut lebih banyak menyoroti tentang ayat-ayat Kauniyah yang identik dengan kajian keilmuan dan sains. Maka oleh para mufassir kitab ini digolongkan sebagai kitab tafsir yang lebih cenderung membahas ayat-ayat Al-Qur’an dari segi ilmu pengetahuan dan dalam penafsirannya beliau menggunakan teori-teori ilmiah.
Menurut Syaikh Thanthawi Jauhari ayat-ayat yang membahas masalah fiqih tidak lebih dari 150 ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat 750 ayat. Tanpa menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam dan mufassir berlomba-lomba menyusun kitab tafsir fiqih dibanding menyusun tafsir ilmi.
Sebagaimana yang ia katakan dalam muqaddimah tafsirnya: “Banyak orang yang terpaku dengan lafadz-lafadz ayat, banyak menghafal namun miskin berfikir. Akhirnya kreatifitas menjadi terhambat dan ilmu-ilmupun menjadi mati, sehingga ilmu lari ke barat, dan pihak timur (Islam) kehilangan dasar dari atasnya secara cepat. Para ulama pasca kami harus memikirkan pada apa yang kami ketengahkan dengan cerdas. Mereka juga seharusnya mengkaji Al-Qur’an dengan metode seperti yang telah kami jelaskan, hendaknya pandangan mereka menjadi terbuka”.

Kitab tafsirnya ini pertama kali dicetak di Kairo dengan penerbit Mu’sasah Musthafa al-Babi al-Halabi pada 1350 H/ 1929 M. Kemudian selanjutnya dicetak di Beirut, Dar al-Fikr pada 1395 H/ 1974 M.
Kitab al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur’ân al-Karîm ini terdiri dari 25 jilid yang dia tulis ketika berumur 60 tahun. Kitab tafsir ini memiliki metode pembahasan yang amat berbeda dari kitab-kitab tafsir lainnya.
Dalam menafsirkan, Syaikh Thanthawi mulanya menyebutkan nama surat, mengklasifikasikan Makki-Madani, menyebutkan ringkas pembahasan surat (mulakhkhash), mengelompokkan pembahsan ayat kedalam beberapa kelompok (āqsam), menyebutkan tujuan umum surat (al-maqshad) tiap qism, menyebutkan munasabah dengan surat sebelumnya, kemudian memaparkan al-Maqshad al-Awwal yang dibagi menjadi beberapa fashl yang mengandung beberapa lathā’if (penjelasan pembahasan perspektif ilmu modern) diselingi terlebih dahulu dengan tafsir perkata (tafsir lafzhi) dan terkadang diselipkan tadzkirah, hidayah dan tanya jawab.

Ali Iyazi menulis bahwa cara Syaikh Thanthawi menafsirkan adalah dengan mengambil sekelompok ayat, dan setelah menjelaskannya secara perkata, dilanjutkan dengan penjelasan dan uraian yang panjang tentang penemuan-penemuan ilmiah yang sering disebutnya dengan istilah lathā’if atau jawāhir.[3] Penjelasannya mungkin seringkali terlalu panjang dengan mengutip pendapat-pendapat ilmuan barat dan timur. Tujuannya tidak lain untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskannya lebih dulu dari ilmuwan-ilmuwan modern itu. Di tengah pembahasan sering juga dicantumkan gambar-gambar hewan, tumbuhan, panaroma alam, eksperimen ilmiah, tabel-tabel ukuran, sebagai alat bantu menjelaskan apa yang disebutkannya.

Syaikh Thanthawi juga menerapkan pendekatan (teori-teori) ilmiah modern untuk memahami Al-Qur’an. Beliau juga berusaha menggali teori dari Al-Qur’an. Dengan demikian, tafsir ini banyak mencampur-adukkan pengetahuan-pengetahuan kuno dan modern, disertai konsiliasi antara hasil penemuan modern dan pemikiran-pemikiran keagamaan.[4]

Husain ad-Dzahabi menjelaskan bahwa pada tafsir ini terdapat kutipan Injil Barnabas untuk menguatkan suatu pendapat, ide-ide Plato dalam buku Republiknya, dan penemuan kelompok Ikhwan Shafa yang tertulis dalam Rasā’il mereka.[5] Dalam persoalan kalam (keyakinan), Syaikh Thanthawi tetap konsisten dengan mendaku pendekatan ilmiah, dengan mengutip pendapat ilmuan barat, yang sebelumnya didahului dengan penjelasan kebahasaan terhadap ayat yang akan ditafsirkan.
Sedangkan hukum-hukum fiqih tidak mendapatkan perhatian layaknya penjelasan ayat-ayat kauniyah. Penjelasannya ringkas, dengan lebih banyak mengungkap rahasia ilmiah, hikmah-hikmah, dan rahasia hukum fiqih, tentu dengan pendekatan yang saintifik.[6]

Adapun mengenai corak penafsirannya, hampir semua tokoh sepakat memasukkan tafsirnya ini sebagai tafsir ilmi. Karena di dalam tafsir ini nampak pembahasan-pembahasan dengan menggunakan teori-teori ilmu pengetahuan dan hasil eksperimen ilmiah untuk menjelaskan ayat dalam Al-Qur’an. Bahkan Thantawy di dalam tafsirnya melengkapinya dengan gambar.

Dengan corak yang seperti ini, Syaikh Thantawy mendapat kecaman dari para ahli tafsir. Berikut pernyataan Manna’ Khalil al-Qathan dalam kitabnya : “Pengarang tafsir tersebut (Thantawy Jauhari) telah mencampur-adukkan kesalahan di dalam kitabnya. Ia memasukkan ke dalamnya gambar tumbuh-tumbuhan, binatang, pemandangan alam, dan berbagai eksperimen ilmu pengetahuan. Seakan-akan, buku ini adalah sebuah diktat tentang ilmu pengetahuan. Ia menerangkan hakekat-hakekat keagamaan dengan apa yang ditulis Plato dalam Republica-nya dan kelompok Ikhwan al-Shafa dalam risalah mereka, memaparkan ilmu pasti dan ilmu modern. Dalam pandangan kami, Thantawy Jauhari telah melakukan kesalahan besar terhadap tafsir dengan perbuatannya itu. Ia mengira dirinya telah berbuat baik, padahal tafsirnya tidak diterima oleh banyak terpelajar karena mengandung pemaksaan dalam membawakan ayat kepada apa yang bukan maknanya. Oleh karena itu, Tafsir ini mendapat predikat yang sama dengan yang diperoleh Tafsir al-Razi. Maka terhadapnya dikatakan, di dalamnya terdapat segala sesuatu keculi tafsir.”[7]

Yang perlu digarisbawahi adalah Al-Qur’an bukanlah suatu kitab ilmiah sebagaimana halnya kitab-kitab ilmiah yang dikenal selama ini. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk bagi kebahagiaan dunia dan akhirat. Maka tidak heran jika di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tersirat dan tersurat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

Namun yang harus ditegaskan adalah bahwa Thantawy Jauhari dengan perbedaannya dalam metodologi dan tendesinya, sesungguhnya dia telah menunjukkan niatan baik dalam mengambil pandangannya tersebut.

Tafsir ini memiliki ciri khas. Pertama, banyaknya penjelasan tentang ilmu pengetahuan alam, yang seringkali lebih banyak daripada penjelasan terhadap ayat yang ditafsirkan. Hal ini ditemukan mulai dari halaman depan hingga surat terakhir yang ditafsirkan. Sebagian orang mencibir dengan mengatakan, tafsir ini tak bedanya seperti ensiklopedia ilmu pengetahuan alam dan tidak layak di sebut sebagai tafsir. Meminjam bahasa al-Syuyuthi “fihi kullu Sya’i illā at-Tafsir” (didalamnya terdapat segala sesuatu kecuali tafsir).

Kedua, Syaikh Thanthawi menafsirkan secara tuntas dari awal hingga akhir Al-Qur’an (Tahlili), sekalipun sebenarnya sudah banyak buku-buku sejenis yang yang menggunakan pendekatan semacam ini dalam menafsirkan Al-Qur’an. Menggunakan metode Tahlili menjadikan tafsir ini berbeda karena diutuhkan usaha berat untuk malakukannya.

Ketiga, ajakan untuk bangkit dari ketertinggalan, terutama dalam ilmu pengetahuan. Syaikh Thanthawi mengatakan, “Dan ketahuilah wahai orang yang cerdas! Kitab tafsir ini merupakan (ilmu yang datang seperti) tiupan angin dari Tuhan, isyarat suci, dan kabar gembila simbolik. Aku diperintahkan melalui ilham, aku menyakini bahwa ia mempunyai nilai yang akan diakui oleh seluruh dunia, dan akan menjadi faktor terpenting yang akan membangkitkan orang-orang yang lemah. Menjadikannya sebagai petunjuk bagi umat (manusia), menghilangkan penutup dari mata hati orang awam (kaum muslimin), sehingga memahami ilmu-ilmu alam, aku berharap kepada Allah SWT menguatkan bangsa (Arab-Mesir) dengan agama ini, berkembangnya kaum muslimin sesuai dengan pola fikir tafsir ini, dan semoga mereka membacanya di Timur maupun di Barat, disertai dengan penerimaan terhadapnya. Semoga banyak pemuda mu’min yang bertambah senang keajaiban alam dan keindahan bumi. Semoga Allah meninggikan kemajuan mereka. Semoga kitab ini dapat menjadi pendorong untuk mempelajari alam, dan mengalahkan orang-orang Perancis dalam teknik pertanian, kedokteran, pertambangan, hitungan, astronomi, dan lainnya”.[8]

Keempat, menjawab tantangan modernitas terkait ilmu pengetahuan yang berkembang begitu cepat, dengan menyuguhkan keyakinan bahwa Al-Qur’an tetap relevan untuk dijadikan pedoman hidup dengan isyarat-isyarat ilmiah yang dikandungnya. Al-Qur’an telah menyebutkannya 14 abad sebelum para saintis itu mengemukakannya. Jauh sebelum manusia berfikir ke arah sana. Tentu saja hal ini dapat meningkatkan pamor Al-Qur’an dihadapan sebagian pengikutnya.


Biarpun tafsirnya bercorak ilmi, Syiakh Thanthawi tetap menggunakan riwayat atau hadits nabi, karena tafsir bi al-Ma’tsur merupakan sebuah keharusan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal ini karena ayat-ayat yang ditafsirkan oleh ayat lain dan hadits-hadits shahih tidak diragukan lagi bahkan harus diterima karena tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dianggap berasal dari Allah yang mengetahui kandungan sebenarnya dari ayat tersebut. Sementara tafsir ayat dengan hadits shahih pun harus diterima karena apa yang disabdakan Nabi juga merupakan wahyu dari Allah.

Nabi Muhammad SAW tidak menafsirkan seluruh ayat. Maka dari itu diperlukan penalaran (ijtihad) untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an. Oleh karena itu, Syaikh Thanthawi dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an beliau menggunakan pendekatan ilmiah dengan memberikan uraian yang panjang tentang penemuan-penemuan ilmiah yang sering disebutnya dengan istilah lathā’if atau jawāhir dan mengutip pendapat-pendapat ilmuan barat dan timur. Tujuannya tidak lain untuk menunjukkan bahwa Al-Qur’an telah menjelaskannya lebih dulu dari ilmuwan-ilmuwan modern itu.
Contoh penafsiran Thanthawi al-Jauhari:
ظَهَرَ ٱلۡفَسَادُ فِي ٱلۡبَرِّ وَٱلۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ أَيۡدِي ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعۡضَ ٱلَّذِي عَمِلُواْ لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُونَ )٤١ [9](
Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Dengan ayat ini beliau mengaitkan penyakit-penyakit, tugas manusia sebagai khalifah dan kesabaran. Adapun dalam penafsirannya Thanthawi membagi kerusakan dalam dua bentuk yakni :

1. Kerusakan yang berasal dari manusia
Yang dimaksud dengan kerusakan yang berasal dari manusia yakni kerusakan-kerusakan akibat hawa nafsu manusia. Bagi Thanthawi manusia sebagai khalaifah di bumi seharusnya dapat bersikap adil terhadap sesamanya maupun terhadap makhluk lainnya, adil yang bagaimana yang dimaksud? Adil maksudnya seperti apabila manusia mengambil manfaat dari makhluk lainnya maka ia harus memberikan timbal balik sehingga terjadi keseimbangan antara keduanya. Kerena sesungguhnya antara manusia dan makhluk lain serta ala mini sama-sama saling membutuhkan. Jika keadilan tersebut sudah ddapat tercapai maka manusia baru dapat dikatakan berhasil dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.

2. Kerusakan yang berasal dari alam
Yakni hewan kecil seperti mikroba dan virus yang membawa penyakit. Oleh karena itulah, dalam penafsirannya ia menjelaskan mengenai penyakit. Menurut Thanthawi dalam menghadapi kerusakan-kerusakan alam yang semakin banyak terjadi, manusia harus bersabar, akan tetapi sabar yang bagaimana yang dimaksud? Sabar yang dimaksud adalah sabar yang berarti menahan hawa nafsu. Dan dengan bersabar berarti telah mencegah banyaknya kerusakan yang terjadi. Akan tetapi sabar tersebut juga harus diikuti dengan beberapa tindakan penanggulangan terhadap kerusakan-kerusakan yang terjadi. Jadi, begitu penting tugas manusia sebagai khalifah untuk selalu menjaga dan melestarikan alam dan bukan berarti memanfaatkan secara berlebihan atau mengeksploitasinya, yang berakibat semakin banyaknya kerusakan-kerusakan yang terjadi.



Dari pembahasan yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa Thanthawi al-Jauhari merupakan seorang cendikiawan, ia selalu aktif mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, baik melalui buku-buku maupun melalui majalah dan surat kabar. Di samping itu, ia selalu aktif menghadiri pertemuan ilmiah dalam berbagai bidang. Ilmu pengetahuan yang lebih menarik perhatiannya adalah ilmu tafsir. Ia juga tertarik pada ilmu fisika, ilmu yang dipandangnya dapat menjadi penagkal kesalah pahaman orang menuduh bahwa islam menentang ilmu dan tekhnologi modern.
Karena kegemaran dua disiplin ilmu yang saling dipadukan, dan disertai penguasaan ilmu tafsir dan ilmu-ilmu pengetahuan ini, akhirnya lahirlah pemikiran tafsirnya dengan argumentasi-argumentasi ilmiah yang cukup menggemparkan Mesir pada saat itu.


Ad-Dzahabi, H. al-Tafsir wa al-Mufassirun.
Agama, D. Al-Qur'an Al-Karim.
Ali, I. M. Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum.
al-Qattân, M. K. (2010). Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Jauhari, T. Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, Kairo: Mathba’ah al-Bab al-Halabi.
Shohibul Adib, d. (2001). Profil Para Mufassir Al-Qur’an dan Para Pengkajinya. Tangerang Selatan: Pustaka Dunia.
wandi. (2013, 01 18). Makalah Tafsir Al-Jawahir. Dipetik 10 19, 2018, dari rsonedy25: http://rsonedy25.blogspot.com/2013/01/makalah-tafsir-al-jawahir.html



[1] Shohibul Adib dkk, Profil Para Mufassir Al-Qur’an dan Para Pengkajinya, (Tangerang Selatan: Pustaka Dunia, 2001), h. 169.
[2] Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, (Kairo: Mathba’ah al-Bab al-Halabi, thn), juz 1, h. 2
[3] Iyazi Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum, h.429
[4] Muhammad Ali ‘Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa manhajuhum, Wizarat at-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, h. 432
[5] Husain ad-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun...,h. 172
[6] Muhammad Ali ‘Iyazi, al-Mufassirun Hayatuhum wa manhajuhum, Wizarat at-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Islami, h. 433
[7] Mannâ’ Khalîl al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2010), h. 511.
[8] Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir Al-Qur’an, (Kairo: Mathba’ah al-Bab al-Halabi, thn), juz 1, h. 4
[9] QS. Ar-Ruum ayat 41

Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR MODERN TAFSIR AL-JAWAHIR FI TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM"