Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

ANTROPOLOGI DALAM TAFSIR


ANTROPOLOGI DALAM TAFSIR
Oleh: Muhammad Mu’tiq Rosyadi (1631049)
Pembahasan
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau. Sedangkan sosiologi adalah ilmu tentang sifat, perilaku dan perkembangan masyarakat, ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan perubahannya .
Salah satu pendekatan tafsir modern adalah melalui pendekatan sosial. Corak ini muncul sebagai salah satu corak tafsir modern sebagaimana dikatagorikan Dr. Muhammad Hussein adz-Dzahabi . Di antara tokoh-tokohnya –tutur adz-Dzahabi- Syeikh Muhammad Abduhdan muridnya Sayyed Rasyid Ridha serta Syeikh Musthafa al-Maraghi. Corak sosial yang dimaksudkan adz-Dzahabi di sini adalah sebagai sebuah pendekatan dalam kerangka menyuguhkan solusi bagi beberapa problematika sosial, dan bukan sekedar interpretasi kering yang berpijak pada linguistik dan pemaknaan atas kata-kata serta satuan-satuan bahasa saja. Namun, Abduh – yang dikenal reformis juga- mewanti-wanti urgensi filterisasi kemurnian akidah ini dari ”penyelundupan” tafsir yang salah sehingga mengakibatkan perubahan yang eksterm dalam kehidupan umat Islam ke arah yang desdruktif .
Belakangan, seiring dengan perkembangan filsafat modern pendekatan sosial dalam kajian keislaman pun mengalami berbagai pergeseran pemahaman. Memang benar obyek dan sasarannya tak mengalami pergeseran, namun ada perluasan titik studi. Menjadi bukan sekedar mempelajari manusia dan budayanya, akan tetapi meluas pada pengaruh budaya dan lingkungan terhadap perilaku keberagamaan seseorang atau sebuah komunitas sosial. Simpelnya akan ada blok-blok eksklusif dalam praktek keberagamaan bila kurang tepat dalam melakukan pendekatan sosial. Terlebih bila penekanan pendekatan metode ini dititikberatkan pada budaya dan kelekatan perilaku keberagamaan sebuah komunitas tertentu. Bisa jadi akan mengebiri universalitas al-Qur’an. Karena tidak mustahil akan ada penafsiran regional atas al-Qur’an sesuai komunitas sosialnya. Ada tafsir sosial Arab, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Timur, Afrika, Eropa dan lain sebagainya yang bercorak eksklusif.
Padahal antropologi sebagai sebuah ilmu kemanusiaan sangat berguna untuk memberikan ruang tafsir yang lebih elegan dan luas. Sehingga nila-nilai dan pesan al-Qur’an bisa disampaikan pada masyarakat yang heterogen.
Oleh pengusung sekaligus penganut hermeneutika, semisal Nasr Abu Zeid –intelektual Mesir yang menjadi Guru Besar Islamic Studies di Universitas Leiden- dengan jargon ”produk budaya”nya sebenarnya tidaklah membidik langsung al-Qur’an. Karena beliau tidak sedang berlogika al-Quran adalah [hasil] karya [budaya] manusia, meskipun bisa jadi hendak menggugat sakralitasnya. Namun, sasaran tembak beliau adalah buku-buku tafsir otoritatif yang ditulis oleh para mufassir salaf. Karena mereka –para mufassir salaf- menurutnya tidak menguasai antropologi dan sosiologi modern. Dikarenakan mereka hidup di masa yang berbeda dengan kita. Maka, sebagian penafsiran mereka menjadi tidak relevan dengan kondisi sosial modern. Dan memang perbedaan itu selalu terjadi bahkan di antara para mufassir yang sezaman. Namun, naif bila mengecilkan peran mereka sama sekali. Bangunan metodologi para mufassir dan fuqahâ dengan berbagai klasifikasinya menjadi buyar –hanya- karena mereka ketinggalan ”pelajaran” yang bernama sosiologi modern dan antropologi. Muhammad al-Ghazali mengakui bahwa al-Quran bukan semata menjadi monopoli tempat istinbâth para fuqahâ. Karena al-Quran memberi ruang yang luas juga bagi para mufassirin, pakar bahasa dan mutakallimin untuk ikut menikmati al-Qur’an sebagai jalan memopulerkan kemukjizatannya .
Urgensi Pendekatan Antropologi dalam Studi Tafsir
Seberapa pentingkah metodologi antropologi sosial dalam studi tafsir? Di dalam al-Qur’an banyak kita jumpai urgensi peran sebuah tokoh. Sebagai contoh kata al-muttaqûn /al-muttaqîn sebagai sarana menjelaskan hakikat ketakwaan seperti yang terdapat pada awal surah al-Baqarah dan Ali Imran, ayat: 133-136, ash-shabirûn/ash-shabirîn dipakai untuk memaparkan konsep kesabaran, shadiqun/shadiqin/ shadiqâtuntuk lebih mendalami makna kejujuran, kesungguhan serta etios kerja, serta kata-kata pelaku (fa’il) lainnya.
Ini menunjukkan betapa pentingnya manusia sebagai pelaku peradaban. Maka mempelajari segala sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, terlebih dalam konteks memahami kitab Allah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Inilah -yang dalam bahasa Syeikh Muhammad Abu Syahbah- al-Qur’an disebut sebagai pintu ilmu-ilmu modern sebagai perangkat mengikuti kemajuan zaman.
Contoh lain, adalah klasifikasi surat-surat al-Qur’an menjadi makky dan madany. Yang tentunya sangat memperhatikan peristiwa dan lingkungan serta setting turunnya al-Qur’an. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qader menyebutkan beberapa faedah klasifikasi masalah ini:
·         Untuk mengetahui nasakh-mansukh dalam hal beberapa ayat yang berbicara dalam satu tema tertentu. Apalagi jika terjadi perbedaan hukum antara keduanya.
·         Untuk mengetahui tarikh tasyri’ (sejarah dan proses suatu hukum)
·         Untuk semakin menguatkan argument otentisitas al-Qur’an, karena diketahui mana yang turun di Makkah dan mana yang turun di Madinah; manayang turun siang hari dan mana yang turun di malam hari .
Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama. Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam .
Kerangka Teoritis Pendekatan Antropologi
Secara garis besar kajian agama dalam antropologi –tulis Jamhari Ma’ruf dalam makalahnya-dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis; intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.
Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat. Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural. Namun , dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.
Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.
Durkheim mengritik terori intelektual di atas dengan tesis masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah ”struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat. Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat. Demikian halnya mengenai fungsi agama bagi masyarakat. Keduanya sangat berhubungan erat.
Adapun teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan. Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama .
Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia. Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial .
Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.
Penyalahgunaan Pendekatan Antropologi dalam Kajian al-Quran
Pada prakteknya sosiologi maupun antropologi modern tak jarang dijadikan senjata untuk mereduksi otoritas al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam. Karena metode yang ditonjolkan adalah fungsi akal dan nalar di atas segala-galanya.
Karena dominasi pandangan hidup sekuler-liberal-ultra liberal seperti di atas, maka nilai-nilai yang ada pada tradisi dan agama –yang sudah mapan- menjadi terpinggirkan bahkan dibongkar. Renè Descartes, -bapak filsafat modern- dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Wahyu dalam struktur epistimologi menjadi terpinggirkan. Sekularisasi epistimologi semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang mengangap realitas sebagai perubahan dialektis. Akhirnya, sekularisasi epistimologi memasuki ruang lingkup agama. Hasilnya tidak ada lagi yang benar-benar sakral, abadi dan universal. Semuanya manusiawi belaka. Manusia lebih tahu tentang dirinya sehingga tak perlu campur tangan kitab suci dan aturan dari Tuhan.
Oleh kelompok liberal, antropologi dijadikan ilmu alat untuk mereduksi kemapanan sebagian tafsir al-Qur’an. Lihat saja bagaimana tafsir emansipatoris yang berkembang –justru- dibidikkan untuk menggugat ayat-ayat yang diopinikan misogini dan memberi peran sub-ordinat bagi perempuan. Penyuaraan penyetaraan gender yang berlebihan dengan dalih porsi ini masih minim dalam penafsiran al-Qur’an para ahli tafsir salaf. Pada tataran ekstrim ada yang menyuarakan amandemen ayat-ayat di atas. Na’udzubillah min dzalik. Dr. Muhammad Belatagy menambahkan bahwa pemikiran seperti ini lebih masuk karena disuarakanoleh orang-orang Islam yang terkontaminasi oleh pergolakan budaya internal dan serangan budaya eksternal yang hedonis. Mengingat bahwa tema-tema perempuan menjadi salah satu sasaran empuk desakralisasi teks-teks al-Quran.
Sebagai contohnya, dengan pendekatan sosial menyuarakan penafian poligami oleh al-Quran sendiri, dengan dalil penasakhan hukum aslinya. Ayat yang digunakan adalah surat an-Nisa, ayat 129 . Tentunya pembacaan seperti ini tidak dibenarkan. Final destinasinya adalah penyetaraan gender dan penguapan supremasi laki-laki atas perempuan dalam praktek-praktek keberagaman.
Dalam konteks lebih luas, penggunaan metode ini akan menjadi kurang tepat bila mengadopsi peleburan istilah kata. Karena kata-kata dalam al-Qur’an ada haqiqah lughawiyah (makna bahasa) dan haqiqah syar’iyyah (makna syar’i). Seperti kata ash-shalah, al-jihad, al-Islam dan seterusnya. Penghapusan dua limit inilah yang menjadi masalah.
Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafazh) Arab, seperti majâz (kiasan) dan haqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh atau kepasrahan total untuk al-Islam.
Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus hukuman pencuri yang muthlaqkemudian di-taqyîd dengan hadits: majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul saw hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-syâri’ (sumber hukum otoritatif). Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tindakan tak menerapkan hukum potong tangan dan kemudian dijadikan justifikasi untuk keluar dari sakralitas teks alQur’an . Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul saw yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa diterima. Padahal seperti tutur al-Qurthubi, hal ini pernah dilakukan juga oleh Rasululla saw dan khalifah Abu Bakar ra . Hanya saja Umar ra populer dengan pernyataannya: ”Aku tidak memotong (tangan) pada tahun ini” .
Tak kalah serunya, juga ketika Umar ra memiliki penilaian khusus tentang menikahi perempuan ahli kitab. Saat sebagian besar ulama shahabat membolehkanya, bahkan Usman bbin Affan ra memperistri kitabiyah Nasrani, Talhah memperistri kitabiyah Yahudi; Umar melarang Hudzaifah. Hanya saja, pertanyaan cerdas Hudzaifah menjadi solusi polemik hukum ini. Hudzaifah menanyakan: Apakah ini halal atau haram? Umar menjawabnya: bukan, masalahnya tidak di situ. Hal ini halal. Hanya saja aku takutkan mereka berbuat makar dan mengalahkan perempuan-perempuan kalian sehingga kalian lebih tertarik pada mereka  . Sebuah pandangan sosiologis yang matang. Sebuah langkah prefventif sosial yang cerdas. Dan tidak harus melawan otoritas teks yang memang benar menghalalkannya.
Kesimpulan  
Al-Quran sebagai ruh –seperti ungkap Muhammad Quthb- akan memengaruhi cara pandang dan pola hidup seseorang. Terlebih bila ia sangat dalam merasakannya. Siapa yang hidup dengan al-Quran berarti ia hidup bersama Allah . Tak kenal takut dan minder. Meski berhadapan dengan kebudayaan yang bagaimana pun atau di depan kedigdayaan seperti apapun. Apalagi dengan keyakinan bahwa kitab Allah ini dijaga-Nya sebagaimana Ia berjanji. Dan juga karena Islam adalah sebuah agama, bukan sebuah gerakan pemikiran atau fenomena sosial yang bersifat sementara.

            Referensi
            https://saifulelsaba.wordpress.com
            KBBI

Post a Comment for "ANTROPOLOGI DALAM TAFSIR"