Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Pemikiran Tokoh Orientalis : Angelika Neuwirth


PEMBAHASAN

  1. Biografi Angelika Neuwirth dan Fokus kajiannya


Angelika Neuwirth (berikutnya disebut Neuwirth) adalah seorang akademisi dalam studi Al-Qur’an lahir di Nienburg/Weser pada tanggal 4 November 1943. Ia memulai karirnya mengenai literatur bahasa Persia, studi Yahudi, Arab, serta Filologi Klasik di Teheran. 
Setelah selesai satu tahun di Teheran, ia mulai mempelajari bahasa-bahasa Semit dan Arab di Universitas Göttingen pada tahun 1964 sampai 1967. Pada tahun 1970 ia memperoleh gelar MA dari Universitas Hebrew di Jerussalem. Ia kemudian meneruskan ke jenjang program doktor dan diselesaikan pada tahun 1972 dalam bidang sastra Arab. Setelah itu ia meneruskan program pascadoktoral di Universitas Munich.
Pada tahun 1977-1983 ia menjadi dosen tamu di Amman, University of Jordan dengan mengampu mata kuliah Filsafat Arab.Di tempat yang sama ia dipercaya untuk menjadi direktur pada the Catalogue of Arabic Manuscripts di salah satu Departemen Akademi Royal untuk bidang Islamic Thought. 
Setelah selesai dari tugasnya di Jordania, ia dipercaya kembali untuk menjadi asisten profesor di Universitas Bochum tahun 1983-1984. Kemudian, pada tahun terakhir saat itu ia pindah ke Universitas Bamberg untuk menjadi dewan perwakilan sampai pada tahun 1991. Selain sibuk di Bamberg, ia juga menjadi dosen tamu untuk mengajar di Kairo pada Universitas ‘Ain Shams. Di samping itu juga, pada tahun 1991 ia dikukuhkan di Jerman sebagai profesor di bidang sastra Arab di Freie University, Berlin. Karirnya mulai terlihat pesat di situ. Ia menjadi direktur pada Oriental Institute of German Oriental Society di Beirut dan Istanbul pada tahun 1994-1999. 

Sekitartahun1997, ia diangkat menjadi supervisor EU-Projects di Beirut dan Istanbul. Dari perjalanan karir akademisinya tersebut membawa namanya menjadi seorang yang ahli dalam bidang Literatur Arab sehingga terbentuknya Corpus Coranicum di Berlin yang fokus kepada bidang kajian literatur Arab. Ketertarikannya kepada studi Al-Qur’an dimulai dari disertasinya tentang analisis struktur surah Al-Qur’an dalam judul “Studien Zur Komposition Der Mekkanischen Suren: Die Literarische Form Des Koran Ein Zeugnis Seiner Historizitas? (Studi atas Komposisi Surah Makkiyyah: Sebuah Testimoni Historis dari Format Sastrawi Al-Qur’an?). Dari situlah ia mulai tertarik dengan kajian struktur bahasa Al-Qur’an dalam aspek sastra. Namun, dengan berjalannya waktu, ia mengalami perkembangan pemikiran yang awalnya fokus kepada studi sastra murni berkembang ke arah strukturalis yang juga mengacu kepada aspek sejarah. Perkembangan pemikiran Neuwirth dari strukturalis murni ke strukturalis yang juga sejarawan semakin difokuskan dengan berdirinya proyek Corpus Coranicum. Dari sinilah ia mulai merambah dunia sejarah teks Al-Qur’an. Salah satu narasi besar yang dipopulerkannya adalah eksplorasi historis teks Al-Qur’an yang dianalisis dengan menarik konteks sejarah yang berdasaran fase late antique dalam periodisasi sejarah Barat.

The Qur’an In Context Angelica Neuwirth.

Angelica Neuwirth melakukan studi tentang perbandingan intertekstuali-tas antara al-Qur’an dengan kitab sebelumnya yakni Psalm yang merupakan bagian dari Bible yang sangat familiar di era al-Qur’an dalam tradisi Arab atau yang biasa disebut dalam tradisi Islam adalah Zabur dan juga identik dengan Mazmur. Penyebutan kitab Zabur sendiri terkait dengan kata z-b-r yang bermakna membaca. Zabur sendiri merupakan kitab yang diwahyukan kepada nabi daud atau yang dalam tradisi Yahudi dan kristiani dikenal dengan David.

Intertekstualitas dipakai oleh Neuwirt didasarkan atas asumsi bahwa al-Qur’an, Taurat, Zabur, dan Injil cukup setara secara time frame karena ketiganya berada pada waktu yang bersamaan yakni pada akhir era pre-canonical yang berakhir pada abad 6-7 masehi seiring runtuhnya romawi. Karena al-Qur’an setara secara time frame tersebut maka cukup relevan untuk dilakukan kajian intertekstualirtas dengan kitab-kitab lainnya secara diakronis.   
Secara diakronis, Islam lahir di sekitar peradaban lainnya seperti syiria. Peradaban-peradaban sekitar inilah yang memiliki pengaruh terhadap al-Qur’an lewat persentuhan tradisi. Dalam contoh-contoh kecil, terkait tradisi peribadatan Syiriah misalnya. Dalam memulai membaca kitab Psalm, terdapat ritual pembacaan pembuka yang disebut Suraya yang kemudian mengindikasikan bahwa term suraya ini digunakan dalam menyebut kumpulan ayat yakni surat. Hal ini pula mengindikasikan bahwa transmisi tradisi dari luar yang masuk ke semenanjung Arab dilakukan secara oral sehingga sangat rentan terhadap ketidaktepatan penyebutan.

Pertanyaan Neurwith mengenai apa hubungan al-Qur’an dengan Psalm?. Ia memulai menunjukkan bukti keterkaitan antara al-Qur’an dengan Psalm dengan mengutip surat ar-Rahman yang memuat adanya konsep kekekalan Tuhan dan kebinasaan manusia sebagaimana ar-Rahman 55: 27 yang dijadikan khat pada batu nisan Turkan Khatun, seorang shalehah dari mongol yang dikubur di Jarussalem. Ayat tersebut yang memuat konsep kekekalan Tuhan dan kesirnahan manusia ternyata konsep seperti ini ada dalam kitab Psalm.
Selain itu, al-Qur’an juga mengakui bahwa ia sendiri merupakan kitab yang berhubungan dengan kitab-kitab sebelumnya seperti Taurat atau Torah, Injil, dan juga Zabur. Namun al-Qur’an memposisikan dirinya sebagai penerus dan koreksi atas kitab-kitab terdaulu yang telah berubah. Penjelasan hal tersebut bisa ditemukan dalam al-Qur’an surat al-Isra’ 17: 55, al-Anbiya 21: 105, dan an-Nisa 4: 163. Hal tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an merupakan fungsi baru yang mengekspresikan kitab-kitab sebelumnya.

Neuwirth juga menemukan beberapa surat yang mirip dengan istilah-istilah yang dipakai dalam psalm. Istilah-istilah tersebut meliputi terdapat dalam tiga pembagian yang pertama adalah bunyi (echoes) seperti surat al-Kautsar dan al-Insyirah; kedua adalah nyanyian (hymns) seperti surat al-A’la dan al-Alaq; ketiga adalah pengulangan (refrain) seperti surat ar-Rahman.

Selain itu Neuwirth juga mengutib pendapat Heinrich Speyer yang menyatakan bahwa muatan Taurat telah terefleksikan dalam al-Qur’an. Ia menyatakan bahwa terdapat 141 kemiripan yang ditemukan melalui studi di Berlin yang proyek ini dinamakan corpuys coranicum. Kemiripan-kemiripan tersebut membuktikan bahwa al-Qur’an merupakan kitab penerus atau kitab lanjutan dari kitab terdahulu. Meski mirip namun al-Qur’an juga memiliki karakteristik tersendiri yang orisinil tradisi Arab seperti bentuk linguistik (grammer), gambaran (contoh-contoh dan perumpamaan yang dipakai), dan susunan literatur.

Terdapat dua dimensi yang mempengaruhi al-Qur’an. Pertama adalah tradisi Makkah dan kedua adalah tradisi Madinah. Makkah yang merupakan warisan Ibrahim member pengaruh tradisi millah. Sedangkan Madinah yang dekat dengan masyarakat Yahudi memberikan pengaruh tradisi kanonik, sejarah, dan peradaban lainnya yang ada pada tradisi Yahudi. Hal tersebut dapatr dilihat melalui contoh kecil yaitu sholat. Ritual ibadah tersebut dalam satu sisi mengandung unsur tradisi Madinah dengan peribadatannya dan Makkah dalam mepengaruhi unsure lain sebagaimana di dalamnya termuat nama Ibrahim dalam tahiyyat.
Apa yang dikaji Neuwirth merupakan bagian selanjutnya dari kajian sebelumnya, mulai munculnya revisionis pada 1977 kemudian di susul dengan beberapa kajian tentang al-Qur’an seperti kajian penelusuran bahasa Aramaic pada tahun 2000, hingga kajian hermeneutic yang berkembang dan dikembangkan baik oleh sarjana non dan Muslim sendiri.

Al-Qur'an dalam Frame Late Antiquity

Islam bukanlah agama pertama yang berimplikasi bahwa mushaf al-Qur’an bukanlah mushaf kitab suci yang pertama. Al-Qur’an berada dalam lintasan pewahyuan Kitab Suci lainnya yang berada pada masa yang di sebut Angelica Neuwirth, Barbara Finster, dan penekun kajian historis kritis lainnya dengan masalate antiquity. Selain masa late antiquity, al-Qur’an juga berhubungan dengan kitab suci yang berada pada masa sebelumnya yakni “classical antiquity”. Late antiquity  merupakan istilah yang dipakai oleh pakar sejarah dalam menentukan titik transisi periodesasi (frame time) dari masa akhir classical antiquity menuju permulaan masa middle age. Para pakar sejarah berbeda pendapat mengenai tahun pasti yang yang dapat dijadikan batasan masa late antiquity. Peter Brown berpendapat masa late antiquity terjadi pada antara abad kedua dan kedelapan masehi. Hal tersebut ia perjelas melalui karyanya The World of Late Antiquity : AD 150 – 750.

Dengan mengacu pada pembagian waktu ini, kajian terhadap al-Qur’an dapat dikaitkan dengan intertekstualiti studies. Studi tentang al-Qur’ann tidak hanya terbatas pada kritik internal dan eksternal al-Qur’an, namun menyeberanginya dengan melakukan komparasi atas kitab-kitab lainnya yang berada di luar tradisi Islam. Dengan kemungkinan studi intertekstualitas tersebut, upaya komparasi antara al-Qur’an tidak terbatas dengan kitab lainnya yang semasa. Namun bahkan al-Qur’an memiliki kaitan dengan kitab yang hadir pada masa classical antiquity.Dalam hal tersebut ialah kitab Taurat dan Zabur yang—jika mengacu pada pembagian Peter Brown di atas—diwahyukan sebelum masa late antiquity.

Islam dalam realitas kesejarahannya terkait erat dengan agama sebelumnya. Kitab suci-kitab suci yang menjelaskan keimanan membawa kepercayaan yang dipeluk, diyakini, dan dilegalkan sebagai agama dalam konteks global termasuk pula agama bangsa Arab ketika itu. Dalam konteks sejarah, dalam rentang waktu tertentu, kitab suci sebagai bagian dari peristiwa (event) berada dalam alur diakronis dan alur singkronis. Antara kitab suci masing-masing melintasi waktu yang berbeda, ada yang turun di awal dan ada yang baru hadir belakangan. Karena masing-masing kitab memiliki orientasi yang berdekatan, maka yang terjadi kemudian adalah masing-masing memiliki banyak persamaan selain juga terdapat beberapa perbedaan.

Kepercayaan tentang hubungan kausalitas.bahwa peristiwa dalam sejarah tidak lepas dari peristiwa lainnya memunculkan asumsi bahwa kitab suci-kitab suci yang muncul menjelang keruntuhan Romawi memiliki keterkaitan terutama kitab yang hadir belakangan yang menjadikan kitab sebelumnya sebagai rujukan sumber. Kajian ini yang memfokuskan diri pada konsepsi origin dari kitab suci menjadi bagian dari kajian historis kritis (historical critisism) yang pada gilirannya juga melibatkan kajian filologis. Di antara tokoh yang menjadi sosok sentralnya adalah Abraham Geiger (1810-1874 M) dan Theodor Noldeke (1836-1920 M). Keduanya melakukan riset tentang al-Qur’an yang diyakini muncul pada masa Nabi Muhammad (670-732 M).   
Nabi Muhammad sebagai sosok historis, petualang, dan seorang yang memiliki jaringan dengan bangsa luar terutama diddukung oleh profesinya sebagai seorang pedagang yang hilir mudik melakukan perjalanan hingga Syam dan Yaman menemui berbagai klien dan berjumpa dengan orang dari berbagai latar belakang yang dalam perjalanan tersebut membangun pra-pemahaman Nabi. Baik Abraham Geiger dan Noldeke masing-masing percaya bahwa Nabi terpengaruh oleh orang-orang yang ada dalam lingkungan hidupnya tersebut yang kemudian menjadi sumber munculnya al-Qur’an.
3.Contoh Aplikasi pembacaan sejarah Al-Qur’an Ala Angelika Neuwirth

1.Meneropong Perkembangan Sejarah

Al-Qur’an melalui Analisis Teks Makkiyyah dan Madaniyyah Dengan menggunakan analisis struktur mikro, Neuwirth menyimpulkan bahwa perkembangan teks Al-Qur’an yang terbagi menjadi dua fase; Makkiyyah dan Madaniyyah, sejatinya terkandung dalam struktur formula dalam masing-masing surah itu sendiri. Surah-surah Makkiyyah awal (early meccan) misalnya, mencerminkan sebuah Al-Qur’an “lisan” (the oral Qur’an). Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bahwa kata yang paling sering disebut untuk mengidentifikasi kitab suci pada proses komunikasi Mekah awal adalah “Al-Qur’an” (bacaan; teks yang dibaca) sebagaimana terlihat dalam Surah al-Burūj/ 85: 21, al-Insyiqāq/84: 21, al- Muzzammil/73: 4, dan Ṭāhā/20: 72 (penomoran surah versi tartīb muṣḥafi). Dalam hal ini, beberapa agen harus disebutkan. Surah-surah tersebut biasanya mengarah ke sebuah situs padang pasir yang dihuni oleh komunitas yang makmur tetapi pada akhirnya terjerat ke dalam kehancuran. Arti penting cerita-cerita para Nabi terletak dalam kesabaran mereka menghadapi komunitas tersebut. Selain itu, nuansa ritual dan sakral juga menjadi karakter surah-surah awal ini.Kepada siapa surah-surah ini ditujukan? Neuwirth berasumsi bahwa para pendengar awal tersebut adalah komunitas dengan keyakinan sinkretik yang cukup akrab dengan doktrin monoteistik. Ia mengkonfirmasi Arthur Jeffery yang mengatakan bahwa ketika itu telah ditemui adanya kata “serapan” dari nomenklatur tradisi Kristiani dalam khazanah bahasa Arab. Selanjutnya, pada masa Mekah akhir terdapat beberapa perkembangan yang signifikan terutama dalam komposisi surah. Dalam hal ini, meski masih memuat materi Biblikal, masing-masing surah telah menjadikan materi tersebut dalam fungsinya yang independen dan tersendiri yang berbeda dengan sebelumnya. Beberapa surah yang panjang juga dinarasikan ulang dengan beberapa tambahan. Hal ini tentu saja terjadi karena adanya proses komunikasi sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Pada masa Mekah tengah dan akhir, cakupan risalah mulai meluas dari konteks komunitas lokal menjadi konteks “tanah suci” yang meniscayakan cakupan geografis yang lebih luas. Hal ini misalnya terlihat dalam wacana “perpindahan” kiblat. Adapun pada masa Madinah, surah-surah yang muncul memperlihatkan adanya sebuah kecenderungan ke arah identifikasi Al-Qur’an sebagai representasi dari sebuah “buku” (representation of the book). Mulai fase ini, Al-Qur’an sebagai “bacaan” telah menjadi identik dengan istilah “kitab” yang merupakan “percikan” dari “kitab samawi” (heavenly book). Selain itu, fitur baru dari surah ini adalah adanya reportase langsung atas beberapa kejadian yang dialami oleh komunitas Al-Qur’an ketika itu, seperti perang Badar (Surah Ali ‘Imrān/3: 123), Uhud (Surah Ali ‘Imrān/3: 155-174), dan event lainnya. Salah satu “pendengar” utama surah-surah Madinah adalah komunitas Yahudi yang secara terbuka terlibat kontak dengan komunitas Al-Qur’an.

2. Pembacaan Intertekstual atas Surah ar- Rahmān dan Psalm.

Perkembangan sejarah Al-Qur’an selanjutnya bisa dilacak lewat telaah struktur mikro masing-masing surah dalam kaitannya dengan teks yang ada di sekitar Al-Qur’an dalam konteks late antiquity. Salah satu contoh yang dikemukakannya adalah analisis intertekstual yang dilakuan Neuwirth antara Surah ar-Rahmān dan Psalm yang notabene merupakan salah satu bagian dari literatur Biblikal yang diidentifikasi dalam Al-Qur’an sebagai Zabur, kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Daud dalam tradisi Islam. Neuwirth mengatakan bahwa teks Psalm hadir dalam Al-Qur’an dalam bentuk tekstual yang cukup konkret sebagai tipe liturgis. Beberapa surah semisal Surah al-Kauṡar, al-A’lā, al-‘Alaq, al-Mursalāt, dan ar-Rahmān mencerminkan sebuah refleksi atas teks-teks dalam Psalm. Dengan hal ini, ia berargumentasi bahwa tradisi liturgis teks Psalm telah dilakukan oleh komunitas Kristiani Suriah yang implikasinya sampai ke Jazirah Arab. Di antaranya hasil dari analisis tersebut adalah adanya beberapa kesamaan formulaik antara kedua teks sebagaimana terlihat dalam dua contoh perbandingan antara Surah ar-Rahmān dan teks Psalm berikut ini:

No. Teks Psalm           Teks ar-Rahmān             Keterangan

 1    e-ʿōsēh ha-shāmayim bitebhūnāh      was-samāʾa rafaʿahā wa waḍaʿal-mīzān        penciptaan 
         kī le-ʿōlām ḥasdō                                                                                                             Langit

      (Ia telah menciptakan langit    (Alloh telah meninggikan langit
      dengan kebijasanaan-Nya,           dan Dia meletakan Neraca/keadilan
      kasih-Nya kekal dan abadi)

2    le-rōqaʿ hā-āreṣ ʿal ham                wal-arḍa waḍaʿahā lil                                     Penciptaan  
      Māyim kī le-ʿōlām ḥasdō,                   anām                                                              Bumi
   
        (Ia telah menebarkan di                      (Alloh telah meratakan  Bumi 
        atas air kasih Nya kekal                     untuk makhluk Nya
        dan Abadi)
Dalam dua contoh perbandingan di atas terlihat adanya sebuah relasi intertekstual antara kedua teks. Dalam hal ini, Neuwirth menggaris bawahi hal penting bahwa refleksi Al-Qur’an terhadap percikan teks Psalm ini tidak bisa dijelaskan dalam konteks “imitatif” atau revisi tekstual yang sengaja dibuat oleh seorang pengarang (authorial revision), mengingat ketika itu tidak ada sebuah teks yang tetap, melainkan hanya sekadar bahasa liturgis yang populer melalui tradisi oral (Neuwirth 2010: 737). Dengan kata lain, ia ingin mengatakan bahwa hal tersebut terjadi secara alami dan niscaya dalam konteks perkembangan bahasa dalam semua konteks, baik secara sinkronik maupun diakronik yang diwarnai dengan berbagai interaksi dialogis dari masa ke masa dengan beberapa komunitas berbeda sebagai agennya. Sebuah kata yang dipakai dalam konteks waktu tertentu memiliki ruang sejarah yang berbeda dengan kata yang sama yang digunakan pada waktu yang lain. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa diskursus dan proses komunikasi yang terjadi. Dalam ketiga contoh di atas jelas terlihat adanya beberapa perbedaan fungsional meskipun pada dasarnya memiliki narasi besar yang sama. Hal ini sebagaimana dinyatakan Sahiron Syamsuddin bahwa meski Mazmur (Psalm) dan Surah ar-Rahmān mempunyai paralelitas maupun interseksi, namun Al-Qur’an memiliki gaya sendiri dalam hal struktur sastra dan spirit yang spesifik dalam hal isi dan pesan (Rahman 2015: 118).

3.Melacak relasi historis antara surah Maryam dan surah Ali- Imron

Pendekatan intertekstual dalam konteks struktur mikro juga diperlihatkan Neuwirth dalam konteks antarsurah Al-Qur’an. Hal ini misalnya ia tunjukkan ketika membahas pertautan antara Surah Maryam dan Surah Ᾱli ‘Imrān sebagai salah satu bagian dari proses kanonisasi Al-Qur’an. Menurutnya,kedua surah tersebut merupakan salah satu contoh yang representative dalam melacak testimoni Al-Qur’an yang merekam tradisi Kristiani dalam fase formatif pembentukan teks Al-Qur’an. Surah Maryam yang  notabene surah makkiyyah mengalami semacam “pembacaan ulang” ketika di Madinah.
Surah Makkiyyah menurutnya tidak merekam sebuah interaksi yang nyata antara komunitas Al-Qur’an dengan doktrin resmi Kristen. Ia hanya merefleksikan sebuah komunitas yang baru lahir yang masuk ke dalam perdebatan di lingkaran doktrin yang telah mengalami sebuah sintesis (Yahudi-Kristen Arab). Buktinya, sosok Yesus dalam Surah Maryam tidak menjadi sentral dalam perdebatan teologis dalam surah ini. Dalam hal ini, iklim Mekah masih menyediakan suatu gambaran yang dini terkait tradisi Biblikal. Surah Ᾱli ‘Imrān bukan hanya sekadar “kelanjutan” dari Surah Maryam tetapi juga merupakan sebuah “pembacaan ulang” (re-reading) dari komunitas Al-Qur’an sehubungan dengan datangnya sebuah perspektif baru. Dalam hal ini, tidak ada indikasi penisbatan kenabian baik terhadap Yesus atau Maryam. Berbeda dengan versi selanjutnya dalam Surah Ᾱli ‘Imrān yang justru berawal dari sebuah “proyek Ketuhanan” (divine project) terkait kenabian yang diberikan kepada beberapa orang yang diekspresikan
dengan rusul, atau nabiyyun, anbiya yang berasal dari kata Ibrani nabhi. Selain itu, dikembangkan juga konsep relasi genealogis antar para nabi; zurriyat (berasal dari bahasa Ibrani zera). Dari sinilah kemudian Surah Ᾱli ‘Imrān menginisiasi konsep “keluarga Imran” sebagai keluarga suci yang dimunculkan sebagai padanan “keluarga Ibrahim” yang terlebih dahulu telah dikenal sejak di Mekah. Di sinilah komunitas Al-Qur’an menurut Neurwith telah melakukan semacam diskursus dengan menginisiasi “genealogi” keluarga
Imran. Hal ini merupakan cerminan sebuah interaksi yang semakin intens antara komunitas Al-Qur’an dengan komunitas Yahudi (Neuwirth 2010: 521). Dengan demikian, Neurwith sampai kepada kesimpulan terkait adanya sebuah Quranic discourse (diskursus Al-Qur’an) terhadap beberapa isu Biblikal yang semakin menguat. Hal ini disebut Neurwith sebagai diskursus “retoris” dalam Al-Qur’an. Hal ini mengingat sosok Maryam sendiri memang telah menjadi perdebatan yang sangat kontroversial baik di kalangan Yahudi maupun Kristiani. Pada akhirnya ia mengatakan bahwa Surah Ali ‘Imrān mencerminkan sebuah kanonisasi dan politisasi dari Surah Maryam. Cerita Maryam kembali disebutkan dalam rangka menegaskan dominasi perempuan dalam genealogi kenabian, sebagai counter (tandingan) terhadap dominasi laki-laki yang direpresentasikan oleh keluarga Ibrahim sebagaimana dipopulerkan oleh tradisi Yahudi. Dalam pertautan diskursus yang kompleks inilah teks Al-Qur’an menjalani proses kanonisasinya.

Kesimpulan

Angelika Neuwirth merupakan salah satu tokoh orientalis yang mewakili studi historis-kritis terhadap Al-Qur’an. Namun, berbeda dari para pendahulunya yang berkesimpulan secara “pesmistik” terhadap orisinalitas teks Al-Qur’an, Neuwirth menyajikan sebuah metodologi pembacaan yang menghasilkan hasil yang “optimis” terhadap orisinalitas teks Al-Qur’an yang ada saat ini. Ia mengambil langkah time frame dalam studi Al-Qur’an (pre-canonical dan post-canonical). Asumsi dasar dalam satu ruang waktu bahwa setiap teks pasti mengalami proses yang disebut dengan sinkronik dan diakronik. Dalam gagasannya mengenai proses diakronik menurut penulis masih membutuhkan kerja keras mengumpulkan dan mengidentifikasi kitab-kitab pada masa late antiquity yang berbahasa Ibrani dan Aramaik yang berhubungan dengan teks Al-Qur’an dan konteks masyarakat saat masa antiquity. Dengan demikian, Neuwirth bukan saja mengkritik para orientalis yang skeptis terhadap Al-Qur’an namun juga para mufasir
klasik yang belum sampai menelaah sisi sinkronik dan diakronik teks Al- Qur’an. Neuwirth membuktikan dengan dua hal; akomodasi terhadap signifikansi konteks late antiquity dalam melihat Al-Qur’an sebagai literatur pasca- Biblikal dan mempopulerkan analisis struktur mikro terhadap eksplorasi kesejarahan Al Qur’an. Dengan demikian, Neuwirth membuka dialog dan kesadaran bahwa berbagai kitab suci telah berbagi sejarah antara satu dengan yang lainnya pada masa late antiquity. Namun, metode baru yang ditawarkan Angelika Neuwirth masih butuh eksplorasi lebih dalam, khususnya mengenai cara pandangnya terhadap teks yang muncul belakangan ke surah yang lebih awal.

Daftar pustaka
Abd. Rahman, Zayad. 2015. “Angelika Neuwirth: Kajian Intertekstualitas dalam Q.S. al-Rahman dan Mazmur 136”, dalam Jurnal Empirisma, Vol. 4, No. 1.
Kalangan Sarjana Barat: Analisis Pemikiran Angelika Neuwirth”, ‘Ulumuna, Vol. 18. No. 2. Desember.
Neuwirth, Angelika. 2001. “Form and Structure of the Qur’an” dalam Jane D. McAuliffe (ed.), Encyclopedia of The Qur’an. Leiden: Brill.
http://jurnalsuhuf.kemenag.go.id

1 comment for "Pemikiran Tokoh Orientalis : Angelika Neuwirth"

  1. kenapa tidak di taruhkan reprensi di mana kakak menemukan tulisannya akan lebih mudah untuk kita juga dalam memahaminya kalau gak ada reprensi kita suka bingung kak minta izin contoh wekipedia

    ReplyDelete