Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH AYAT AYAT ANTROPOLOGIS DALAM AL QURAN

MAKALAH
AYAT AYAT ANTROPOLOGIS DALAM AL QURAN

Untuk memenuhi salah satu tugas
Mata kuliah : Antropologi Tafsir
Dosen pembimbing :Wahyuni Shifatur Rohmah M,S.I

Disusun oleh :
MONIKA RUSTIANA PUTRI (1631038)

Fakultas Ushuludin (IQT / IV)
Institut Agama Islam Nahdlatul Ulama Kebumen
2018/2019

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al Quran adalah kitab suci umat islam yang masih terpelihara keasliannya hingga kini. Seluruh umat islam diseluruh dunia sepakat bahwa Mushaf Usmani yang dibaca oleh umat islam kini adalah Al Quran yang ssma dengan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melaui Malaikat Jibril.
Sejarah Kodifikasi Al quran dimulai pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shidq yang kemudian diteruskan pada masa Umar bin Khattab hingga khalifah Utsman bin Affan. Disini saya mencoba membedah beberapa keterkaitannya dengan ayat ayat yang berhubungan dengan antropologis tafsir,dan mohon maaf apalabila nanti masih banyak sejkali kekurangan dalam hal referensi dan materi yang dibahas.

B.Rumusan Masalah ?
1. Urgensi pendekatan studi Tafsir ?
2. Relevansi Antropologi dalam penafsiran ?
3. Penyalahgunaan pendekatan Antropologi dalam kajian al quran ?
4. Ayat Ayat yang berkaitan dengan Antropologi ?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Urgensi Pendekatan Antropologi dalam Studi Tafsir
Seberapa pentingkah metodologi antropologi sosial dalam studi tafsir?Di dalam al-Qur’an banyak kita jumpai urgensi peran sebuah tokoh. Sebagai contoh kataal-muttaqûn([6]) /al-muttaqîn([7]) sebagai sarana menjelaskan hakikat ketakwaan seperti yang terdapat pada awal surah al-Baqarah dan Ali Imran, ayat: 133-136, ash-shabirûn([8])/ash-shabirîn([9]) dipakai untuk memaparkan konsep kesabaran, shâdiqûn([10])/shâdiqîn ([11])/ shadiqât ([12]) untuk lebih mendalami makna kejujuran, kesungguhan serta etios kerja; serta kata-kata pelaku (fâ’il) lainnya.
Ini menunjukkan betapa pentingnya manusia sebagai pelaku peradaban.Maka mempelajari segala sesuatu yang bersangkutan dengan manusia, terlebih dalam konteks memahami kitab Allah menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan.Inilah -yang dalam bahasa Syeikh Muhammad Abu Syahbah- al-Qur’an disebut sebagai pintu ilmu-ilmu modern sebagai perangkat mengikuti kemajuan zaman ([13]).

Contoh lain, adalah klasifikasi surat-surat al-Qur’an menjadi makky danmadany. Yang tentunya sangat memperhatikan peristiwa dan lingkungan sertasetting turunnya al-Qur’an.Dr. Jum’ah Ali Abd. Qader menyebutkan beberapa faedah klasifikasi masalah ini:
1. Untuk mengetahui nasakh-mansukh dalam hal beberapa ayat yang berbicara dalam satu tema tertentu. Apalagi jika terjadi perbedaan hukum antara keduanya.
2. Untuk mengetahui tarikh tasyri’ (sejarah dan proses suatu hukum)
3. Untuk semakin menguatkan argument otentisitas al-Qur’an, karena diketahui mana yang turun di Makkah dan mana yang turun di Madinah; manayang turun siang hari dan mana yang turun di malam hari ([14]).

Antropologi, sebagai sebuah ilmu yang mempelajari manusia, menjadi sangat penting untuk memahami agama.Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Dibekali dengan pendekatan yang holistik dan komitmen antropologi akan pemahaman tentang manusia, maka sesungguhnya antropologi merupakan ilmu yang penting untuk mempelajari agama dan interaksi sosialnya dengan berbagai budaya. Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ’khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam ([15]).
Kerangka Teoritis Pendekatan Antropologi

Secara garis besar kajian agama dalam antropologi –tulis Jamhari Ma’ruf dalam makalahnya ([16])-dapat dikategorikan ke dalam empat kerangka teoritis;intellectualist, structuralist, functionalist dan symbolist.

Tradisi kajian agama dalam antropologi diawali dengan mengkaji agama dari sudut pandang intelektualisme yang mencoba untuk melihat definisi agama dalam setiap masyarakat dan kemudian melihat perkembangan (religious development) dalam satu masyarakat.Termasuk dalam tradisi adalah misalnya E.B. Taylor yang berupaya untuk mendefinisikan agama sebagai kepercayaan terhadap adanya kekuatan supranatural.Namun , dampak dari pendekatan seperti ini bisa mengarah pada penyamaan sikap keberagamaan.

Ketiga pendekatan setelahnya; teori strukturalis, fungsionalis dan simbolis dipopulerkan Emile Durkheim, dalam magnum opusnya The Elementary Forms of the Religious Life, telah mengilhami banyak orang dalam melihat agama dari sisi yang sangat sederhana sekaligus menggabungkannya secara struktur.

Durkheim mengritik terori intelektual di atas dengan tesis masyarakat dikonseptualisasikan sebagai sebuah totalitas yang diikat oleh hubungan sosial. Dalam pengertian ini maka society (masyarakat) bagi Durkheim adalah ”struktur dari ikatan sosial yang dikuatkan dengan konsensus moral.” Pandangan ini yang mengilhami para antropolog untuk menggunakan pendekatan struktural dalam memahami agama dalam masyarakat.Claude Levi-Strauss adalah satu murid Durkheim yang terus mengembangkan pendekatan strukturalisme, utamanya untuk mencari jawaban hubungan antara individu dan masyarakat.Demikian halnya mengenai fungsi agama bagi masyarakat.Keduanya sangat berhubungan erat.

Adapun teori simbolisme yang menjadi teori dominan pada dekade 70-an sebenarnya juga mengambil akarnya dari Durkheim, walaupun tidak secara eksplisit Durkheim membangun teori simbolisme. Pandangan Durkheim mengenai makna dan fungsi ritual dalam masyarakat sebagai suatu aktifitas untuk mengembalikan kesatuan masyarakat mengilhami para antropolog untuk menerapkan pandangan ritual sebagai simbol. Salah satu yang menggunakan teori tersebut adalah Victor Turner ketika ia melakukan kajian ritual (upacara keagamaan) di masyarakat Ndembu di Afrika. Turner melihat bahwa ritual adalah simbol yang dipakai oleh masyarakat Ndembu untuk menyampaikan konsep kebersamaan.Ritual bagi masyarakat Ndembu adalah tempat mentransendensikan konflik keseharian kepada nilai-nilai spiritual agama ([17]).

Dalam pandangan ilmu sosial, pertanyaan keabsahan suatu agama tidak terletak pada argumentasi-argumentasi teologisnya, melainkan terletak pada bagaimana agama dapat berperan dalam kehidupan sosial manusia.Di sini agama diposisikan dalam kerangka sosial empiris, sebagaimana realitas sosial lainnya, sebab dalam kaitannya dengan kehidupan manusia, tentu hal-hal yang empirislah, walaupun hal yang ghaib juga menjadi hal penting, yang menjadi perhatian kajian sosial ([18]).

Jika agama diperuntukkan untuk kepentingan manusia, maka sesungguhnya persoalan-persoalan manusia adalah juga merupakan persoalan agama.Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi.Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan.Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.

B. Relevansi Antropologi dalam Penafsiran Al Quran

Syeikh Muhammad Abduh berpendapat yang dibutuhkan oleh umat ini adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.Sehingga al-Quran pasti dapat menyuguhkan berbagai solusi beragam atas pelbagai polemik sosial dan problem yang sangat kompleks ([19]).Atas ajakan ini, corak sosial yang kental dalam penafsiran beliau menjadi pijakan dasar pengembangan sosiologi modern.Terutama dalam menyikapi permasalahan yang menyentuh masyarakt sosial.

Penjabaran kegiatan-kegiatan ekonomi yang dijabarkan dari tafsir sosial permasalahan masyarakat; seperti kemiskinan, melawan monopoli dan ihtikâr, perlakuan zhalim terhadap harta anak yatim, sampai pada distribusi zakat dan kinerja para amilin zakat.Sebagai penyeimbang kasus-kasus polemik epistimologis yang dihasilkan dari premis desakralisasi teks (al-Qur’an), dari sejak wacana penyetaraan gender sampai menggugat jenis-jenis hukuman kriminal.

Relevansi pedekatan antropologi dicontohkan al-Qur’an sendiri dalam kasus pelarangan meminum khamr yang turun dalam tiga tahapan: pertama, tahapanbalance informasi ([20]) . Kedua, tahapan peringatan ([21]) . Ketiga, tahapan final pengharamannya ([22]).Struktur perintah termasuk redaksi dan pola penyampaiannya sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakat saat itu.

Demikian halnya dalam konteks penyampaian isi al-Qur’an dan penafsirannya pada skup yang sangat mikro dan lokal yang diperhatikan adalah konteks metode penafsirannya dan bukan pada pengubahan substansinya. Bila tidak problem budaya akan semakin menjadi tema polemik yang menarik antar komunitas yang berbeda. Seperti pengertian dan batasan tentang jilbab.Benarkah batasan wajibnya hanya pada aurat kubrâ?Selebihnya diserahkan pada nilai kebiasaan dan adat masyarakat setempat.Benarkah hijab atau jilbabhanya menjadi sebuah simbol keberagamaan. Atau ada maqashid syariah di sana? Jika sebagai symbol apakah mewakili symbol keberagamaan universal atau mewakili kultur tertentu saja. Atau sebaliknya dengan dalih maqashid, simbol seperti ini bisa digantikan dan tidak dipakai?

Bila yang dijadikan patokan hukum adalah adat maka tidak mustahil suatu kondisi kemungkaran yang menyebar berubah penilaiannya menjadi makruf.Sedang sebaliknya pengingkaran terhadap ini menjadi mungkar karena melawan suara mayoritas.Lebih dahsyatnya bila umat ini kehilangan imunitas saat serangan globalisasi peradaban dan budaya datang bertubi-tubi.

Gelombang globalisasi budaya ditandai dengan akhir dari periodisasi keyakinan atau budaya Amerika ([23]) yaitu bagaimana menyalurkan pemikiran-pemikiran ini ke seluruh penjuru dunia menembus batas-batas geografis dan keyakinan bangsa lain. Pada akhir abad 20 kita masih sering membuat anti tesa antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, atau antara Timur dan Barat.Akan tetapi anti tesa ini pelahan bergeser dan berubah dengan anti tesa antara Islam dan Amerika.Sehingga Islam diwacanakan sebagai common enemy (musuh bersama).Atau meminjam istilah Ibnu Kholdun sebagai konspirasi penafsiran sejarah (at-Tafsir at-Ta’amury li at-Tarikh). Tak aneh, jika suatu saat ada anekdot pilihan menjadi manusia hanya dua; menjadi pluralis (yang mengakui persamaan/penyatuan semua agama) atau menjadi teroris (yang selain itu[?])

Serangan globalisasi budaya bila disikapi dengan pendekatan antropologi terhadap penafsiran al-Qur’an bisa mengakibatkan mindset terbalik yang bertujuan desakralisasi nilai-nilai dan sangat propagandis.Sebagai misal, sebut saja pengalihan wacana pertikaian dan kepentingan politik Amerika di Timur Tengah menjadi seruan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup.Ini ajakan yang bagus.Hanya saja shâhib fikrahnya adalah perusak lingkungan maka dagangan politik ini cenderung kurang laku meski tak henti-hentinya didengungkan.

Karena itu perlu penyikapan realitas sosial dengan bijak. Pembacaan minor internal umat Islam dengan sikap mental inferior, meminjam istilah Malik ben Nabi sikap qâbiliyah umat untuk dijajah akan memperparah menjadi inferiority complex. Akibatnya, dengan serta merta mengikut dan mengadopsi budaya eksternal dengan filter terlalu lebar atau tidak sama sekali. Demi melihat glamournya kemajuan dan kemapanan kehidupan sebuah komunitas sosial seperti di Eropa dan Amerika.Hal senada ditegaskan Syeikh Muhammad al-Ghazali ([24]).

C. Penyalahgunaan pendekatan Antopologi dalam kajian Al quran

Pada prakteknya sosiologi maupun antropologi modern tak jarang dijadikan senjata untuk mereduksi otoritas al-Qur’an sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam.Karena metode yang ditonjolkan adalah fungsi akal dan nalar di atas segala-galanya.

Karena dominasi pandangan hidup sekuler-liberal-ultra liberal seperti di atas, maka nilai-nilai yang ada pada tradisi dan agama –yang sudah mapan- menjadi terpinggirkan bahkan dibongkar. Renè Descartes, -bapak filsafat modern- dengan prinsip aku berfikir maka aku ada (cogito ergo sum) menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran. Wahyu dalam struktur epistimologi menjadi terpinggirkan.Sekularisasi epistimologi semakin bergulir dengan munculnya filsafat Hegel dan Marx yang mengangap realitas sebagai perubahan dialektis.Akhirnya, sekularisasi epistimologi memasuki ruang lingkup agama.Hasilnya tidak ada lagi yang benar-benar sakral, abadi dan universal.Semuanya manusiawi belaka ([25]).Manusia lebih tahu tentang dirinya sehingga tak perlu campur tangan kitab suci dan aturan dari Tuhan.

Oleh kelompok liberal, antropologi dijadikan ilmu alat untuk mereduksi kemapanan sebagian tafsir al-Qur’an.Lihat saja bagaimana tafsir emansipatoris yang berkembang –justru- dibidikkan untuk menggugat ayat-ayat yang diopinikan misogini dan memberi peran sub-ordinat bagi perempuan. Penyuaraan penyetaraan gender yang berlebihan dengan dalih porsi ini masih minim dalam penafsiran al-Qur’an para ahli tafsir salaf. Pada tataran ekstrim ada yang menyuarakan amandemen ayat-ayat di atas. Na’udzubillah min dzalik.Dr. Muhammad Belatagy menambahkan bahwa pemikiran seperti ini lebih masuk karena disuarakan oleh orang-orang Islam yang terkontaminasi oleh pergolakan budaya internal dan serangan budaya eksternal yang hedonis. Mengingat bahwa tema-tema perempuan menjadi salah satu sasaran empuk desakralisasi teks-teks al-Qur’an ([26]) . Sebagai contohnya, dengan pendekatan sosial menyuarakan penafian poligami oleh al-Qur`an sendiri, dengan dalil penasakhan hukum aslinya. Ayat yang digunakan adalah surat an-Nisa, ayat 129([27]). Tentunya pembacaan seperti ini tidak dibenarkan. Final destinasinya adalah penyetaraan gender dan penguapan supremasi laki-laki atas perempuan dalam praktek-praktek keberagaman ([28]).

Dalam konteks lebih luas, penggunaan metode ini akan menjadi kurang tepat bila mengadopsi peleburan istilah kata. Karena kata-kata dalam al-Qur’an adahaqiqah lughawiyah (makna bahasa) dan haqiqah syar’iyyah (makna syar’i).Seperti kata ash-shalah, al-jihad, al-Islam dan seterusnya. Penghapusan dua limit inilah yang menjadi masalah.

Sebagai contoh, klasifikasi kata (lafazh) Arab, seperti majâz (kiasan) danhaqîqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah.Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqîqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqîqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihâd, dan berdoa untuk shalâh atau kepasrahan total untuk al-Islam.

Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus hukuman pencuri yang muthlaq ([29]) kemudian di-taqyîd dengan hadits:majâ’ah mudhtharr (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul saw hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-syâri’ (sumber hukum otoritatif).Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘âm ar-ramâdah) dianggap sebagai tindakan tak menerapkan hukum potong tangan dan kemudian dijadikan justifikasi untuk keluar dari sakralitas teks alQur’an ([30]).Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul saw yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa diterima. Padahal seperti tutur al-Qurthubi, hal ini pernah dilakukan juga oleh Rasululla saw dan khalifah Abu Bakar ra ([31]). Hanya saja Umar ra populer dengan pernyataannya: ”Aku tidak memotong (tangan) pada tahun ini” ([32]).

Tak kalah serunya, juga ketika Umar ra memiliki penilaian khusus tentang menikahi perempuan ahli kitab.Saat sebagian besar ulama shahabat membolehkanya, bahkan Usman bbin Affan ra memperistri kitabiyah Nasrani, Talhah memperistri kitabiyah Yahudi; Umar melarang Hudzaifah.Hanya saja, pertanyaan cerdas Hudzaifah menjadi solusi polemik hukum ini. Hudzaifah menanyakan: Apakah ini halal atau haram? Umar menjawabnya: bukan, masalahnya tidak di situ. Hal ini halal. Hanya saja aku takutkan mereka berbuat makar dan mengalahkan perempuan-perempuan kalian sehingga kalian lebih tertarik pada mereka ([33]) .Sebuah pandangan sosiologis yang matang.Sebuah langkah prefventif sosial yang cerdas.Dan tidak harus melawan otoritas teks yang memang benar menghalalkannya.

D. Ayat Ayat tentang antopologis Al quran

Isi Alquran bermacam-macam.Salah-satu tema yang sering dilupakan dalam menafsirkan Alquran adalah mengenai kemanusiaan.Alquran mengandung ayat-ayat antropologis yang berbicara mengenai peranan manusia dan kebudayaannya di muka bumi.Alquran memang bukan kitab ilmu pengetahuan apalagi ilmu-ilmu sosial.Namun Alquran sendiri mengandung isyarat-isyarat mengenai jatuh bangunnya kekuasaan di muka bumi. Dalam tulisan ini akan dibahas beberapa ayat antropologis tersebut.
Salah-satu tema yang dibahas Alquran mengenai asal-usul manusia.Manusia di dunia ini merupakan keturunan Nabi Adam AS dan Hawa yang diturunkan ke muka bumi setelah mereka memakan buah khuldi yang dilarang oleh Tuhan.Namun Alquran menegaskan bahwa kesalahan itu merupakan kesalahan mereka berdua.

Selama ini di dalam kitab Taurat dan Injil Hawa digambarkan sebagai makhluk penggoda yang menggelincirkan Adam untuk memakan buah khuldi.Setiap anak manusia yang dilahirkan di bumi mempunyai dosa asal yaitu dosa Adam dan Hawa.

Berbeda dengan Nasrani dan Yahudi, Islam tidak mengenal dosa asal.Manusia dilahirkan ke muka bumi dengan suci dan bersih sesuai dengan fitrahnya. Manusia tidak dibebani kesalahan apa pun termasuk dosa yang dilakukan oleh leluhur manusia. Malahan manusia ditempat yang sangat mulia.Bahkan Allah SWT memuliakan manusia dan mengangkut di darat dan lautan.Tapi Tuhan menegaskan bahwa Dia adala yang Esa yang tidak beranak dan diperanakkan.Manusia merupakan puncak ciptaan Tuhan. Manusia tidak memikul dosa orang lain. Setiap individu manusia bertanggungjawab secara langsung kepada Tuhan.

Konsep kedua yang sangat penting mengenai peranan manusia di muka bumi adalah mengenaai kekhalifahan manusia.Manusia adalah khalifah Allah di muka bumi.Secara etimologis, khalifah bermakna "duta" atau "wakil".Manusia adalah wakil Allah di muka yang diberi hak untuk menggunakan dan memakmurkan bumi. Sebagai khalifah Allah, manusia dilengkapi dengan akal yang menyebabkan ia mampu mengenali lingkungannya. Manusia dilengkapi dengan berbagai macam organ tubuh sehingga ia mampu mengelola bumi. Bumi ini dijadikan hamparan oleh Allah untuk digunakan oleh manusia.Bumi menumbuhkan berbagai macam tumbuhan dan buah-buahan yang merupakan karunia Allah untuk manusia.Dalam salah-sebuah ayat Alquran Allah menjadikan seluruh bumi dan kekayaan yang dikandungnya hanya untuk manusia.Pemberian gratis dari Allah ini harus diikuti dengan sikap penyembahan manusia kepada Allah sebagai tanda syukur kepada-Nya.

Kekhalifahan manusia di muka bumi dibarengi dengan tanggungjawab kepada Allah SWT. Kelak di akhirat nanti manusia akan dimintai pertanggung-jawaban atas amanah yang diterimanya. Sebagai khalifah, manusia harus menciptakan kedamaian dan harmoni di dunia ini.Malaikat memprotes keinginan Allah untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Tapi Tuhan menjawab bahwa Ia lebih tahu daripada malaikat. Allah mengajarinya manusia nama-nama segala sesuatu yang tidak dapat disebutkan malaikat.Malaikat mengakui keunggulan manusia.Malaikat diperintahkan Allah untuk sujud kepada Adam.

Salah-satu ayat lain yang berbicara mengenai keragaman manusia di muka bumi adalah ayat yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan perempuan mengembangbiakan manusia yang banyak di muka bumi. Allah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar manusia saling mengenal. Ayat ini sangat antropologis.Dalam ayat ini Tuhan mengakui bahwa keberagaman manusia merupakan tanda ciptaan-Nya.

Di ayat lain juga disebutkan bahwa perbedaan bahasa dan warna kulit juga merupakan tanda-tanda ciptaan-Nya. Sekilas ayat ini tampak aneh.Mengapa Tuhan menciptakan keberagaman manusia.Hal ini mengandung makna yang mendalam. Selama ini manusia selalu bertengkat dan berperang satu sama lain karena perbedaan agama, ras, suku bangsa, warna kulit bahkan kebangsaan. Di ayat ini Allah SWT mengatakan bahwa perbedaan tersebut merupakan sunnatullah. Allah sengaja menciptakan perbedaan tersebut sebagai ujian terhadap manusia.

Yang menjadi pertanyaan, mengapa Tuhan menciptakan keberagaman? Di ayat lain, Tuhan menjawab bahwa Dia bisa saja menjadikan manusia ini sebagai satu umat saja. Namun Dia tidak melakukan itu. Bahkan Ia menjadikan manusia bersuku-suku, banyak ras, warn kulit, dan kebudayaan semuanya sebagai cobaan untuk manusia. Perbedaan ujian bagi manusia untuk menguji siapa yang paling baik amalnya.Umat manusia harus berlomba-lomba dalam kebajikan untuk memperoleh ridha Tuhan.
Perbedaan di antara umat manusia sesungguhnya merupakan cara Tuhan menjadikan manusia untuk saling memahami dan mengenal. Tuhan tidak menciptakan satu umat saja untuk mewarnai dunia ini.Beragam warna kulit manusia di muka bumi menyemarakkan kehidupan manusia sendiri.

Sekelumit ayat-ayat antropologis di atas memberikan pengetahuan kepada kita bahwa Tuhan memang menciptkan pluralisme di antara umat manusia.Perbedaan suku bangsa, ras, warna kulit, dan kebudayaan merupakan sebuah takdir atau ketetapan sejarah.Pluralitas adalah sunnatullah atau hukum Tuhan yang tidak berubah.Alquran mengakui perbedaan di antara umat manusia.

Nabi Muhammad SAW sendiri dalam khutbah wada' menyatakan bahwa tidak ada kelabihan orang Arab dibandingkan dengan orang Ajam (non-Arab) kecuali karena ketakwaannya. Ini memberi landasan positif bagi umat manusia untuk saling bekerja sama dalam suasana yang egaliter.
Egaliterianisme merupakan salah-satu prinsip Islam yang sangat mendasar.Di dalam Islam, tidak ada perbedaan kecuali karena ketakwaan.Namun keberagaman manusia merupakan ayat-ayat Allah yang harus dipelajari manusia. Manusia tidak diperkenankan memperbudak orang lain atas dasar apa pun. Wallahu a'alam bisshowab.

BAB III
PENUTUP

Post a Comment for "MAKALAH AYAT AYAT ANTROPOLOGIS DALAM AL QURAN"