Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH TENTANG WAHYU

WAHYU
Tujuan Makalah : Guna memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Al-qur’an dan Hadist
Dosen Pembimbing: Isti’anah, M.A

Disusun oleh:






Rohman Syah

KOMUNIKASI PENYIAR ISLAM
USHULUDDIN, SYARIAH, DAN DAKWAH
IAINU KEBUMEN
2017


Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan sedemikian rupa. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhamad SAW yang telah memberikan teladan kepada seluruh umatnya.

Makalah ini telah kami susun semaksimal mungkin, oleh karenanya kami ucapkan setulus-tulusnya kepada dosen kami Bu Isti’ anah, M.A yang telah membimbing kami, sehingga kami dapat membuat makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap, semoga kehadiran makalah ini bisa memberikan manfaat dan wawasan bagi pembaca, dan semoga ALLAH SWT selalu melimpahkan rahmat, taufik, hidayah-Nya kepada kita semua.


Kebumen, 4 Oktober 2017


Penulis



Turunnya islam serta penyampaian Al qur-an tidak lepas dari kuasanNya yang perlu kita imani, karena berhubungan dengan sesuatu yang kasap mata. Sesuatu yang kasap mata atau sesuatu yang ghaib tidak semudah untuk diyakini. Semua nabi menerima wahyu, terkhusus pembahasan makalah ini adalah wahyu yang turun kepada Nabi Muhamad SAW.
Dari turunnya wahyu inilah menjadikan islam semakin luas, baik dari segi wilayah, pengikutnya, maupun pengetahuaannya. Dari wahyu itulah membuahkan ilmu yang belum kita ketahui dan perlu banyak kita pelajari.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian dari wahyu, cara wahyu ALLAH turun kepada malaikat, penyampaian wahyu oleh malaikat kepada rosul, dan syubhat para penentang wahyu.




Dikatakan; wahaitu illahi dan auhaitu. Kalimat ini digunakan jika tidak ingin orang mendengarnya. Wahyu mengandungan makna isyarat yang cepat. Itu terjadi biasanya melalui pembicaraan yang berupa simbol, terkadang melalui suara semata, dan terkadang melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-Wahy (wahyu) adalah kata masdar (infinitif). Dia menunjukan pada dua pengertian dasar, yaitu; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, dikatakan, “Wahyu ialah informasi secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang tertentu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian dasarnya (maasdar). Tetapi juga terkadang bermaksud al- muha,yaitu pengertian isim maf’ul, maknanya yang diwahyukan. Secara etimologi (kebahasaan) Pengertian wahyu meliputi:

1. Ilham al fithri li al insan (ilham yang menjadi fitrah manusia). Seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa,
وَأَوۡحَيۡنَآ إِلَىٰٓ أُمِّ مُوسَىٰٓ أَنۡ أَرۡضِعِيهِۖ َ ٧
"Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah dia..” (Al Qashas: 7)

2. Ilham yang berupa naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah,
وَأَوۡحَىٰ رَبُّكَ إِلَى ٱلنَّحۡلِ أَنِ ٱتَّخِذِي مِنَ ٱلۡجِبَالِ بُيُوتٗا وَمِنَ ٱلشَّجَرِ وَمِمَّا يَعۡرِشُونَ ٦٨
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". (An-Nahl: 68)

3. Isyarat yang cepat melalui isyarat, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Al-Qur’an,
فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوۡمِهِۦ مِنَ ٱلۡمِحۡرَابِ فَأَوۡحَىٰٓ إِلَيۡهِمۡ أَن سَبِّحُواْ بُكۡرَةٗ وَعَشِيّٗا ١١
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”. (Maryam: 11)

4. Bisikan setan untuk menghias yang buruk agar tampak indah dalam diri manusia.
وَلَا تَأۡكُلُواْ مِمَّا لَمۡ يُذۡكَرِ ٱسۡمُ ٱللَّهِ عَلَيۡهِ وَإِنَّهُۥ لَفِسۡقٞۗ وَإِنَّ ٱلشَّيَٰطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰٓ أَوۡلِيَآئِهِمۡ لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ وَإِنۡ أَطَعۡتُمُوهُمۡ إِنَّكُمۡ لَمُشۡرِكُونَ ١٢١
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al-An’am: 121)

5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikat-Nya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
إِذۡ يُوحِي رَبُّكَ إِلَى ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ أَنِّي مَعَكُمۡ فَثَبِّتُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْۚ سَأُلۡقِي فِي قُلُوبِ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ ٱلرُّعۡبَ فَٱضۡرِبُواْ فَوۡقَ ٱلۡأَعۡنَاقِ وَٱضۡرِبُواْ مِنۡهُمۡ كُلَّ بَنَانٖ ١٢
“(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka”. (Al-Anfal: 12)

Sedangkan wahyu Allah kepada para nabi-Nya, secara syariat mereka definisikan sebagai “Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi”. Definisi ini menggunakan pengertian maf’ul, yaitu al-muha (yang diwahyukan). Ustadz Muhamad Abduh mendefinisakan wahyu di dalam Risalah At-Tauhid sebagai “pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan suatu keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah, baik melalui perantara ataupun tidak.Yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau bahkan tanpa melalui suara. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini oleh jiwa yang mendorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa sadar dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaan lapar, haus, sedih, dan senang”.[1]
Definisi di atas adalah defini wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf. Tetapi pembedaannya dengan ilham di akhir definisi tadi menafikan kemiripan ini.


1. Dalam Al-Qur’an Al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada malaikat-Nya,
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا ٣٠
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya”. ( Al-Baqarah: 30)
Juga tentang wahyu Allah kepada mereka, “Ingatlah ketika Tuhanmu mewahyukan kepada malaikat; Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan pendirian orang-orang yang beriman”. (Al-Anfal: 12)

Ada juga nash tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya, “Demi malaikat-malaikat yang membagi-bagi urusan.” (Adz-Dzariyat: 4); “Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.” (An Nazi’at: 5)

Ayat-ayat di atas dengan tegas menunjukan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadist dari Nuwas bin Sam’an ra. yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan. Dia berbicara melalui wahyu, maka langit pun bergetar dengan getaran atau dia menyatakan dengan goncangan yang dahsyat karena takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Ketika penghuni langit mendengarnya, maka pingsan dna jatuh. Lalu bersujudlah kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat kepalanya di antara mereka itu adalah Jibril, lalu Allah menyampaikan wahyunya kepada Jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian Jibril melintasi berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, para malaikatnya bertanya pada Jibril: “Apakah yang telah difirmankan Tuhan kita, wahai Jibril?” Jibil menjawab: “Dia mengatakan yang hak dan Dialah yang Mahatinggi lagi Mahabesar.” Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah Azza wa Jalla”.[2]

Hadist ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, yang didengar oleh para malaikat. Pengaruh wahyu itu sangat dahsyat. Pada zhahirnya di dalam perjalanan Jibril untuk menyampaikan wahyu, hadist di atas menunjukan turunnya wahyu khusus mengenai Al-Qur’an, akan tetapi hadist tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok persoalan itu terdapat di dalam hadist shahih, “Apabila Allah memutuskan suatu perkara dilangit, maka para malaikat mengepak-ngepakan sayapnya karena pengaruh firman-Nya, bagaikan mata rantai yang licin.”

2. Jelas bahwa Al-Qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah, “Bahkan ia adalah Al-Qur’an yang mulia yang tersimpan di lauhul mahfuzh.” (Al-Buruj: 21-22)
Demikian juga, Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke Baitul ‘Izzah yang berada dilangit dunia pada malam lailatul qadar di bulan Ramadhan, “sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qur’an pada lailatul qadar,”(Al-Qadar: 1); “Sesungguhnya kami menurunkannya Al-Qu’an pada suatu malam yang diberkahi.” (Ad-Dukhan: 3) “Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (Al-Baqarah: 185)

Di dalam Sunnah terdapat hal yang menjelaskan turunnya Al-Qur’an yang menunjukan bahwa nuzul itu bukan turun ke dalam hati Rasulullah SAW.
Dari Ibnu Abbas dengan hadist mauquf, “Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langut dunia pada Lailatul qadar. Setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibnu Abbas membaca ayat,”Tidakah orang-orang kafir datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan kamu datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.” (Al-Furqon: 33) “Dan Al-Qur’an itu telah kami turunkan berangsur-angsur agar kamu membacanya secara perlahan-lahan kepada [3]manusia dan kami menurunkannya bagian demi bagian (Al-Isra: 106)
Dalam suatu riwayat disebutkan, “Telah dipisahkan Al-Qur’an dan Adz-Dzikr, lalu diletakan di baitul ‘izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi SAW.”[4]

Oleh sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Al-Qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
a. Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafazhnya yang khusus.
b. Jibril mengahafalnya dari Lauh Al-Mahfuzh.
c. Maknanya disampaikan keada Jibril, sedang lafazhnya dari Jibril, atau Nabi Muhamad SAW
Pendapat pertama yang benar. Pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, serta diperkuat oleh hadist Nuwas bin Sam’an di atas.

Penyandaran Al-Qur’an kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat,
وَإِنَّكَ لَتُلَقَّى ٱلۡقُرۡءَانَ مِن لَّدُنۡ حَكِيمٍ عَلِيمٍ ٦
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quran dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (An-Naml:6)
“Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Taubah: 6)
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku...” ( Yunus: 15)
Al-Qur’an adalah kalam Allah dan lafazhnya, bukan dari Jibril atau Nabi Muhamad SAW.
Adapun pendapat kedua, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Al-Qur’an di Lauhul mahfuzh itu seperti hal-hal gaib lain, termasuk Al-Qur’an.

Sedangkan, pendapat ketiga hampir seperti makna sunnah. Sebab, sunnah itu wahyu dari Allah kepada Jibril, kemudian kepada Nabi Muhammad SAW secara makna. Lalu beliau mengungkapkan dengan redaksi beliau sendiri, “Dia (Muhammad) tidaklah berbicara mengikuti kemauan hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An-Najm:3-4)

Karena diperbolehkan meriwayatkan hadist menurut maknanya, sedangkan Al-Qur’an tidak.
Di antara keistimewaan Al-Qur’an adalah:
1) Al-Qur’an adalah mukjizat
2) Kebenarannya mutlak
3) Membacanya termasuk ibadah
4) Wajib disampaikan dengan lafazhnya. Sedang hadits qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat lafazhnya juga diturunkan.

Hadist nabawi ada dua macam. Pertama; Sebagai ijtihad RasulullahSAW. Ini bukan wahyu. Adanya pengakuan wahyu dengan cara membiarkannya terhadap ijtihadnya, apabila ijtihad itu benar. Kedua; Maknanya saja yamg diwahyukan, sedangkan lafazhnya dari Rasulullah sendiri. Oleh seebab itu, ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja.Hadist qudsi itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafazhnya tidak. Ia termasuk ke dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbahkan hadist qudsi keada Allah dalam periwayatkannya karena ada nash tentang itu, adapun hadist nabawi tidak

Wahyu Allah kepada para Nabi-Nya ada kalanya tanpa perantara, misalnya mimpi yang benar diwaktu tidur dan kalam Illahi dari balik tabir dalam keadaan jaga yang didasari dan ada kalanya melalui perantara malaikatwahyu.

Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rosul:
Pertama; Datangnya dengan suatu suara seperti suara lonceng, yaitu suara yang amat kuat yang dapat mempengaruhi keadaan, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. ini adalah yang paling berat bagi Rasul. Apabila wahyu yang turun kepada Rasulullah dengan cara ini, biasanya beliau mengumpulkan segala kekuatan dan kesadarannya untuk menerima,menghafal dan memahaminya. Terkadang suara itu seperti kepak sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan dalam hadist,
“Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul- mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.” (HR. Al-Bukhari)

Dan mungkin suara malaikat itu sendiri pada waktu Rasul baru mendengarnya untuk pertama kalinya.
Kedua; Malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki, cara seperti ini lebih ringan daripada cara sebelumnya, karena ada kesesuaian antara pembicara dengan pendengar. Beliau mendengarkan apa yang disampaikan pembawa wahyu itu dengan senang, dan merasa tenang seperti seseorang yang sedang berhadapan dengan saudaranya sendiri.

Keadaan Jibril menampakan diri seperti laki-laki itu tidaklah harus ia melepaskan sifat keruhaniannya. Dan tidak pula berarti dzatnya berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia menampakan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah sebagai manusia. Yang pasti, keadaan pertama tatkala wahyu turun seperti suara lonceng yang dahsyat tidak membuatnta tenang, karena yang demikian menuntut ketinggian spiritual Rasulullah yang seimbang dengan dzat malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibnu Khaldun, “Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang bersifat ruhani. Sedangkan sebaliknya, malaikat berubah dari ruhani semata menjadi manusia jasmani.”
Keduanya itu tersebut dalam hadist yang diriwayatkan Aisyah bahwa Al-Harist bin Hisyam bertanya kepada Rasulullah mengenai hal itu. Nabi menjawab, “kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang telah dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma keadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan aku memahami apa yang dikatakan.”

Al-Harist berkata, “Aku pernah melihat tatkala wahyu sedang turun kepada beliau suatu hari yang amat dingin. Lalu malaikat itu pergi, keringat mengucur dari dahi Rasulullah.”[5]
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan Illahi yang diisyaratkan di dalam ayat,
۞وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَن يُكَلِّمَهُ ٱللَّهُ إِلَّا وَحۡيًا أَوۡ مِن وَرَآيِٕ حِجَابٍ أَوۡ يُرۡسِلَ رَسُولٗا فَيُوحِيَ بِإِذۡنِهِۦ مَا يَشَآءُۚ إِنَّهُۥ عَلِيٌّ حَكِيمٞ ٥١
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.” (Asy-Syura:51)

Tentang hembusan ke dalam hati, telah disebutkan di dalam hadist Rasulullah SAW, “Ruh kudus telah menghembuskan ke dalam hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rejeki dan ajalnya. Maka bertakwalah kepada Allah, dan carilah rejeki dengan jalan yang baik.”[6]
Hadist ini tidak menunjukan turunnya wahyu secara sendiri. Hal itu mungkin dapat dikembalikan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut di dalam hadist Aisyah. Mungkin malaikat datang kepada beliau dalam keadaan yang menyerupai suara lonceng, lalu dihembuskan wahyu kepadanya. Bisa jadi wahyu yang melalui hembusan itu adalah wahyu selain Al-Qur’an.

Orang-orang jahiliyah baik yang klasik atau modern selalu berusaha menimbulkan keraguan (syubhat) terhadap wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Tetapi syubhat itu lemah dan tidak dapat diterima.

1. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an bukan wahyu, tetapi dari pribadi Nabi Muhamad. Dialah yang menciptakan maknanya, dan menyusun “bentuk bentuk dan gaya bahasanya.”
Ini adalah asumsi batil. Apabila Nabi menghendaki kekuasaan untuk dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu beliau menisbahkan semua itu kepada pihak lain. Dapat saja menisbahkan Al-Qur’an kepada dirinya langsung, karena hal itu cukup mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk atas kekuasaannya. Sebab, kenyataannya semua orang Arab dengan segala kefasihan bahasanya, tidak mampu menjawab tantangan itu. Bahkan mungkin ini lebih mendorong mereka untuk menerima kekuasaannya, karena dia juga salah seorang dari mereka yang dapat mendatangkan apa yang mereka sanggupi.

Tidak pula dikatakan bahwa dengan menisbatkan Al-Qur’an kepada Allah, beliau ingin menjadikan kata-katanya terhormat sehinggs dengan itu dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-perintahnya. Sebab, beliau juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbahkan kepadanya secara pribadi, yaitu yang dinamakan hadist nabawi, yang wajib juga ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikan kalam Allah Ta;ala.

Asumsi subhat diatas menggambarkan bahwa Rasulullah SAW, termasuk pemimin yang berprilaku yang suka berdusta, curang dalam menggapai tujuan. Subhat itu kontradiktif dengan fakta sejarah perilaku Rasulullah yang jujur dan amanah. Baik mungsuh maupun lawannya telah menyaksikan ketinggian moralnya.

Orang-orang munafik menuduh istrinnya, Aisyah dengan tuduhan palsu, dialah istriyang sangat dicintainya. Tuduhan itu telah menyinggung kemuliaan dan kehormatannya. Wahyu pun tidak segera meresponnya (datang terlambat), Rasulullah dan sangat sahabatnya merasa sangat sedih. Beliau berusaha sangat keras untuk meneliti dan mencari kebenarannya.Satu bulan telah berlalu, namun belum juga ada jawaban, sehingga beliau menyatakan kepada Aisyah, “Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apabila engkau benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu. Dan apabila engkau telah membuat dosa mohon ampunlah engkau kepada-Nya.”[7]

Keadaan berlangsung demikian hingga datangnya wahyu yang menyatakan kebersihan istrinya Rasul. Maka, apakah yang menghalanginya untuk mengatakan suatu kata yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Al-Qur’an itu beliau yang membuatnya. Tetapi Rasulullah orang yang jujur, tidak mau berdusta kepada manusia dan kepada Allah,
وَلَوۡ تَقَوَّلَ عَلَيۡنَا بَعۡضَ ٱلۡأَقَاوِيلِ ٤٤ لَأَخَذۡنَا مِنۡهُ بِٱلۡيَمِينِ ٤٥ ثُمَّ لَقَطَعۡنَا مِنۡهُ ٱلۡوَتِينَ ٤٦ فَمَا مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ عَنۡهُ حَٰجِزِينَ ٤٧
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.” (Al-Haaqqah: 44-47)

Ada segolongan orang meminta izin untuk tdak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan alasan. Di antara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan meeka. Maka turunnlah wahyu Al-Qur’an yang mencela dan mempermasalahkan tindakan itu, “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa engkau memberi izin mereka (untuk tidak ikut berperang, sebelum jelas bagimu alasan mereka) dan sebelum kamu ketahui mana yang benar dan mana yang berdusta?” (At-Taubah: 43)

Seandainya teguran keras ini datang dari erasaannya sendiri dengan menyatakan penyesalannya ketika pendapat itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu tidak akan diungkapkannya.
Demikian juga dalam kasus penerimaan tebusan tawanan perang Badar, “Tidak patut bagi Nabi mempunyai tawanan sebelum dia dapat melumpuhkan mungsuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta duniawi, sedangkan Allah menghendaki ahala akherat untukmu. Dan allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Kalau sekirannya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dai Allah, tentulah kamu akan ditimpa siksa yag besar karena tebusan yang kamu ambil.” (Al-Anfal: 67-68)

Juga adanya teguran karena berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum seorang sahabat yang buta, karena berhasrat agar salah seorang pembesar Quraisy masuk isalm, “Dia (muhammmad) bermuka masam dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah engkau barangkali dia ingin membersihkan dirinya dari dosa, atau dia ingin mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada celaan atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang keadamu dengan bersungguh-sungguh untuk mendapatkan pengajaran, sedang dia takut kepada Allah, maka kamu abaikannya. Sekali-kali jangan demikian! Sesungguhnya ajaran Tuhanmu itu adalah suatu peringatan.” (‘Abasa: 1-11)

Dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, dapat diketahui bahwa beliau sejak kecil merupakan teladan yang baik dan terpercaya. Masayarakat sendiri telah mengakuinya. Ketika Nabi mengajak mereka pada awal dakwahnya, beliau berkata kepada mereka, “Bagaimana pendapat kalian sekirannya aku memberi tahukan kepada kalian bahwa ada paasukan bekuda di balik lebah ini akan menyerang kalian; apakah kalian percaya kepadaku?” Mereka menjawab, “Ya, kami tidak pernah melihat engkau berdusta.”
Perjaanan hidunya yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk umat islam. Abdullah bin Salam ra. Mengisahkan, “Kekika Rasulullah SAW datang ke Madinah, orang-orang mengerumuninya,. Mereka mengatakan, ‘Rasulullah sudah datang, Rasulullah sudah datang!’ lalu aku datang ke dalam kerumunan orangbanyak itu untuk melihatnya. Ketika, melihat wajah beliau, tahukah aku bahwa wajahnya itu bukanwajah pendusta”[8]

Orang yang memiliki sifat yang agung dihiasi dengan tanda-tanda kejujuran tidak pantas diragukan ucaannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah yang membuat Al-Qur’an, “Katakan Tidaklah patut bagiku untuk menggantikannya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali wahyu yang diwahyukan kepadaku.” (Yunus: 15)

2. Orang-orang jahiliyah, dahulu dan sekarang, menyangka bahwa Rasulullah memiliki ketajaman akal, penglihatan yang dalam, firasat yang kuat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya mampu menimbang ukuran-ukuran yang baik dan buruk, benar dan salah melalui ilham (intuisi), mengenali perkara-perkarayang rumit melalui kasyaf, sehingga Al-Qur’an itu tidak lain daripada yang hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad dengan gaya bahasa dan retorika yag hebat.
Pertanyaannya, manakah sebenarnya kandungan di dalam Al-Qur’an itu itu yang didasarkan pada kecerdasan, penalaran, dan perasaan?

Sisi berita yang merupakan bagian terbesar dalam Al-Qur’an tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya didasarkan pada penerimaan dan pengajaran. Al-Qur’an telah menyebutkan berita tentang umat terdahulu, puak-puak dan peristiwa-peristiwa sejarah denganbenar dan cermat, seperti yang telah disebutkan oleh saksi mata, sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu sudah sangat lama, bahkan masalah kejadian pertama alam ini un diberitakannya. Hal ini tentu memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan firaasat. Padahal Nabi Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwa-peristiwa di atas dengan segala macam kurun waktunya sehingga beliau dapaat menyaksikan dan menyampaikan beritannya. Demikian pula beliau tidak mewarisi kitab-kitabnya untuk di pelajari secara terinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلۡغَرۡبِيِّ إِذۡ قَضَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَى ٱلۡأَمۡرَ وَمَا كُنتَ مِنَ ٱلشَّٰهِدِينَ ٤٤ وَلَٰكِنَّآ أَنشَأۡنَا قُرُونٗا فَتَطَاوَلَ عَلَيۡهِمُ ٱلۡعُمُرُۚ وَمَا كُنتَ ثَاوِيٗا فِيٓ أَهۡلِ مَدۡيَنَ تَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِنَا وَلَٰكِنَّا كُنَّا مُرۡسِلِينَ ٤٥
“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul.” (Al-Qasas: 44-45)
“Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)
“Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.” (Yusuf: 3)
“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam...” (Ali-Imran: 44)
Juga berita-berita yang cermat, mengenai angka-angka hitungan yang tidak diketahui kecuali oleh orang yang cerdas. Di dalam kisah Nabi Nuh disebutkan,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Al-‘Ankabut: 14)

Hal ini sesuai dengan apa yang ada dalam kitab kejadian dalam taurat. Dan di dalam kisah Ashabul kahfi, “Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (Al-Kahfi: 25)

Hitungan itu menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari. Sedangkan sembilan tahun yang disebutkan di atas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari dengan tahun bulan. Dari manakah Nabi Muhammad memperoleh angka-angka yang benar ini, sekiranya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya. Sebab, dia adalah seorang buta huruf yang hidup di kalangan bangsa yang buta huruf pula, yang tidak tahu tulis menulis dan berhitung? Orang-orang jahiliyah lama lebih cerdas dalam menentang Nabi Muhammad daripada orang-orang jahiliyah modern. Sebab, orang jahilliyah lama tidak menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu mendapat berita ini dari kesadaran dirinya seperti yang dikatakan oleh orang-orang jahiliyah modern. Tetapi, mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad mempelajari berita itu dan kemudia dituliskan, “Dan mereka berkata: "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.”(Al-Furqon: 5)

Nabi Muhammad tidak menerima pelajaran dari seorang guru. Jadi, dari manakah berita-berita ini datang kepadanya secara seketika di waktu usianya telah empat puluh tahun? “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 4)
Itu dari sisi berita dalam Al-Qur’an. Adapun masalah lain seperti masalah akidah misalnya, persoalan begitu rinci, baik tentang yang berkaitan dengan permulaan makhluk dan kesudahannya, kehiduan akheratdan apa yang ada di dalamnya seperti surga dengan segala kenikmatan di dalamnya dll. Pengetahuan ini semuanya tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.

“Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al Kitab dan orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Mudatsir: 31)
وَمَا كَانَ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانُ أَن يُفۡتَرَىٰ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلَٰكِن تَصۡدِيقَ ٱلَّذِي بَيۡنَ يَدَيۡهِ وَتَفۡصِيلَ ٱلۡكِتَٰبِ لَا رَيۡبَ فِيهِ مِن رَّبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ ٣٧
“Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.” (Yunus: 37)
Al-Qur’an juga memuat masalah ketentuan-ketentuan yang akan terjadi di masa datang secara yang berlaku dalam sunnatullah dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan kekuatan dan kelemahanya, kebangkitan dan keruntuhannya maupun kemuliaan dan kehinaannya;

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

“Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa. (yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma´ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Al-Hajj: 40-41)
“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (An-Anfal: 53)
Kemudian Al-Qur’an menceritakan tentang Rasulullah SAW bahwa beliau hanya mengikuti wahyu.
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Quran kepada mereka, mereka berkata: "Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku. Al Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-‘A’raf: 203)
Nabi Muhammad hanya manusia biasa yang tidak mengetahui perkara gaib dan tidak pula sedikit pun berkuasa atas dirinya.
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." (Al-Kahfi: 110)
قُل لَّآ أَمۡلِكُ لِنَفۡسِي نَفۡعٗا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُۚ وَلَوۡ كُنتُ أَعۡلَمُ ٱلۡغَيۡبَ لَٱسۡتَكۡثَرۡتُ مِنَ ٱلۡخَيۡرِ وَمَا مَسَّنِيَ ٱلسُّوٓءُۚ إِنۡ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٞ وَبَشِيرٞ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Rasulullah SAW tidak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang berselisih yang datang menghadanya untuk meminta keputusan, meskipun beliau mendengarkan kata-kata mereka berdua. Tanpa diragukan lagi beliau tidak mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
Rasulullah pernah mendengar suatu pertengkaran yang terjadi di dekat pintu kamarnya. Lalu beliau mendatangi mereka dan berkata, “Aku hanyalah seorang manusia, sementara kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu pihak dari kamu akan lebih bagus menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah yang benar, lalu aku memutuskan kemenangan untuknya.” [9]

DR. Muhamad Abdullah Darraz mengatakan, “Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang atheismasa kini dengan nama wahyu nafsi. Mereka mengira dengan nama ini, merela menyodorkan pendapat ilmiah yang baru. Padahal sebenarnya tidak. Itu adalah pendapat jahiliyah klasik. Mereka melukiskan Nabi sebagai seorang lelaki yang memunyai imajinasi yang luas dan perasaan yang dalam. Mereka menganggap beliau sebagai penyair.

Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga dia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar sesorang berbicara kepadanya. Apa yang dilihat dan dibicarakan kepadanya itu tidak lain dariada gambaran khayal dan perasaannya itu sendiri. Yang demikian itu suatu kegilaan dan hilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan alasan-alasan ini. Mereka harus meninggalkan istilah “gerak hati” (al-wahy an-nafsi) itu, Ketika mereka melihat bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat segi berita, baik berita masa lalu maupun yang akan datang. Mereka mengatakan; mungkin dia memperoleh berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika dia pergi berdagang. Berarti dia diajari oleh manusia. manakah yang baru dari pendapat ini semua? Bukanlah hal itu omongan biasa yang dilontarkan oleh kaum jahiliyah Quraisy, meski dari sisi redaksionalnya berbeda? Demikianlah, atheisme dalam pakaian barunyayang kotor itu. Gagasan itu memang bukan gagasan yang “maju” da masa kini. Ia hanyalah sisa-sisa pandangan yang diwariskan oleh masa jahiliyah pertama. “...Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa...” (Al-Baqarah: 118)

Yang mengherankan bahkan menjadi kontradiktif adalah pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa dia (Muhammad) adalah orang yang jujur dan terpercaya, dan bahkan dia beralaskan menisbahkan apa yang dilihatnya sebagai wahyu illahi. Dia tidak mau jadi saksi kecuali apa yang dilihatnya. Demikian Allah menceritakan kepada kita tentang-tentang pendahulu mereka. “Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah.” (Al-An’am: 33)

Apabila ini alasan Rasulullah dalam menyatakan apa yang dilihat dan didengarnya, maka apakah alasannya dalam pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu, sedangkan menurut sangkaan mereka dia telah mendengarkan sebelumya? Dengan demekian, mereka hendak menyatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduhan mereka sempurna. Tetapi mereka tidak mau mengatakan sangkaan itu, sebab mereka tidak mengklaim diri mereka sendiri sebagai orang-orang yang obyektif dan bijaksana. Ingatlah, sebenarnya mereka telah menyatakannya tetapi mereka sendiri tidak merasa.[10]

3. Orang-orang jahiliyah klasik dan modern berasumsi bahwa Nabi Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Al-Qur’an dari seorang guru. itu tidak salah, akan tetapi guru yang menyampaikan Al-Qur’an itu ialah malaikat pembawa wahyu, bukan gur yang berasal dari kaumnya sendiri atau kaum lain.
Nabi Muhammad SAW tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun di antara mereka yang membawa simbol ilmu dan pengajaran. Ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan, bahwa beliau bukan mempunyai guru daripada masyarakatnya sendiri. Dalam sejarah tidak ada masyarakat peneliti yang dapat memberikan kata sepakatyang patut dijadikan saksi, bahwa Nabi Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarakn agama kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya. Memang benar, di waktu kecil beliau pernah bertemu dengan pendeta Buhaira di pasar Bushra di Syam. Di makkah, beliau bertemu dengan Waraqqah bin Naufal setelah wahyu turun kepadanya. Dan, setelah hijjrah pun beliau bertemu dengan ulama Yahudi dan Nasrani. Tetai yang pasti, beliau tidak pernah mengadakan pembicaraan kepada mereka, sebelum beliau menjadi nabi. Sementara setelah beliau menjadi nabi, merekalah yang bertanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga mereka yang mengambil manfaat dan belajar kepadanya. Sekerinya Rasulullah SAW belajar sedikit saja dari salah seorang di antara mereka, sejarah pasti akan mengungkapkannya. Beliau tidak mempunyai perangai buruk yang dapat meremehkannya, terutama yang menentang islam. Menurut catatan sejarah, justru Rahib dari Syam atau Waraqqah bin Naufal menyambut gembira tentang kenabiannya[11] atau mengakuinya.[12]

Orang dapat menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Nabi Muhammmad diajar oleh seorang muslim, “Siapa nama gurunya waktu itu?” Kita akan mendapatkanjawaban yang rancu dan kontradiktf yang mereka reka-reka. Seperti misalnya, gurunya itu seorang pandai besi asal Romawi.” Bagaimana dapat diterima akal bahwa ilmu-ilmu Al-Qur’an itu datangnya dari oleh orang yang tidak dikenal oleh masyarakat mekkah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab? Bahkan hanya seorang andai besi yang sehari-harinya memegang palu dan besi, orang asing yang tidak tahu bahasa arab, Al-Qur’an berkomentar,
وَلَقَدۡ نَعۡلَمُ أَنَّهُمۡ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٞۗ لِّسَانُ ٱلَّذِي يُلۡحِدُونَ إِلَيۡهِ أَعۡجَمِيّٞ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيّٞ مُّبِينٌ ١٠٣
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa ´Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.” (An-Nahl: 103)

Orang-orang Arab sebenarnya ingin menolak Al-Qur’an karena dendam mereka kepada Nabi Muhammad, tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka sia-sia. Lalu, kenapa orang-orang atheis kini mencari jalan dari sisa-sia sejarah, sekalipun kegagalan itu telah dirasa tiga abad lebih? Dengan ini, jelaslah Al-Qur’an tidak mengandung unsur manusia, baik oleh pembawanya atau orang Ia diturunkan oleh Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.

Perkembangan Rasulullah di lingkungan yang buta huruf dan jahiliyah, serta perilakunya di tengah-tengah kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersaipkannya untuk membawa Risalah-Nya. Allah mewahyukan kepadanya Al-Qur’an ini untuk menjadi petunjuk bagi manusia.
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (As-Shura: 52-53)

Syaikh Muhamad Abduh dalam Risalah At-Tauhid berkata, “Di antara tradisi yang dikenal adalah seorang yatim dan fakir yang buta huruf seperti dia, jiwanya akan diwarnai oleh apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai usia tuanya, serta akalnya un akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul dengannya, terutama apabila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu, dia tidak memili kitab yang dapat memberinya petunjuk , tidak pula guru yang akan memberi pelajaran dan melindunginya. Sekiranya tradisi berjalan seperti biasanya, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikuti aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah dia berfikir dan mempertimbangkannya, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang menunjukkan kepadanya atau kesesatan mereka. Hal itu juga telah dilakukan oleh beberapa orang yang hidup dengan dia.[13]
“Dan Dia (Allah) mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Duha: 7)
Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum mendapat petunjuk tauhid, atau berada di jalan yang tidak lurus sebelum berakhlak mulia. Sekali-kali tidak! Jika ada yang menyatakan seperti itu, tentu hanya kebohongan yang nyata. Tetapi yang dimaksud adalah kebingungan yang mencekam hati orang-orang yang ikhlas, yang mengharapkan keselamatan bagi mannusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan keselamatan dari kesesatan. Dan Allah memberikan petunjuk kepada Nabi-Nya atas apa yang dicarinya, dengan dipilihnya dia untuk menyampaikan Risalah-Nya serta menentukan Syari’at-Nya.



A. Kritik dan Saran
Demikianlah makalah yang dapat disajikan, seperti pepatah“tak ada gading yang tak retak”.Oleh karena itu, kritik dan saran saudara sangat kami butuhkan.

AL-QATHTHAN, S. M. (2006). PENGANTAR STUDI ILMU AL-QUR'AN. KAIRO: PUSTAKA AL-KAUSAR.


[1] Lihat; Al-Wahyul Muhamadi/Syaikh Muhamad Rasyid Ridha/44
[2] HR. Ath-Thabarani
[3] HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi, dan An-Nasa’i
[4] HR. Al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibahri
[5] HR. Bukhari.
[6] HR. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah dengan sanad yang shahih
[7] Lihat kasus nerita bohong (hadistul ifki) ini dalam Al-Bhukhori dan Muslim, hadist-hadist lain, juga kisah tersebut dalam tafsir surat An-Nur.
[8] HR.At- Tirmidzi, dengan sanad yang shahih
[9] HR. Al-Bukhori dan Muslim, juga abu dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu majah
[10] Lihat An-Naba’ Al-Azhim
[11] Ketika Buraiha melihat pada diri Rasulullah ada tanda-tanda kenabian, dia berkata, “ Anak ini akan mengalami peristiwa yang sangat besar.”
[12] Di saat mendengar kisah Nabi SAW mengenai sifat wahyu, karena dia di panggil oleh Khatidjah untuk bertemu dengan nabi, bergetarlah hati Waraqqah. Ia berkata, “Inikah namus yang diturunkan oleh Allah kepada Musa. Andai saja aku masih hidup ketika engkau diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya. “Apakah mereka akan mengusirku?” Jawab Waraqqah, “Ya, setiap orangyang membawa seperti engkau bawa ini, pasti dianiaya. Kalau aku masih hidup, aku pasti akan menolongmu sekuat tenaga.”
[13] Seperti Umayyah bin Abi Ash-shault dan Zaid bin Amru bin Nufail.

Post a Comment for "MAKALAH TENTANG WAHYU"