Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH USHUL FIQIH : IJTIHAD


MAKALAH USHUL FIQIH
IJTIHAD
Dosen Pengampu : Mukhsinun, S.H.I., M.E.I.
Disusun oleh:
1.     Ahmad Muqorobin
2.     Putri Nova Khairunisa
3.     Rizky Irfani

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA (IAINU)
KEBUMEN
Tahun Pelajaran 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.
Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rasullullah maupun yang baru terjadi.
B.      Rumusan Masalah
1.         Apakah yang dimaksud dengan Ijtihad?
2.      Apa saja yang menjadi dasar hukum Ijtihad?
3.      Apa yang menjadi objek Ijtihad?
4.      Apa syarat-syarat mujtahid?
5.      Sebutkan beberapa tingkatan dari mujtahid!
6.       Sebutkan pembagian ijtihad!
C.      Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian ijtihad
2.      Untuk mengetahui dasar hokum dari ijtihad
3.      Untuk mengetahui apa saja objek dari ijtihad
4.      Untuk mengetahui apa saja syarat untuk menjadi mujtahid
5.      Untuk mengetahui tingkatan dari mujtahid
6.      Untuk mengetahui pembagian ijtihad





















BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). ([1]) Dengan kata lain, Ijtihad secara etimologi adalah pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan sesuatu urusan atau sesuatu perbuatan.[2] Dalam Al-Qur’an disebutkan:

                                                                        وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
Artinya:
“…Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan.” Q.S. At-Taubah:79)
Kata al-jahd bbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
                        Dalam pengertian inilah, Nabi mengungkapkan kata-kata:

                                                                                                صَلُّوْا عَلَيَّ وَجْتَهِدُا وْ فِى الدُّعَاءِ  

Artinya :
Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”

                                                                                    وَأَمَّاالسُّجُوْدُ فَاجْتَهِدُوْا فِى الدُّعَاءِ        
Artinya :
Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa.”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.[3]


Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta’ pada kata ja-ha-da menjadi ijtahada  pada wajan if-ta-a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-sungguh”. Seperti halnya ka-sa-ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan sungguh-sungguh”. Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan daya upaya (istifragh al-wus’ atau badzl al-wus’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.([4])
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh ulama ushul fiqih, namun intinya adalah sama. Sebagai berikut:
1.      Ibnu Abd al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai ke tingkat zhanni (dugaan keras) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa lagi berupaya lebih dari itu.”
2.      Al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam upaya menemukan hukum-hukum syara’.”
3.      Abu Zahra, ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal abab kedua puluh ini mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari satu per satu dalilnya.
Pada definisi ketiga ini, ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-dalilnya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakuka ijtihad itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ke tingkay zhanni (dugaan kuat), sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah dimaklumi bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.               

Abdul Wahhab Khallaf menerangkan ijtihad dalam arti luas yang meliputi beberapa hal berikut:
a.       Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang dikehendaki oleh nas yang zanni dalalahnya.
b.      Pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan hukum syarak yang amali dengan menetapkan kaidah syar’iyah kulliyah.
c.       Pencurahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syarak yang ‘amali mengenai masalah yang tidak ditunjuki hukumnya oleh nas dengan sarana-sarana yang diperbolehkan oleh syarak guna ditetapkan hukumnya

B.     Dasar Hukum
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, diantaranya:
1.      Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 105
                                                إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ
Artinya :
sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu.”
2.       Firman Allah SWT Q.S. An-Nisa ayat 59:
                                    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ                                                                         إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
      Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadis dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam Al-Qur’an karena persamaan ‘illatnya seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.[5]

C.     Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qathi’. Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam dua bagian:
1)      Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada dalil-dalil yang qathi’, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan lain-lain. Semua itu telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.

                                                                              وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
        Artinya :
        “Dan dirikanlah shalat tunaikanlah zakat….” (Q.S. An-Nur ayat 56)
      Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud shalat.
2)      Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya (tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
        Apabila ada nash yang keberadaanya masih zhanni, hadis ahad misalnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain. Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan memakai kaidah ‘am, khas, mutlaq muqayyad, dan lain-lain.
      Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nashnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain. Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.

D.    Syarat-syarat menjadi Mujtahid
                Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkan syarat-syarat  ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, baik menurut bahasa maupun syari’ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Aman Ghazali, Ibnu Arabian, dan Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak 500 ayat.
2)      Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun syari’at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghafal, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia membutuhkannya. Ibnu Arabian membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu Hanbal, dasar ilmu yang berkaitan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200 hadis. Oleh karena itu, pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.([6])
3)      Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Qur’an dan As-Sunah, supaya tidak salah dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghafalnya. Di antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah kitab karangan Ibnu Khujaimah, Abi Ja’far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan lain-lain.
4)      Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma’. Kitab yang bisa dijadikan rujukan di antaranya Kitab Maratibu al-Ijma’.
5)      Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratan serta meng-istinbatnya, karenaqiyas merupakan kaidah dalam berijtihad
6)      Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain karena Al-Qur’an dan As-Sunnah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Qur’an atau Al-Hadis.
7)      Mengetahui ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan, menurut Fakhru Ar-Razi, ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah ilmu Ushul Fiqih
8)      Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari’at) secara umum, karena bagaimanapun juga syari’at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari’ah atau rahasia disyari’atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada istihsan, maslahah mursalah, urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu Asy-Syari’ah sebagai standarnya.

E.     Tingkatan Mujtahid
Dalam menbicarakan masakah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijtihad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda.
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang diijtihadkan, tingkatan mujtahid terdiri atas mujtahid fisy syar’i, mujtahid fil masa’il, mujtahid fil mazhab, dan mujtahid muqayyad :
a)      Mujtahid Fisy Syar’i
Mujtahid fisy syar’I adalah orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah syariat yang hasilnya diikuti dan dijadikan pedoman oleh orang-orang yang tidak sanggup berijtihad. Merekalah yang membangun mazhab-mazhab tertentu. Ijtihad yang mereka lakukan semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mengambil pendapat orang lain. Oleh karena itu, mereka disebut dengan mujtahid mustaqil (berdiri sendiri). Mereka yang termasuk mujtahid fisy syar’i antara lain Imam Hanafi, Iman Malik, Iman Syafi’i Iman Ahmad bin Hambal, Iman Al Auza’i dan Ja’far As Siddiq.

b)     Mujtahid Fil Masa’il
Mujtahid fil masa’i adalah mujtahid yang mengarahkan ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu mazhab, bukan kepada dasar-dasar pokok yang bersifat umum. Misalnya, At Tahawi merupakan mujtahid dalammazhab Hanafi, Imam Al Gazali merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i, dan Al Khiraqi merupakan mujtahid dalam mazhab Hambali.

c)      Mujtahid Muqayyad
Mujtahid muqayyad adalah mujtahid yang mengikatkan diri dan menganut pendapat-pendapat  ulama salaf dengan mengetahui sumber-sumber hukum dan dalalah-dalalahnya. Mereka mampu menetapkan pendapat yang lebih utama di antara pendapat yang berbeda-beda dalam suatu mazhab dan dapat membedakan antara riwayat yang kuat dan yang lemah. Mereka adalah Al Karakhi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Hanafi serta Ar Rafi’i dan An Nawawi yang merupakan mujtahid dalam mazhab Syafi’i.

F.      Pembagian Ijtihad
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Iman Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua macam, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas, dan akal.
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahi, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau tidak. Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi kitab Al-Muwafakat, yaitu:
a.       Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
b.      Ijtihad Aal-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c.          Ijtihad al-istislah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishla. ([7])

Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Ijtihad Fardi, menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh perorangan atau hanya beberapa orang ijtihad. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh para iman mujtahid besar: iman Abu Hanifah, Iman Malik, Iman Syafi’I, dan Ahmad bin Hanbal.
b.      Ijtihad Jama’i, adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat Muhammad SAW setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam sejarah Ushul Fiqh, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu fikih. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti dikemukakan al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, disamping bukan berarti melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.

Ijtihad dilihat dari segi objek kajianya dan relevansinya dengan masalah-masalah kontemporer. Menurut al-Syathibi[8](w 770 H/1388 M), Tokoh Ulama Ushul Malikiyah membagi menjadi dua:  
a.      Ijtihad Istinbathi
 Ijtihad istinbathi adalah ijtihad yang dilakukan mendasarkan pada nash-nash Syara`dalam meneliti dan menyimpulkan ide hukum yang terkandung di dalamnya.Dan hasil ijtihad yang diperoleh tersebut selanjutnya menjadi tolak ukur dan diterapkan dalam suatu permasalahan hukum yang dihadapi . Oleh karena ijtihad ini berhadapan langsung dengan nash-nash Syara` maka seorang mujtahid harus memenuhi persyaratan-persyaratan untuk berijtihad dengan sempurna, karena sulitnya untuk mencapai persyaratan-persyaratan itu menurut al-Sathibi mujtahid dalam ijtihad istinbath di zaman modern ini kemungkinan terputus[9]. Khususnya sekarang ini dengian diperketat dan dipersempitnya spesialisasi ilmu sehingga cenderung seseorang hanya menguasai satu bidang ilmu saja. Berbeda dengan Ulama-ulama zaman terdahulu pada umumnya menguasai berbagai bidang ilmu secara integral.
b.      Ijtihad Tathbiq
Jika ijtihad isthinbati mendasrkan pada nash-nash, maka ijtihad tathbiqi mendasarkan pada suatu permasalahan yang terjadi dilapangan . Dalam hal ini seorang mujtahid mujtahid berhadapan langsung dengan objek hukum dimana ide atau subtansi hukum dari produk ijtihad istinbathi akan diterapkan.
 Bagi seorang mujtahid ijtihad ini dituntut untuk memahami Maqashid as-Syar`i secara  mendalam ,hal ini dimaaksudkan apakah ide hukum yang dihasilkan jika diterapkan pada kaus yang dihadapi dapan mencapai Maqashid as-Syar`i atau tidak. Menurut al-Syathibi ijtihad inilah yang nantinya takkan terputus sampai kapanpun, sebab hal ini menyangkut hubungan masalah-masalah kehidupan sepanjang masa.

Ijtihad dari segi relevansinya menurut Yusus Qordlowi (ahli fiqih kontemporer dari Mesir)bahwa ijtihad yang perlu kita lakukan untuk masa kini ada dua macam:
a.      Ijtihad Intiqa`i ialah memilih dari satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat dalam warisan fiqih islam yang penuh dengan fatwa dan putusan hukum. Pendapat-pendapat ahli Fiqih terdahulu disamping ada yang tidak sesuai juga masih banyak yang sesuai diterapkan di zaman modern ini, tidak jarang dalam satu permasalahan dapat didapatkan lebih dari saatu ketetapan hukum.
Oleh karena itu seorang mujtahid dengan upaya yang cermat bisa memilih pendapat yang lebih kuat dan relevan untuk diterapkan dewasa ini[10]. Dalam hal ini seorang mujtahid tidak terikat oleh salah satu pendapat ulama tertentu, akan tetapi ia melihat semua pendapat yang ada, membandingkan dan meneliti dalil-dalil yang mereka ketengahkan, kemudian secara obyektif memilih salah satu pendapat yang paling kuat dan lebih cocok untuk diterapkan.
b.      Ijtihad Insyai ialah pengambilan kesimpulan hukum baru dari suatu persoalan, yang pernah dikemukakan oleh ulama-ulama terdahulu, baik persoalan baru atau lama.Jika masalah yang sedang dikaji itu baru yang sama sekali belum pernah ditemukan kasus ataupun hukumnya dalam khazanah fiqih islam, maka mujtahid Munsyi berupaya untuk menentukan hukumnya dengan meneliti dan memahami secara menyeluruh kasus yang dihadapi, sehingga dengan tepat ia akan menentukan hukumnya sesuai yang dikehendaki tujuan Syari`at yang ada .
Jika masalah yang sedang dikaji oleh mujtahid Munsyi itu kasus dan hukumnya pernah diketengahkan oleh para ulama sebelumnya, maka seorang mujtahid Munsyi dapat melakukan ijtihad dengan mengeluarkan pendapat baru diluar pendapat yang sudah ada. Pada zaman modern ini pembahasan dan penelitian harus dilakukan dengan melibatkan berbagai ahli yang terkait dalam bidang masalah yang dihadapi, hal ini dimaksudkan agar masalah yang sedang dicari hukumnya dapat dikaji secara detail dari berbagai aspeknya, inilah yang disebut ijtihad jama`i yang menurut Muhammad Iqbal[11] (w.1357 H/1938 M) tokoh modernis Islam Pakistan, merupakan cara yang paling tepat untuk menggerakan spirit dalam sistem hukum islam yang selama telah hilangdari umat Islam.([8])
















BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam. Tujuan ijtihad dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai solusi terhadap problematika tersebut. Ijtihad merupakan sumber hukum ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-hadits yang mendapatkan legitimasi dari keduanya. Sebenarnya ijtihad bukanlah suatu yang baru, melainkan sudah ada pada masa Rasulullah. Hal ini sudah dilakukan oleh Nabi, sahabat, tabi’in dan para ulama klasik, namun tidak sembarangan orang diperbolehkan untuk melakukan ijtihad, akan tetapi harus memenuhi criteria tertentu.
Melakukan ijtihad bagi seorang mujtahid dapat mencapai hukum wajib ain, fardhu kifayah, dan sunnat. Adapun untuk menjadi mujtahid disyaratkan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang Al-Quran dan As-Sunnah dari berbagai aspeknya, memahami masalah yang sudah disepakati ulama, memahami bahasa Arab, dan mengetahui ushul fiqh.
Mujtahid dibedakan pada mujtahid mutlaq dan mujtahid muntasib. Pendekatan dalam ijtihad dilakukan dengan ijma, qiyas, maslahat, istihsan, istishab, syaru’ man qablana, dilalah iqtiran, sadudzarai’, madzhab sahabi, ‘urf, ta’adul dan tarjih.

   









[1] Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97
[2] Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57
[3] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97-98
[4] Ibid. h. 98
[5] Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN  SU Medan,  h. 86
[6] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104-105
[7] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 104
[8] http://alihasim.blogspot.co.id/2016/08/pembagian-pembagian-ijtihad.html

Post a Comment for "MAKALAH USHUL FIQIH : IJTIHAD"