Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Budaya Religius di Lembaga Pendidikan

Landasan Filosofis

Jika dilihat dalam aspek tujuan, maka tujuan pendidikan Islam adalah 1) Menyiapkan seseorang dari segi keaganmaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadist Nabisebab dengan jalan itu potensi iman itu perkua, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yan jika kita mendarah daging,maka ia seakan-akan menjadi fitrah, 2) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak, 3) Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial, 4) Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan, 5) Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai atau keterampilan tertentu. 6) Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina, dan lain-lain.

Sedangkan al-Ghazali mengemukakan bahwa tujuan pendidikan Islam membentuk insan purna yang pada akhirnya mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Ghazali tujuan pendidikan Islam adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari kedudukan.kemegahan, dan kegagahan atau mendapatkan kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan mendekatkan diri pada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan pemusuhan. Di samping itu, tujuan pendidikan Islam adalah membentuk insan purna untuk memperoleh kebahiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Pendidikan itu tidak hanya bertujuan memperoleh dunia saja, an juga tidak hanya bertujuan untuk memperoleh akhirat saja, namun untuk memperoleh keduanya.
Berpijak dari pemikiran bahwa tujuan dari pendidikan agama Islam adalah untuk mensucikan jiwa, membentuk akhlak, menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, bahkna membentuk insan yang kamil, maka diperlukan pengembangan lebih lanjut dalam pembelajaran pendidikan agama Islam sampai menyentuh pada aspek afektif dan psikomotorik melalui penciptaan budaya religius di sekolah, karena rata-rata pembelajaran pendidikan agama di sekolah hanya berpijak pada aspek kognitif saja dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik.

Landasan Yuridis


Landasan yuridis dari penciptaan yaitu UU No. 20 tahun 2003, tentang Sisdiknas, Bab V pasal 12 ayat 1 point a, bahwasanya Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Peningkatan iman dan taqwa serta akhlak yang mulia juga disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X pasal 36 ayat 3, bahwasanya Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan akhlak mulia. Dan pasal 37 ayat 1, menyatakan bahwa Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: pendidikan agama. Dalam PP 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 1 juga dijelaskan Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia; kelompok mata pelajaran kwarganegaraan dan kepribadian; kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, kelompok mata pelajaran estetika; kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga, dab kesehatan.

Dari landasan yuridis tersebut sangat jelas bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dibaca di semua jenjang dan jalur pendidikan. Dengan demikian eksistensinya sangat strategis dalam usaha mencapai tujuan pendidikan nasional secara umum. Maka dari itu, penciptaan budaya religius sebagai upaya pengembangan pembelajaran pendidika agama harus 
dilakukan.

Landasan Historis


Landasan historis ini diambil dari historitas masuknya PAI di sekolah, karena budaya religius merupakan pengembangan dari pendidikan agama Islam di sekolah. Ketika pemerintah Sjahrir menyetujui pendirian Kementrian agama pada 3 Januari 1946, elit Muslim menempatkan agenda pendidikan menjadi agenda utama kementrian agama. Elit muslim melaksanakan dua upaya. Pertama, mengembangkan pendidikan agama (Islam) pada sekolah-sekolah umum yang sejak proklamasi berada di bawah pembinaan Kementrian PPK. Upaya ini meliputi: 1) memperjuangkan status pendidikan agama di sekolah-sekolah umum dan pendidikan tinggi, 2) mengembangkan kurikulum agama, 3) menyiapkan guru-guru agama yang berkualitas, 4) menyiapkan buku-buku pelajaran agama. Kedua, peningkatan kualitas atau modernisasi lembaga-lembaga pendidikan yan selama ini telah memberi perhatian pada pendidikan agama Islam dan pengetahuan umum modern sekaligus. Strateginya adalah: 

1) dengan cara memperbaharui kurikulum yang ada dan memperkuat porsi kurikulum pengajaran umum modern sehingga tak terlalu ketinggalan dari sekolah-sekolah umum, 2) mengembangkan kualitas dan kuantitas guru-guru bidang studi umum, 3) menyediakan fasilitas belajar, seperti buku-buku bidang studi umum, dan 4) mendirikan sekolah kementrian agama di berbagai daerah sebagai percontohan.

Dari sejarah di atas, dapat bahwa salah satu perjuangan elit Muslim Indonesia di awal kemederkaan adalah memperkokoh posisi pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum perguruan tinggi. Maka dari itu, hendaknya di era globalisasi sekarang ini, para praktisi pendidikan Islam hendaknya meningkatkan mutu pendidika agama Islam dengan menciptakan dan mengembangkan budaya religius di sekolah.

Landasan Sosiologis


Landasan sosiologis penciptaan budaya religius adalah terdapatnya 2 macam tipe masyarakat. Pada dasarnya masyarkat dinagi menjadi menjadi masyarakat orde moral dan kerabat sentris. Pada tipe masyarakat orde moral komunitas kehidupan dan mekanismenya masih amat terikat oleh berbagai norma baik buruk yang bersumber dari tradisi sehingga disana banyak dijumpai pantangan yang dapat mengganggu penciptaan buday religius. Sedangkan pada tipa masyarakat kerabat sentris, titk tekannya pada kekerabatan. Adat istiadat memang diwarisi secara turun temurun, namun ada kalanya adat-istiadatnya diganti dengan yang lebih modernis. Masyarakat ini mendukung penciptaan budaya religius. Dari hal tersebut dapat dipahami bahwa budaya religius diciptakan di sekolah sebagai alat penggantian adat istiadat lama dengan adat istiadat modernis.

Di samping itu, penciptaan budaya religius di sekolah dapat mengakibatkan perubahan sikap sosial pada diri anak didik. Hal tersebut dikarenakan dengan adanya budaya religius di sekolah anak menjadi terinternalilsasi nilai-nilai religius dan berusaha mengimplemensikannya dengan akhlak terpuji di kehidupan sehari-hari.

Landasan Psikologis


Budaya religius di sekolah merupakan budaya yang tercipta dari pembiasaan suasana religius yang berlangsung lama dan terus menerus bahkan sampai muncul kesadaran dari semua anggota lembaga pendidikan untuk melakukan nilai religiusitas atau keberagaman. Keberagaman adalah menjalankan agama secara menyeluruh. Dengan melaksanakan agama secara menyeluruh maka seseorang pasti telah terinternalisasi nilai-nilai religius. Budaya religius merupakan hal yang urgen dan harus diciptakan di sekolah, karena sekolah merupakan salah satu lembaga yang mentransformasikan nilai autau melakukan pendidikan nilai. Sedangkan budaya religius merupakan salah satu wahana untuk mentransfer nilai kepada peserta didik. Tanpa adanya budaya religius, maka akan kesullitan melakukan transfer nilai kepada anak didik.

Menutur penelitian Muhaimin, dalam bukunya, kegiatan keagamaan seperti khatmil al-Qur’an dan istighasah dapat menciptakan suasana ketenangan dan kedamaian dikalangan civitas akademika lembaga pendidikan. Maka dari itu, suatu lembaga pendidikan harus dan wajib mengembangkan budaya religius untuk menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi orang yang ada di dalamnya.
Di samping itu, budaya religius juga merupakan sarana penyeimbang kerja otak yang terbagi menjadi dua, kanan dan kiri. Otak merupakan sekumpulan jaringan syaraf yang terdiri dari dua bagian yaitu otak kecil dan otak besar. Pada otak besar terdapat belahan yang memisahkan antara belahan sebelah kiri dan belahan otak kanan. Belahan ini dihubungkan dengan serabut syaraf.

Belahan kiri berfungsi untuk mengembangkan kemampuan berbicara, menulis dan berhitung. Belahan kiri mengontrol kemampuan untuk menganalisis, sehingga berkembang kemampuan untuk berfikir secara sistematis. Artinya dalam menyelesaikan sebuah persoalan, belahan otak kiri akan bekerja berdasarkan fakta dan uraian yang sistematis dan logis. Otak kiri berfungsi sebagai pengendali kecerdasan intelektual (IQ). Daya ingat otak kiri lebih bersifat jangka pendek (short term memory). Secara lebih, luas otak kiri identik dengan rapi, perbedaan, angka, urutan, tulisan, bahsa, hitungan, logika, terstruktur, analitis, matematis, sistematis, linear, dan tahap demi tahap. Apabila terjadi kerusakan pada otak kiri maka akan terjadi gangguan dalam hal fungsi berbicara, berbahasa, dan matematika.

Sedangkan belahan otak kanan berfungssi untuk mengembangkan visual dan spasial (pemahaman ruang). Belahan ini bekerja berdasarkan data-data yang ada dalam pikiran baik berupa bentuk, suara atau gerakan. Intinya otak kanan bekerja dengan lebih menekankan pada berfikir sintetis yaitu menyatukan bagian-bagian informasi yang ada untuk membentuk konsep utuh tanpa terikat pada langkah dan berstruktur. Otak kanan mengarah pada cara berfikir menyebar yang berfungsi dalam perkembang kecerdasan emosional (emotional quotient, EQ) dan identik dengan kreativitas, persamaan, khayalan, bentuk, atau ruang emosi, musik, warna, berpikir lateral,tidak terstruktur dan cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Ketika otak kanan sedang bekerja maka otak kiri cenderung lebih tenang, demikian sebaliknya. Daya ingat otak kanan bersifat panjang (long term memory). Bila terjadi penyakit stroke atau tumor otak, maka fungsi otak yang terganggu adalah kemampuan visual dan emosi.

Berpijak dari teori belahan otak di atas, budaya religius dapat digunakan sebagai media pembelajaran PAI yang prinsipnya bisa langsung aplikasi atau dalam ranah efektif dan psikomotorik, sehingga hal tersebut dapat mempekerjakan otak kanan. Maka, dengan adanya budaya religius di sekolah, otak kanan dan otak kiri mampu bekerja secara bersama-sama, sehingga pada akhirnya perkembangannya menjadi baik.

Landasan Kultural


Budaya organisasi merupakan budaya yang menaungi budaya religius atau dapat dikatakan budaya religius merupakan bagian atau cabang dari budaya organisasi. Karena nilai religius merupakan bagian dari nilai-nilai yang digunakan sebagai dasar budaya organisasi. Maka nilai religius akan termanifestasikan dengan perwujudan budaya religius dilembaga pendidikan.
Para ahli pendidikan dan antropologi sepakat bahwa budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas masyarakat, bahkan identitas lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan secara umum terlihat adanya budaya yang sangat melekat dalam tatanan pelaksanaan pendidikan yang menjadi inovasi pendidikan sangat cepat, budaya tersebut berupa nilai-nilai religius, filsafat, etika dan estetika yang terus dilakukan.

Budaya sekolah dapat berupa suatu komleks ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, aktivitas kelakuan dari manusia dalam lembaga pendidikan, dan benda-benda karya manusia. Budaya yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya adalah budaya religius, merupakan bidang budaya organisasi (organizational culture).

Budaya orgabisasi satu dengan yang lainnya tidak ada yang sama, walaupun organisasinya sejenis. Hal tersebut karena dipengaruhi oleh visi dan misi organisasi tersebut. Maka dari itu, Siswohartono sebagaimana dikutip oleh Ekosusilo, mengatakan bahwa budaya organisasi disebut juga degan sifat-sifat internal yang dapat membedakan dengan organisasi lain. Dalam suatu organisasi di samping terdapat hal-hal yang bersifat hard juga ada yang sifatnya soft. Aspek-aspek termasuk hard antara lain adalah : struktur organisasi, aturan-aturan, kebijakan, teknologi, dan keuangan. Hal-hal tersebut dapat diukur, dikuantifikasikan serta dikontrol dengan relatif mudah. Sedangkan hal-hal yang soft adalah yang terkait dengan the human side of organizational (sisi/aspek manusiawi dari organisasi), meliputi nilai-nilai, keyakinan, budaya, serta norma-norma perilaku. Dimensi hard, sering disebut pula sebagai the classic elements dari suatu organisasi. Meskipun elemen klasik, seperti hirearki, struktur, formalisasi, dan rasionalisasi itu merupakan hal-hal yang penting, namun hal tersebut tidal dapat sepenuhnya menjelaskan perilaku organisasi. Budaya organisasi merupakan hal yang bersifat soft dalam suatu organisasi, yaitu yang terkait dengan the human side of organizational, meliputi nilai-nilai, keyakinan, serta norma-norma perilaku.

Robbins menegaskan bahwa budaya organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama. Dari pengertian buday dan organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi budaya organisasi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya orgaisasi ialah sistem nilai, norma, atau, aturan, falsafah, kepercayaan dan sikap (perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta pola manajemen organisasi.

Landasan Ekonomi 


Jika ditinjau dari segi ekonomi, penciptaan budaya religius di sekolah akan menambah kompetensi peserta didik dalam mengimplementasikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja hali ini menimbulkan dampak positif dalam segi ekonomi peserta didik. Dalam arti jika ia mampu untuk mengembangkan apa yang telah dilakukan terlebih dahulu di sekolah, maka ia akan menjadi dai yang mampu untuk diandalkan dan hal itu bisa menambah segi ekonomi tersendiri.
Selain itu lembaga pun juga terkena dampak dalam aspek ekonomi ini. Yaitu apabila lembaga mengembangkan kewirausahaan yang sesuai dengan budaya serta nilai yang dikembangkan, maka lembaga pendidikan tersebut akan mendapat untung yang cukup menggembirakan.

E. Budaya Lembaga Pendidikan


Para ahli pendidikan dan antropolgi sepakat bahwa budaya adalah dasar terbentuknya kepribadian manusia. Dari budaya dapat terbentuk identitas seseorang, identitas masyarakat bahkan identitas lembaga pendidikan. Di lembaga pendidikan sacara umum terlihat adanya budaya yang sangat melekat dalam tatanan pelaksanaan pendidikan sangat cepat, budaya tersebut berupa nilai-nilai religius, filsafat, etika, dan estetika yang terus dilakukan.

Budaya lembaga pendidikan dapat berupa suatukompleks ide-ide, gagasan nilai-niai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, aktivitas kelakuan dari manusia dalam lembaga pendidikan, dan benda-benda karya manusia. Budaya yang terjadi di lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya adalah religius, merupakan bidang budaya organisasi (organizational culture)

Budaya organisasi satu dengan lainnya tidak ada yang sama, walaupun organisasinya sejenis. Hal tersebut karena dipengaruhi oleh visi dan misi organisasi tersebut. Maka dari itu, Siswohartono sebagaimana dikutip Ekosusilo, mengatakan bahwa budaya oganisasi disebut juga dengan sifat-sifat internal organisasi yang dapat membedakannya dengan organisasi lain. Dalam suatu organisasi disamping terdapat hal-hal yang bersifat hard juga ada yang sifatnya soft. Aspek-aspek termasuk hard antara lain adalah : struktur organisasi, atura-aturan, kebijakan, teknologi, dan keuangan. Hal-hal tersebut dapat diukur, dikuatifikasikan, serta dikontrol dengan relatif mudah. Sedangkan hal-hal yang soft adalah yang terkait dengan the human side of organization (sisi/aspek manusiawi dari organisasi), meliputi nilai-nilai, keyakinan, budaya, serta norma-norma perilaku. Dimensi hard, sering pula disebut sebagai the classic element dari suatu organisasi. Meskipun elemen klasik, seperti hierarki struktur, formalisasi, dan rasionalisasi itu merupakan hal-hal yang penting, namun hal tersebut tidak dapat sepenuhnya menjelaskan perilaku organisasi. Budaya organisasi merupakan hal yang bersifat soft dalam suatu organisasi, yaitu terkait dengan the human side of organizational, meliputi nilai-nilai, keyakinan, serta norma-norma perilaku.

Robbins menegaskan bahwa budaya organisasi adalah persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi itu, suatu sistem dari makna bersama. Menurut Kast dan Rosenzweig, sebagaimana dikutip Sulistiyorini, budaya organisasi adalah seperangkat nilai, kepercayaan dan pemahaman yang penting dan sama-sama dimiliki oleh para anggotanya. Budaya organisasi menyatakan nilai-nilai atau ide-ide dan kepercayaan bahwa yang sama-sama dianut oleh para anggota itu terwujud dalam alat-alat simbolis seperti mitos, upacara, cerita, legenda, dan bahasa khusus.

Dari pengertian budaya organisasi baik secara umum maupun secara khusus dan begitu juga dari definisi budaya organisasi di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa budaya organisasi ialah, sistem nilai, norma, atau aturan, falsafah, kepercayaan dan sikap (perilaku) yang dianut bersama para anggota yang berpengaruh terhadap pola kerja serta pola manajemen organisasi.

Dalam konteks lembaga pendidikan, budaya organisasi diartikan sebagai berikut :
Pertama, sistem nilai yaitu keyakinan dan tujuan yang dianut bersama yang potensial membentuk perilaku mereka dan bertahan lama meskipun sudah terjadi pergantian anggota. Dalam lembaga pendidikan, misalnya budaya lingkungan belajar, semangat belajar, cinta kebersihan, dan lain-lain luhur lainnya.

Kedua, norma perilaku yaitu cara berperilaku yang sudah lazim digunakan dalam sebuah organisasi yang bertahan lama karena semua anggotanya mewariskan perilaku tersebut kepada anggota baru. Dalam lembaga pendidikan, perilaku ini antara lain berupa semengat untuk selalu giat belajar, selalu menjaga kebersihan, bertutur kata santun, dan berbagai perilaku mulia lainnya.

Kotter dan Haskett, sebagaiamana dikutip Ekosusilo, mengidentifikasi bahwa budaya organisasi muncul dalam dua tingkatan, yaitu tingkatan yang tidak terlihat dan yang terlihat. Tingkatan yang tidak terlihat berupa nilai-nilai yang dianut bersama oleh anggota kelompok cenderung bertahan meskipun anggotanya sudah berganti. Nilai-nilai ini sangat sukar untuk berubah dan anggotanya seringkali terlihat tidak menyadari karena banyaknya nilai. Tingkatan yang terlihat berupa pola perilaku dan gaya karyawan suatu organisasi, di mana orang-orang yang baru masuk terdorong untuk mengikutinya. Budaya organisasi sekolah dapat dikuaifikasikan menjadi dua yaitu yang tampak (tangible) dan tidak tampak (intingible). Aspek yang tidak tampak dari sebuah budaya meliputi nilai-nilai, keyakinan, dan ideologi yang berkaitan dengan pertanyaan “Apakah yang seharusnya dilakukan di sekolah ini ?” Jawabannya diwujudkan dalam hal-hal tangible (yang tampak) baik dalam bentuk kalimat (lisan atau tulisan), perilaku yang ditampilkan, bangunan, fasilitas serta benda-benda yang digunakan.
Budaya dalam kehidupan adalah memperekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh para karyawan dan guru. Akhirnya budaya dapat berfungsi sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku warga madrasah yang ada. Fungsi yang terakhir inilah yang sangat menarik perhatian kita.

Dalam budaya yang dilakukan adalah seolah-olah bahwa menerima tawaran kerja karena mendapatkan kecocokan individu organisasi. Kemudian dengan kecocokannya itu maka pekerja tersebut senang dan tersenyum karena dalam bertindak terdapat keseragaman yang sekaligus mereka mempertahankan citra, karena didukung oleh budaya yang kuat aturan dan keteraturan yang formal.
Disisi lain kita dapat melihat bahwa budaya dapat menjadi penghalang terhadap suatu perubahan bahkan budaya merupakan suatu beban bilamana nilai-nilai bersama tidak cocok dengan nilai yang akan meningkatkan keefektifan organisasi itu. Dalam hal ini, apabila di dalam suatu organisasi tersebut memerlukan hal yang baru dan sangat dinamis sementara di situ terdapat budaya yang berakar dari organisasi itu yang sudah tidak tepat lagi dalam mrlakukan perubahan serta menjadikan tidak dinamisnya suatu organisasi. Model semacam ini akan membebani organisasi tersebut dan menyulitkan, terutama dalam menanggapi perunahanperubahan dalam lingkungan itu.

Dalam mengubah perilaku seseorang baik individu maupun kelompok di dalam organisasi budaya sangat berperan dan sangat efektif dalam pencapaian tujuan organisasi, baik dalam pencapaian prestasi dan lain-lain. Budaya dalam sebuah organisasi terkadang kuat dan ada pula yang lemah. Budaya organisasi dikatakan kuat apbila nilai-nilai, sikap dan kepercayaan bersama tersebut dipahami serta dianut dengant teguh dan komitmen yang tinggi, sehingga rasa kebersamaan dapat tercipta. Dan sebaliknya budaya yang lemah maka tercermin pada kurangnya komitmen anggota karyawan terhadap 
nilai-nilai kepercayaan dan sikap bersama ang bisa dilakukan atau disepakati .

Dalam konteks lembaga endidikan, budaya organisasi merupakan budaya yang menaungi budaya religius atau dapat dikatakan budaya religius merupakan bagian atau cabang dari budaya organisasi. Karena nilai religius merupakan bagian dari nilai-nlai yang digunakan sebgai dasar budaya organisasi. Maka nilai religius akan termanifestasikan dengan perwujudan budaya religius di lembaga pendidikan.

F. Proses Pembentukan Budaya Religius di Lembaga Pendidikan

 
Secara umum budaya dapat terbentuk secara perscriptive dan dapat juga secara terprogram sebagai learning process atau solusi terhadap suatu masalah. Pertama, terbentuknya budaya religius di lembaga pendidikan melalui penurutan, peniruan, penganutan, dan penataan suatu skenario (tradisi, perintah) dari atas atau luar pelaku budaya yang bersangkutan. Pola ini disebut pola pelakonan, modelnya sebagai berikut :


Gambar Pola Pelakonan
 
Kedua, adalah pemebntukan budaya secara terprogram melalui learning process. Pola ini bermula dari dalam diri pelaku budaya dan suara kebenaran, keyakinan, anggapan dasar atau dasar yang dipegang teguh sebagai pendirian, dan diaktualisasikan menjadi kenyataan melalui sikap dan perilaku. Kebenaran itu diperoleh melalui pengalaman atua pengkajian trial and error dan pembuktiannya adalah peragaan pendirian tersebut. Iulah sebabnya pola aktualisasinya ini disebut pola peragaan. Berikut modelnya :


Gambar Pola Peragaan 

Budaya religius yang telah terbentuk di lembaga pendidikan beraktualisasi ke dalam dan ke luar pelaku budaya menurut dua cara. Aktualisasi budaya ada yang berlangsung secara convert (samar/tersembunyi). Yang pertama adalah aktualisasi budaya yang berbeda antara aktualisasi ke dalam dan ke luar, ini disebut convert, yaitu seseorang yang tidak berterus terang, berpura-pura, lain dimulut lain di hati, penuh kiasan, dalam bahasa lambing, ia diselimuti rahasia. Yang kedua adalah aktualisasi budaya yang tidak menunjukkan peerbedaan antara aktualisasi ke dalam dengan aktualisasi ke luar, ini disebut dengan overt. Pelaku overt selalu berterus terang dan langsung pada pokok pembicaraan.

G. Urgensi Penciptaan Budaya Religius di Lembaga Pendidikan


Budaya religius di lembaga pendidikan merupakan budaya yang tercipta dari pembiasaan suasana religius yang berlangsung lama dan terus menerus bahkan sampai muncul kesadaran dari semua anggota lembaga pendidikan untuk melakukan nilai religius itu. Pijakan awal dari budaya religius adalah adanya religiusitas atau keberagamaan. Keberagamaan adalah menjalankan agama secara menyeluruh. Dengan melaksanakan agama secara menyeluruh maka seseorang pasti telah terinternalisasi niliai-nilai religius.

Budaya religius merupakan hal yang urgen dan harus diciptakan di lembaga pendidikan, karena lembaga pendidikan merupakan salah satu lembaga yang mentransformasikan nilai atau melakukan pendidikan nilai. Sedangkan budaya religius merupakan salah satu wahana untuk mentransfer nilai kepada peserta didik. Tanpa adanya budaya religius, maka pendidik akan kesulitan melakukan transfer nilai kepada anak didik dan transfer nilai tersebut tidak cukup hanya dengan mengandalkan pembelajaran di dalam kelas. Karena pembelajaran di kelas rata-rata hanya menggembleng aspek kognitif saja.

Menurut penelitian Muhaimin, dalam bukunya, kegiatan keagamaan seperti khatmil al-Qur’an dan istighasah dapat menciptakan suasana ketenangan dan kedamaian di kalangan iviutas akademika lembaga pendidikan. Maka dari itu, suatu lembaga pendidikan harus dan wajib mengembangkan budaya religius untuk menciptakan ketenangan dan ketentraman bagi orang yang ada di dalamnya.

H. Model Pembentukan Budaya Religius di Lembaga Pendidikan


Model biasanya di anggap benar, tetapi bersifat kondisional. Oleh karena itu, model penciptaan budaya religius sangat dioengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan beserta penerapan nilai-nilai yang mendasarinya. Pada dasarnya model penciptaan budaya religius sama dengan model penciptaan suasana religius. Karena budaya religius pada mulanya selalu didahului oleh suasana religius. Model penciptaan budaya religius di lembaga pendidikan dapat dipilah menjadi empat macam, antara lain :

a. Model struktural, yaitu penciptaan budaya religius yang disemangati oleh adanya peraturan-peraturan, pembanguna kesan, baik dari dunia luar atas kepemimpinan atau kebijakan suatu lembaga pendidikan atau suatu organisasi. Model ini biasanya bersifat “top-down”, yakni kegiatan keagamaan yang dibuat atas prakarsa atau instruksi dari pejabat atau pimpinan atasan.

b. Model formal, yaitu penciptaan budaya religius yang didasari pemahaman bahwa pendidikan agama adalah upaya manusia untuk mengajarkan masalah-masalah kehidupa akhirat saja atau kehidupan ruhani saja, sehingga pendidikan agama dihadapkan dengan pendidikan non-keagamaan, pendidikan ke-Islam-an dan non ke-Islam-an, pendidikan Kristen dan non Kristen, demikian seterusnya. Model penciptaan budaya religius tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidkan agama yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting. Model ini biasanya menggunakan cara pendekatan yang bersifat keagamaan normatif, doktriner, dan absolutis. Peserta didik diaahkan untuk menjadi pelaku agama yang loyal, memiliki sikap commitment dan dedikasi.

c. Model mekanik, penciptaan budaya religius yang didasari oleh pemahaman bahwa kehidupan teriri atas berbagai aspek ; dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya. Masing-masing gerak bagaikan sebuah mesin yang terdiri atas bebebrapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antar satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak dapat berkonsultasi. Model tersebut berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afekti daripada kognitif dan psikomotorik. Artinya dimensi kognitif dan psikomotorik diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran yang lainnya (kegiatan dan kajian-kajian keagamaan hanya untuk pendalaman agama dan kegiatan spiritual)

d. Model organik, yaitu penciptaan budaya religius yang disemangati oleh adanya pandangan bahwa pendidikan agama adalah kesatuan atau sebagai sistem (yang terdiri atas komponen-komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup agamis, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup yang religius. Model penciptaan budaya religius ini berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok. Kemudian bersedia dan mau menerima kontribusi pemikiran dari para serta mempertimbangkan konteks historisitasnya. Karena itu, nilai-nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai nilai-nilai insani yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensual, tetapi harus berhubungan vertikal-linier dengan nilai Ilahi/keagamaan.

I. Budaya Religius di Lembaga Pendidikan


Budaya religius yang ada di lembaga pendidikan biasanya bermula dari penciptaan suasana religius yang disertai penamaman nilai-nilai religius secara istiqomah. Penciptaan suasana religius dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan keagamaan di lingkungan lembaga pendidikan. Karena apabila tidak diciptakan dan dibiasakan, maka budaya religius tidak akan terwujud.

Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture) di lingkungan lembaga pendidikan antara lain pertama, melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan religius secara rutin berlangsung pada sehari-hari belajar biasa di lembaga pendidikan. Kegiatan rutin ini dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama bukan hanya guru agama saja melainkan juga tugas dan tanggungjawa guru-guru bidang studi lainnya atau sekolah. Pendidikan agama pun tidak terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku, dan pengamalan keagamaan. Untuk itu, pembentukan sikap, perilaku, dan pengamalan keagamaan pun tidak hanya dilakukan oleh guru agama, tetapi perlu didukung oleh guru-guru bidang studi lainnya.

Kedua, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang mendukung dan menjadi laboratorium dari penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang cara belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan lembaga pendidikan dapat menumbuhkan budaya religius (religius culture). Lembaga pendidika mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan lembaga ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat, sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal oleh guru agama dengan materi pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajran agama. Manfaat pendidikan secara spontan ini menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung pula mampu memperbaikinya. Manfaat lainnya dapat dijadikan pelajaran atau hikmah oleh peserta didik lainnya, jika perbuatan salah jangan ditiru, sebaliknya jika ada perbuatan yang baik harus ditiru.

Keempat, menciptakan situasi atau keadaan religius. Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengembangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagainkagiatan yang dilakukan oleh guru dan peserta didik. Oleh karena itu keadaan atau situasi kagamaan di sekolah yang dapat diciptakan antara lain pengadaan perlatan peribadatan seperti tempat untuk sholat (masjid atau mushalla), alat-alat shalat seperti sarung, peci, mukena, sajadah atau pengadaan al-Qur’an. Selain itu di ruangan kelas bisa pula ditempelkan kaligrafi, sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Selain itu dengan menciptakan suasana kehidupan keagamaan disekolah antara sesama gur, guru dengan peserta didik, atau peserta didik dengan peserta didik lainnya. Misalnya, dengan mengucapkan kata-kata baik ketika bertemu atau berpisah, mengawali dan mengakhiri suatu kegiatan, mengajukan pendapatan atau pertanyaan dengan cara yang baik, sopan, santun, tidak merendahkan peserta didik lainnya, dan sebagainya.

Kelima, memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah/madrasah untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama dalam keterampilan dan seni, seperti membaca al-Qur’an, adzan, sari tilawah, serta untuk mendorong peserta didik sekolah mencintai kitab suci, dab meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Qur’an. Dalam membahas suatu materi pelajaran agar lebih jelas guru hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas yang sesuai berlandaskan pada al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalm setiap kesempatan guru harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagaman yang beanar. Guru memperhatikan minat keberagamaan peserta didik. Untuk itu guru harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagamaan dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti shalat, puasa, dan lain-lain.

Keenam, menyelenggarakan berbagai macam perlombaan seperti cerdas cermat untuk melatih dan membiasakan keberanian, kecepatan, dan ketepatan menyampaikan pengetahuan dan mempraktekkan materi pendidikan agama Islam. Mengadakan perlombaan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan bagi peserta didik, membantu peserta didik dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, menambahkan rasa kecintaan. Perlombaan bermanfaat sangat besar bagi peserta didik berupa pendalaman pelajaran yang akan membantu mereka untuk mendapatkan hasil secara maksimal. Perlombaan dapat membantu para pendidik dalam mengisi kekosongan waktu peserta didik dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dan perkelaian pelajar dapat dihindarkan. Dari perlombaan ini memberikan kreativitas kepada peserta didik dengan menanamkan rasa percaya diri pada mereka agar mempermudah bagi peserta didik untuk memberikan pengarahan yang dapat mengembangkan kreativitasnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam perlombaan itu antara lain adanya nilai pendidikan di mana peserta didik mendapatkan pengetahuan, nilai sosial, yaitu peserta didik bersosialisasi atau bergaul dengan yang lainnya, nilai akhlak yaitu dapat membedakan yang benar dan yang salah, seperti adil, jujur, amanah, jiwa sportif, mandiri. Selain itu ada nilai kreativitas dapat mengekspresikan kemampuan kreativitasnya dengan cara mencoba sesuatu yang ada dalam pikirannya.

Post a Comment for "Budaya Religius di Lembaga Pendidikan"