Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH MEMBUDAYAKAN TAFSIR UNTUK ZAMANNYA “HASAN HANAFI”

MAKALAH
MEMBUDAYAKAN TAFSIR UNTUK ZAMANNYA
“HASAN HANAFI”



Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah 
Antropologi Tafsir 
Dosen : Wahyuni Shifatur Rohmah, M.S.I 

Disusun Oleh :
Muh. Amin (1631034)
PRODI ILMU AL QUR’AN DAN TAFSIR V
FAKULTAS USHULUDIN DAN DAKWAH
IAINU KEBUMEN
2018

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan anugrah dari-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Membudayakan Tafsir Untuk Zamannnya, Hassan Hanafi” Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan besar kita, Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan kepada kita semua jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan makalah yang menjadi tugas makul Antropologi Tafsir tentang “Membudayakan Tafsir Untuk Zamannya,Hasan Hanafi”. Disamping itu, kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama pembuatan makalan ini berlangsung sehingga dapat terealisasikanlah makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap makalah ini agar kedepannya dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami buat ini masih banyak terdapat kekurangannya.









DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................  1   
KATA PENGANTAR ...............................................................................  2
DAFTAR ISI ..............................................................................................  3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 4
A. Latar Belakang................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 5
A.    Biografi Hassan Hanafi..................................................................... 5
B.     Karakteristik Pemikiran Hassan Hanafi............................................ 8
C.     Teks dan Realitas.............................................................................. 9
D.    Kerangka Metodologis Pemikiran Hassan Hanafi............................ 10
E.     Sebuah Catatan Kritis....................................................................... 12
F.      Pengaruh dan Pro Kontra Pemikiran Hassan Hanafi........................ 13
BAB III PENUTUP.................................................................................... 14
A. Kesimpulan......................................................................................... 14
B. Saran ..................................................................................................  14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 15










BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya, karena agama sangat dibutuhkan oleh manusia agar manusia memiliki pegangan hidup. Dengan ilmu kehidupan manusia akan bermutu, dengan agama kehidupan manusia akan lebih bermakna, dengan ilmu dan agama kehidupan manusia akan sempurna dan bahagia. Sebagai sebuah disiplin ilmu, Antropologi Tafsir merupakan komponen ilmu yang dikaji pada setiap fakultas ilmu-ilmu keislaman. 
Mempelajari mata kuliah Antropologi Tafsir, merupakan salah satu kewajiban mahasiswa fakultas Ushuluddin. Dengan tujuan memperdalam dan meningkatkan keimanan serta ketaqwaan kepada Allah, sehingga terwujudlah mahasiswa yang cerdas, beriman, bertaqwa berdasarkan nilai-nilai yang terkandung di dalam Al Qur’an dan Al Hadits.
B. Rumusan Masalah
            Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini adalah :
1.      Biografi Hassan Hanafi
2.      Karakteristik pemikiran Hassan Hanafi
3.      Teks dan realita
4.      Kerangka metodologis pemikiran Hassan Hanafi
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah
1.      Untuk mengetahui biografi Hassan Hanafi
2.      Untuk mengetahui karakteristik pemikiran Hassan Hanafi
3.      Untuk mengetahui tentang teks dan realita
4.      Untuk mengetahui kerangka metodologis pemikiran Hassan Hanafi


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Hassan Hanafi
Hasan hanafi lahir di kota Kairo, Mesir pada tanggal 13 Februari 1935, berdarah Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko dan neneknya dari kabilah Bani Mur yang diantaranya menurunkan Bani Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir kedua. Pada saat berusia 5 tahun, Hasan Hanafi sudah hafal Al-Qur’an.[1]
Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah TSanawiyah Khali Agha, Kairo, selesai tahun 1952. Selama di Tsanawiyah, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga dia paham tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas social yang dilakukan organisasi tersebut.
Selain itu ia juga mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Quthub (1906-1966) tentang keadilan social dan keislaman. Hanafi memperoleh gelar sarjana mudanya dari unuversitas Kairo, Jurusan Filsafat Fakultas Adab tahun 1956. Kemudian ia elanjutkan ke Universitas Sorbonne Perancis dengan konsentrasi kajian pemikiran Barat modern dan pra modern.
Selama di Prancis, Hanafi mendalami berbagai disiplin ilmu. Ia juga mendalami beberapa metode berfikir, mulai dari pemikiran fenomelogi Husserl (1859-1938) yang mengakui kebenaran empiris, kebenaran teoritis (akal), dan kebenaran nilai. Kemudian ia juga mendalami pemikiran pembaruan dan sejarah filsafat Jean Guitton (1901-1999), sampai analisis kesadaran Paul Ricouer (1913-2005), pemikiran Louis Massignon (1883-1962) dalam bidang pembaruan.
Perjalanan ilmiah Hanafi selama di Prancis berlangsung selama kurang lebih 10 tahun yang membuatnya memiliki kesan abadi pada perkembangan intlektualnya yang membuatnya berucap “itulah barat yang aku pelajari, aku cintai, aku kritik dan akhirnya aku benci. Namun walaupun dikemudian hari ia mengkritik dan bahkan menolak barat, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa ide-ide liberalism barat, demokratisasi, rasionalisme, dan pencerahannya telah merasuk dan mempengaruhi pemikiran-pemikiran Hanafi. Pada tahun 1966 ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktoralnya.
Karir Hanafi di dunia intlektual dimulai pada tahun 1967 ketika diangkat menjadi lector, kemudian lector kepala (1973), professor filsafat (1980) pada jurusan Filsafat Universitas Cairo serta diserahi jabatan sebagai ketua Jurusan Filsafat pada unuversitas yang sama. Selain itu, ia juga aktif dibeberapa negara dan perguruan tinggi internasional sebagai dosen tamu seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelpia AS (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), dan Universitas Fez Maroko (1982-1985). Selanjutnya diangkat sebagai guru besar pada universitas Tokyo (1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985) dan menjadi penasihat program di Universitas PBB di Jepang (19985-1987). Di samping menggeluti dunia akademik, Hanafi juga aktif dalam organisasi kemasyarakatan, seperti Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir sebagai sekertaris umum, anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, dan wakil presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab. Pemikirannya tersebar du dunia Arab dan Eropa.[2]
Tahun 1981, ia memprakarsai sekaligus menjadi pimpinan redaksi Jurnal Ilmiah al-Yasar al- Islami (kiri Islam). Pemikirannya dalam jurnal tersebut memancing reaksi keras dari penguasa Mesir saat itu, Anwar Sadat (1918-1981), sehingga menyeret Hanafi dalam penjara. Sejak saat itu jurnal al-Yasar al-Islami tidak perna terbit lagi. Namun pemikiran al-Yasar al-Islami tidak perna hilang dikalangan umat Islam, bahkan menjadi kajian yang menarik dan layak untuk diteliti dan dikembangkan.
Seperti yang telah diungkap di atas, meskipun Hanafi menolak dan mengkritik Barat, namun ide-ide Barat telah mempengaruhi pemikirannya. Oleh karena itu Kazuo Shimogaki dalam bukunya “Kiri Islam” mengatakan bahwa Hanafi adalah seorang modern-liberal, seperti Lutfi Asy-SAyyid, Taha Husain, dan Al-Aqqad. Salah satu keprihatinan Hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hanafi melihat umat Islam pada masa itu berada dalam ketidakbebasan, keprihatinan dan berada dalam baying-bayang negara Barat.
Ada factor internal dan eksternal yang menyebabkan umat Islam berada dalam situasi seperti itu. Factor internal yaitu :
1.      Dari sisi metode tafsir, disebabkan adanya metode interpretasi yang lebih banyak bersifat tekstual.
2.      Dari sisi pemikiran, bahwa rasionalitas tidak pada posisi netral, kritis dan digunakan  sebagai sarana dialog, melainkan digunakan pada posisi kontradiktif, perselisihan dan justifikasi.
3.      Ketiga sisi teologi yang dianut umat Islam cenderung bersifat deterministic, sentralistik dan otoriter, sehingga memunculkan ide tentang penguasa tunggal.
Sedangkan  factor eksternal adalah dari luar dunia Islam berupa ancaman kolonialisme, imperialism, zionisme, dan kapitalisme dari Barat. Hanafi mengingatkan bahwa ancaman Barat yang paling penting bukan dari sisi ekonomi atau politik, tetapi dari sisi cultural, imperialism, kolonialisme dan kapitalisme pada akhirnya menghancurkan kebudayaan asli umat Islam, sehingga umat Islam akan kehilangan jati diri dan kebudayaannya sendiri.
Memperhatikan kondisi umat Islam dan pengaruh Barat yang semakin tidak terbendung, Hanafi mengusulkan gerakan yang revolusioner, “Kiri Islam” dengan tiga pilar pokok dalam rangka mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi tauhid) dan kesatuan umat Isalm yaitu:
a.       Revitalisasi khazanah Islam klasik. Hanafi menekankan perlunya rasionalisme dan revitalisasi ini. Rasionalisme merupakan kenicayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan muslim serta untuk memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam.
b.      Perlunya menentang peradaban Barat.
c.       Analisis atas atas realitas dunia Islam. Untuk analisis ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nash), dan mengabaikan  realitas.



B.  Karakteristik Pemikiran Hasan Hanafi
Kalau karakter utama tafsir pada periode modern ini umumnya dibangun di atas paradigm ilmiah objektif, lalu bagaimana dengan metodologi tafsir yang ditawarkan Hasan Hanafi sebagaimana salah seorang pemikir pembaru muslim abad ini, tawaran metodologis tafsirnya ialah:[3]
1.      Dengan proyek besar at-Taurats wa at-tajdid-nya, Hasan Hanafi tampak jelas sebagai sosok pembaru yang sangat perihatin pada kondisi umat Islam dan warisan intlektualnya. Keprihatinannya yang mendalam atas kondisi umatnya inilah yang kemudian terekspresikan dalam proyek “kiri Islam”. Dengan demikian Hasan Hanafi disamping sebagai pemikir yang memiliki komitmen yang cukup besar atas umat Islam dia juga mumpuni keahliannya dalam hal “at-Turats” (ilmu-ilmu keislaman).
2.      Sampai dengan masuk dunia akademik, Hasan Hanafi adalah seorang aktifis. Hal ini diawali dengan kegagalannya menjadi sukarelawan perang Palestina, di menjadi anggota gerakan Ikhwan al-Muslimin. Implikasi dari kapasitasnya sebagai seorang aktifis pergerakan adalah begitu dominannya semangat keberpihakan pada rakyat Islam dalam seluruh proyek pembaruannya.
3.      Perkumpulannya yang intens dengan berbagai perangkat metodologis ilmiah yang dikembangkan di Barat. Pengembaraan intlektualnya di dunia Barat terutama di Perancis menambah kelengkapan perangkat metodologisnya dengan pendekatan fenomenologis.
Ketiga karakter kepribadian Hasan Hanafi yang menandai keunikannya sebagai seorang tokoh pemikir pembaru yang menarik, pada gilirannya menjadi pilar utama bangunan pemikirannya. Agenda pembaruan yang mengemuka sebagai hasil akumulasi ketiga karakter karakter kepribadian Hasan Hanafi ini juga paling tidak ada tiga concern pokok:
1.      Ihya at- Taurats, yang dimaksudkan sebagai upaya merekonstruksi , mengembangkan dan memurnikan berbagai komponen disiplin dalam tradisi dan khazanah intelektual klasik. Disiplin studi Al-Qur’an dan tafsir tertentu merupakan bagian integral dari khazanah intlektual yang perlu direvitalisasikan. Dalam konteks inilah Hasan Hanafi menawarkan satu alternative metodologi tafsir dengan karakter tertentu yang dianggap efektif.
2.      Membongkar supremasi peradaban Barat. Agenda ini dimaksudkan untuk mematahkan mitos peradaban tunggal yang mendunia, yakni peradaban Barat yang berambisi menjadikan dirinya sebagai paradigm kemajuan bagi bangsa-bangsa lain. Wujud dari agenda ini adalah apa yang disebut dengan oksidentalisme.
3.      Mengangkat realitas dunia Islam. Untuk merealisasikan cita-cita pembaruan dan perubahan kondisi masyarakat muslim, menurut Hasan hanafi, pendekatan klasik yang tekstual normative perlu ditinggalkan. Menggambarkan situasi dunia Islam dari sisi teks dan apologi dengan masa lalu seperti yang lazim dalam model berfikir klasik harus digantikan dengan cara membiarkan realitas dan angka-angka statistic berbicara tentang dirinya sendiri. Realitas dunia Islam baginya tidak lain adalah fenomena imperialism, kapitalisme, otoriterianisme, kemiskinan, ketertindasan, dan keterbelakangan. Pemecahan problem kemasyarakatan dunia Islam seperti ini tentu tidak cocok dengan pendekatan normative-tekstual. Justru pendekatan fenomenologis, sosiologis dan historis yang benar-benar bertumpu pada realitas empiric menjadi sangat diperlukan. Karena inilah dia merasa cukup beralasan untuk memberikan perioritas pada pendekatan realis sebagai imbangan dari pendekatan tekstualis.
C.  Teks dan Realitas
Diawali dengan keprihatinannya atas hilangnya wacana kemanusiaan dalam studi Islam yang menjadi basis lahirnya berbagai tragedy kemanusiaan dalam dunia Islam, Hassan Hanafi mencoba melacak akar dari semua ini yang  dia tengarai terdapat pada konsep pewahyuan tradisional Islam. Menurutnya, pewahyuan adalah sebuah proses komunikasi yang memiliki tiga komponen dasar pengirim, informasi (pesan) dan penerima. Tetapi dalam tradisi Islam, menurutnya hanya ada dua komponen yang dominan, sementara komponen yang ketiga tidak mendapatkan porsi yang cukup. Itulah mengapa pembicaraan tentang wahyu dalam dunia Islam selalu tersita untuk berbicara tentang Tuhan (sebagai pengirim) dan Nabi sebagai penyampainya, tanpa ada perhatian pada “manusia” sebagai penerima pesan wahyu. Padahal komponen inilah kutub utama proses komunikasi[4].
Akibat dari konsepsi yang keliru ini adalah dominasinya model berfikir tekstualis yang menganggap teks sebagai standar analisis. Menurut cara berfikir ini seolah-olah teks adalah segala-galanya termasuk dianggap sebagai sesuatu yang melahirkan realitas, sehingga realitas selalu dilihat dari bunyi teks. Bagi Hasan Hanafi, ini adalah kekeliruan karena mestinya adalah realitas yang menjadi standar. Artinya menurut Hasan Hanafi, teks itu tidak akan lahir tanpa realitas sebagai determinannya. Jadi, bukan wahyu yang menyebabkan lahirnya berbagai peristiwa empiric (realitas), tetapi sebaliknya supermasi realitas yang melahirkan atas wahyu (teks), karena realitas akan selalu menjadi acuan teks yang tanpa acuan ini teks menjadi hampa makna.
Bertolak dari pandangan ini Hasan Hanafi beranggapan bahwa motif utama tafsir bukanlah semata-mata menjelaskan seluruh Al-Qur’an sebagai teks, melainkan adalah  pemecahan problem dalam masyarakat. Karena problem empiric ini adalah basis dari kelahiran teks itu. Melalui anggapan semacam ini Hassan Hanafi mencoba menghindari dari beberapa titik lemah yang menurutnya menimpa tafsir tradisional. Titik lemah yang dimaksud adalah lahirnya tafsir yang bertele-tele dan cenderung berulang-ulang sehingga penafsiran tidak memperhatikan kebutuhan.
D.  Kerangka Metodologis Pemikiran Hassan Hanafi
Sebagai seorang pemikir yang serius komitmennya terhadap pemikiran kondisi actual umat sehingga sampai menempatkan supremasi realitas sedemikian rupa, Hassan Hanafi tidak sepakat apabila tafsir hanya diidentifikasikan  sebagai sekedar teori memahami teks. Menafsirkan menurutnya lebih berarti melakukan gerak ganda dari teks menuju realitas dan dari realitas menuju teks. Untuk inilah dia mengajukan tawaran metodologis yang disebut sebagai al-Manhaj al-Ijtima’I fi al-Tafsir.[5]
Untuk memperoleh hasil yang diharapkan dari metode ini, Hassan Hanafi mengusulkan beberapa kaidah dasar yang mesti dipahami sebelum kegiatan penafsiran dimulai :
1.      Bahwa dalam tafsir teks Al-Qur’an tidak perlu dipertanyakan asal-usul maupun sifatnya. Ini mengingat tafsir tidak terkait dengan masalah kejadian teks melainkan berkait dengan isi.
2.      Al-Qur’an sebagai teks tidak dibedakan dari teks-teks kebahasaan lainnya. Artinya penafsiran terhadap Al-Qur’an tidak dibangun atas asumsi bahwa Al-Qur’an adalah teks sacral dengan segala keistimewaannya.
3.      Penafsiran tidak mengenal penilaian normative benar atau salah. Karena perbedaan pendekatan penafsiran tidak lain adalah perbedaan pendekatan terhadap teks sebagai bias perbedaan kepentingan. Akibatnya pluralitas penafsiran adalah kenyataan yang tidak dapat dihindarkan, karena pada dasarnya setiap penafsiran merupakan salah satu ekpresi komitmen social- politik pelakunya. Penafsiran adalah alat ideologis baik untuk mempertahankan kepentingan tertentu maupun mengubahnya.
Dengan landasan kaidah dasar seperti diatas, Hassan Hanafi merumuskan langkah-langkah metodis yang mesti dilalui dalam penafsiran adalah :[6]
1.      Seorang penafsir harus secara sadar mengetahui dan merumuskan komitmennya terhadap problema social politik tertentu. Artinya, setiap mufasir muncul pasti dilandasi oleh keprihatian-keprihatian tertentu atas kondisi kontemporernya.
2.      Bercermin pada proses lahirnya teks Al-Qur’an yang didahului oleh realitas, seorang musafir harus merumuskan tujuannya. Artinya tidak mungkin seorang penafsir memulai kegiatannya dengan tanpa kesadaran akan apa yang ingin dicapainya.
3.      Dari rumusan komitmen dan tujuannya, barulah seorang musafir dapat menginventariskan ayat-ayat terkait dengan tema komitmennya.
4.      Inventarisasi ayat kemudian diklarifikasikan atas dasar bentuk-bentuk linguistic sebagai landasan bagi langkah.
5.      Membangun stuktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju.
6.      Identifikasi problema factual dalam situasi empiric (realita) yang dihadapi penafsir bisa berupa penindasan, pelanggaran hak dan sebagainya.
7.      Menghubungkan struktur ideal sebagai hasil dedukasi teks dengan problema factual yang diinduksi dari realita empiric melalui perhitungan statistic dan ilmu social.
8.      Menghasilkan rumusan praktis sebagai langka akhir proses penafsiran yang tranformatif. Inilah yang dimaksud dari realitas menuju teks dan teks menuju realitas. Ini pula yang dimaksud oleh Hassan Hanafi, bahwa penafsiran menjadi bentuk perwujudan posisi social penafsir dalam struktur social.
Mengacu pada langkah-langkah metodis yang diusulkan Hassan Hanafi dapat diambil pengertian bahwa dia rupanya mencita-citakan tafsir dengan sifat yang unik eklektik. Karena berbeda dengan metode klasik, Hassan Hanafi menggunakan metode tematik yang merupakan ciri tafsir dengan paradigm ilmiah di era kontemporernya. Sebaliknya, persyaratan pertama langkah penafsiran berupa penegasan kepentingan komitmen dan tujuan penafsir secara social. Ini artinya Hassan Hanafi menginginkan tafsir yang mengekspresikan subjektivitasnya.[7]
Tafsir yang dimulai dengan identifikasi kepentingan penafsiran dan perubahan social tertentu kontemporernya memberikan gambaran bahwa tafsir yang diinginkan Hassan Hanafi tidak berpretensi untuk mencari makna universal. Sebaliknya, tafsir semacam ini bersifat temporal mencari makna yang diberikan Al-Qur’an untuk generasi tertentu yang mengabaikan kepentingan masa lalu maupun masa mendatang.
E.  Sebuah Catatan Kritis
Melihat prosedur penafsiran yang ditawarkan Hassan Hanafi, bahwa sebelum menafsirkan teks seorang penafsir harus terlebih dahulu menganalisis pengalamannya sendiri untuk memunculkan kepentingan, motivasi, dan posisi sosialnya, maka dapat dimengerti jika metodologi tafsirnya menunjukan nuansa pembebasannya. Akibatnya, prosedur ini hanya cocok untuk pola penafsiran tematis (maudhui) karena penafsiran Al-Qur’an secara mushafi tidak akan mengakomodasi kepentingan di atas.[8]
Dengan karakternya yang realities, tematis, temporal, tranformatif dan eksperimental, metodologi tafsir yang ditawarkan Hassan Hanafi di samping menunjukan bingkai pembaruan pemikirannya juga sekaligus tampak digiring untuk melegitimasi proyek pembaruannya yang bercorak kiri. Keberpihakan yang menjadi inti dari gerakan kiri, menjadikan Hassan Hanafi buru-buru menolak pretense objektivistik sebagaimana yang lazim ditemukan dalam hermeneutic Al-Qur’an modern. Justru dengan karakter di atas Hassan Hanafi ingin menegaskan subjektivitas dan kepentingan (ideologis) yang menjadi tujuan penafsirannya.
F.   Pengaruh dan Pro Kontra Pemikirann Hassan Hanafi
Meskipun dinegaranya sendiri (Mesir) ia kurang diterima bahkan dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis, tapi ia selalu menyematkan diri menulis beberapa karya ilmiah yang menekankan pada pentingnya tradisi dan pembaruan (al-Taurats wa Tajdid) dalam upaya membebaskan dunia timur (Islam) dari pengaruh Barat, sehingga tercipta kesetaraan antara al-ana yakni dunia Timur dan al-akhar yakni dunia Eropa atau Barat.[9]
Bagi kelompok konservatif Hassan Hanafi bahkan revolusioner-revolusioner Islam lainnya dianggap justru telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam di dalam kehidupan umat manusia dan ajaran-ajaran mereka telah terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan dunia Barat. Dengan dalil-dalilnya aliran konservatif telah mengkafirkan ajaran-ajaran modernis Islam.
Selain mendapat kecaman dari kelompok-kelompok Islam konservatif, Hassan Hanafi juga mendapat cekalan dari pemerintahan Mesir. Ketika pemerintahan Mesir memberikan pilihan kepadanya antara tetap tinggal di Mesir dengan syarat menghentikan aktivitas intelektual dan gerak-geriknya atau pergi keluar negri. Dengan desakan dari pemerintah akhirnya Hassan Hanafi pergi ke Amerika untuk mengajar di Universitas Temple (1971-1975), dan baru kembali setelah terjadi gerakan anti pemerintah Anwar Sadat.
BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
1.      Hasan hanafi lahir di kota Kairo, Mesir pada tanggal 13 Februari 1935, berdarah Maroko.
2.      Tawaran metodologis tafsir Hassan Hanafi ialah :
a.       Dengan proyek besar at-Turats wa at-tajdid-nya (merekonsrtuksi, mengembangkan dan memurnikan berbagai komponen disiplin dalam tradisi dan khazanah intlektual klasik.
b.      Membongkar supremasi peradaban barat.
c.       Mengangkat realitas dunia Islam
3.      Langkah-langkah metodis yang mesti dilakukan dalam penafsiran menurut Hassan Hanafi ialah :
a.       Mengetahui dan merumuskan problem social politik tertentu.
b.      Bercermin pada lahirnya teks Al-Qur’an.
c.       Menginventarisasikan ayat-ayat terkait dengan tema yang menjadi komitmennya.
d.      Mengklasifikasikan ayat atas dasar bentuk-bentuk linguistic.
e.       Membangun struktur makna yang tepat dengan sasaran yang dituju.
f.       Identifikasi problema factual.
g.      Menghubungkan struktur ideal.
h.      Menghasilkan rumusan praktis.
4.      Pro kontra pemikiran Hassan Hanafi terjadi khususnya di negaranya terutama kecaman dari kelompok Islam konservatif-skripturalis ia dituduh telah meremehkan Islam dan melemahkan posisi Islam di dalam kehidupan umat manusia.
B.  KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah yang kami susun, semoga bermanfaat. Apabila terdapat   kesalahan kata dan penyusunan kami memohon kritik dan saran serta permohonan maaf yang sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA
            Abdul mustaqim.Sahiron Syamsuddin.2002.Studi Al-Qur’an Kontemporer. Yogyakarta. Tiara Wacana
            Fikrah.Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. Volume 3. No. 1. Juni 2015
            Https://Studipemikiranqur’anhadis.wordpress.com/2013/10/23/butir-butir-pemikiran-hasan-hanafi diakses hari senin,tgl 19, bln nofember, jam 19.00 WIB.


[1] .Fikrah : Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan. Volume 3, No. 1, Juni 2015
[2] .Op. Cit, Hlm. 3
[3] .Mustaqim,Abdul dan Syamsudin, Sahiron, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)Hlm. 100
[4] . Op. Cit, Hlm,102
[5] . Op. Cit ,Hlm, 104
[6] . Mustaqim,Abdul dan Syamsudin, Sahiron, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)Hlm. 105
[7] . Op. Cit, Hlm,106
[8] . Mustaqim,Abdul dan Syamsudin, Sahiron, Studi Al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)Hlm. 107

Post a Comment for "MAKALAH MEMBUDAYAKAN TAFSIR UNTUK ZAMANNYA “HASAN HANAFI”"