Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH TAFSIR AYAT TENTANG RELASI SOSIAL

Tafsir Ayat Tentang Relasi Sosial
Dosen Pembimbing : Ali Makhfudz M.S.I


Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas individu pada mata kuliah Tafsir Sosial dan Tekhnologi semester 5

Disusun Oleh
Muhamad Samsul Jamaludin
(1631048)
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuludin, Dakwah dan Syariah
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
2018

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala, karena berkat rahmat-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul Tafsir Ayat Tentang Relasi Sosial. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Sosial dan Tekhnologi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Wassalamualaikum wr.wb


Kebumen, 9 Oktober 2018
Penulis,


Ms Jamaludin

BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama samawi terakhir yang dirisalahkan melalui Rasulullah SAW. Karena Islam sebagai agama terakhir dan juga sebagai penyempurna ajaran-ajaran terdahulu, maka sangat bisa dipahami, jika Islam merupakan ajaran yang paling komprohensif, Islam sangat rinci mengatur kehidupan umatnya, melalui kitab suci al-Qur’an. Allah SWT memberikan petunjuk kepada umat manusia bagaimana menjadi insan kamil atau pemeluk agama Islam yang kafah atau sempurna.

Secara garis besar ajaran Islam bisa dikelompokkan dalam dua kategori yaitu Hablum Minallah(hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan) dan Hablum Minannas (hubungan manusia dengan manusia). Allah menghendaki kedua hubungan tersebut seimbang walaupun hablumminannas lebih banyak di tekankan. Namun itu semua bukan berarti lebih mementingkan urusan kemasyarakatan, namun hal itu tidak lain karena hablumminannas lebih komplek dan lebih komprehensif. Oleh karena itu suatu anggapan yang salah jika Islam dianggap sebagai agama transedental.

Untuk dapat memahami pentingnya peningkatan kepedulian dalam kehidupan bermasyarakat, secara sistematis terlebih dahulu perlu memahami permasalahan dan urgensinya. Manusia pada dasarnya merupakan makhluk, Artinya hidup menyendiri, tetapi sebagian besar hidupnya saling ketergantungan, yang pada gilirannya tercapainya kondisi keseimbangan relative. Kondisi nyata dalam kehidupan manusia yaitu ada yang kaya – miskin, kuat – lemah, besar – kecil, dll.

Islam adalah agama yang menghendaki kebaikan dalam dua aspek, pertama, aspek hablun min Allah (hubungan vertical) yaitu hubungan antara hamba dengan tuhannya. Kedua, aspek hablun minannas ( hubungan horizontal) yaitu hubungan antara hamba dengan hamba lainnya.
Dengan demikian, islam menghendaki pemeluknya untuk berbuat kesalehan. Pertama, kesalehan ritual yaitu kesalehan seorang hamba dalam hubungan dengan tuhan atau dalam beribadah. Dan yang kedua, kesalehan social, yaitu kesalehan dalam hubungan dengan manusia. Islam sangat menganjurkan untuk berbuat kebaikan terhadap manusia, apalagi terhadap orang-orang yang betul-betul sangat membutuhkan. Hubungan dengan harus dibangun sedemikian indah dan harmonis. Bangunlah persahabatan yang baik dengan siapa saja, tanpa pandang bulu. Berbagilah dengan makluk ciptaan Allah SWT.

Allah SWT memerintahkan kita untuk mengadakan hubungan dengan hablum minannas, disebut juga silaturahim. Hubungan antara orang perorang biasa dilakukan dengan berbagai tujuan duniawi, tetapi landasan utamanya adalah saling berkasih, sehingga masing-masing mendapat manfaat dan tidak ada yang dirugikan. Kepedulian termasuk dalam ibadah jika dilaksanakan dengan tujuan kebaikan. Kepedulian dapat diartikan sebagai sikap memperhatikan urusan oranglain (anggota masyarakat). Kepedulian social yang dimaksud disini bukanlah untuk mencampuri urusan oranglain, tetapi lebih pada membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oranglain dengan tujuan perdamaian dan kebaikan.

Manusia memang sejatinya tidak akan pernah terlepas dari kehidupan, karena memang manusia merupakan makhluk, makhluk yang tidak bisa hidup tanpa bantuan oranglain yang akan melahirkan kebersamaan,berkomunikasi, tolong menolong dan dalam berbagai aktivitas sosial lainnya. Dalam pandangan Islam seseorang tidak akan dikatakan sempurna imannya sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Sebenarnya pandangan islam yang demikian sudah benar, tetapi kenyataannya sekarang masih banyak orang yang kurang peduli terhadap permasalahan ini sehingga tatanan menjadi kurang seimbang yang mengakibatnkan banyak terjadi kekacauan seperti pencurian, perampokan, dll. Pada kesempatan kali ini kami akan membahas mengenai kepedulian dalam perspektif tafsir surat Alhujurat ayat 10.

Rumusan Masalah
1. Bagaimana surat alhujurat ayat 10?
2. Bagaimana terjemah dan kosakata surat alhujurat ayat 10?
3. Bagaimana tafsir surat alhujurat ayat 10?
4. Bagaimana isi kandungan surat alhujurat ayat 10?

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui surat alhujurat ayat 10
2. Untuk mengetahui terjemah dan kosakata surat alhujurat ayat 10
3. Untuk mengetahui tafsir surat alhujurat ayat 10
4. Untuk mengetahui isi kandungan surat alhujurat ayat 10



BAB II
PEMBAHASAN

1. Lafadz Ayat

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠

2. Terjemah Ayat
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (10). (Q. S. Al-Hujûrât: 10)

3. Kosakata Ayat
انما : sesungguhnya
المؤمنون : orang-orang mukmin
اخوة : bersaudara
فاصلحوا : damaikanlah
بين : antara
اخويكم : kedua saudaramu
والتقوا الله : bertaqwalah kepada allah
لعلكم : agar kamu
ترحمون : mendapat rahmat


4. Asbabun Nuzul Ayat
Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Mu'tamir berkata, aku mendengar bapakku bahwa Anas radliallahu 'anhu berkata: "Dikatakan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam "Sebaiknya Baginda menemui 'Abdullah bin Ubay." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya dengan menunggang keledai sedangkan Kaum Muslimin berangkat bersama Beliau dengan berjalan kaki melintasi tanah yang tandus. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya, ia berkata: "Menjauhlah dariku, demi Allah, bau keledaimu menggangguku". Maka berkatalah seseorang dari kaum Anshar diantara mereka: "Demi Allah, sungguh keledai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lebih baik daripada kamu". Maka seseorang dari kaumnya marah demi membela 'Abdullah bin Ubay dan ia mencelanya sehingga marahlah setiap orang dari masing-masing kelompok. Saat itu kedua kelompok saling memukul dengan pelepah kurma, tangan, dan sandal. Kemudian sampai kepada kami bahwa telah turun ayat QS. Al Hujurat: 10 yang artinya ("jika dua kelompok dari kaum muslimin berperang maka damaikanlah keduanya").

Keterangan Hadits:
Hadits di atas diambil dari kitab Shahih Bukhari nomor 2494. Selain dalam kitab Shahih Bukhari, hadits tersebut juga ditulis dalam kitab Fathul Bari dengan nomor 2691. Menurut ijma ulama, hadits ini termasuk dalam kategori hadits shahih. baik dilihat dari sisi sanadnya, maupun dari matannya. Karenanya, hadits ini bisa dijadikan sebagai referensi, baik untuk mengkaji/mendalami kandungan makna sebuah ayat, maupun dalam rangka mencari solusi atas permasalahan. Hadits Bukhari nomor 2494 termasuk dalam klasifikasi hadits yang berhubungan dengan al Qur’an. Dalam hal ini, hadits Bukhari nomor 2492merupakan riwayat yang berisi mengenai latar belakan turunnya QS al Hujurat ayat 10. Atau yang lebih dikenal dengan istilah Asbabunnuzul.


5. Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Innamâ al-Mu‘minûn ikhwah.
(Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah (persaudaraan) adalah kesamaan akidah. Ayat ini menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak dari:
Pertama, digunakannya kata ikhwah—dan kata ikhwan—yang merupakan jamak dari kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan dalam pemakaiannya bisa saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai untuk menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan atau sahabat. Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa ukhuwah kaum Muslim itu lebih daripada persahabatan atau perkawanan biasa.

Hal ini juga terdapat di dalam Mafâtîḥ al-Ghaib, terkait penyebutan lafazh إِخْوَةٌ ketika menyatakan bahwa orang-orang mu’min adalah bersaudara. Menurut sebagian ahli bahasa, lafazh إِخْوَةٌ adalah bentuk jamak dari اَخٌ dari aspek keturunan, padahal jika ditinjau dari segi bahasa yang benar, [1]maka seharusnya lafazh yang digunakan adalah اِخْوَانٌ sebagai bentuk jamak dalam aspek perkawanan atau persahabatan. Tetapi Allah menggunakan lafazh إِخْوَةٌ, sebagai penegasan bahwa di antara mereka (orang-orang mu’min) ada satu ikatan layaknya ikatan keturunan, yaiu ikatan Islam.[2] Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya., tidak mendustakannya dan tidak mnenghinanya. Taqwa itu di sini –seraya Rasul saw. menunjuk dadanya tiga kali-. Cukuplah seorang Muslim dikatakan buruk jika ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya (Riwayat Muslim).[3]

Kedua, memberi makna hasyr. Artinya, tidak ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di antara Mukmin dan kafir. Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada persaudaraan nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama. Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus karena perbedaan nasab. Bahkan, persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan islam.

Sedangkan hubungan dengan orang bisa saja terjadi mungkin sebagai tetangga, atau sebagai saudara. Saudara disini pun hanya sebatas layaknya tetangga. Karena ini merupakan kemungkinan yang timbul dari kemurtadan mereka, atau adanya saudara dari kerabat kita. Namun tetap saja makna saudara disini tidak sekuat arti dari ikhwah sesame umat muslim. Karena seperti yang kita ketahui, walaupun ada seorang anak dan ayah namun jika salah satunya berbeda agama atau non islam maka tidak dapat mewarisi atau menjadi ahli waris

Kemudian Allah Swt. berfirman: fa ashlihû bayna akhawaykum (Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian). Karena bersaudara, normal dan alaminya kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian, dan persatuan. Jika terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah penyimpangan, yang harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan meng-ishlâh-kan mereka yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk mencari solusinya pada hukum Allah dan Rasul-Nya. Kata akhawaykum (kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling sedikit terjadinya persengketaan. Jika dua orang saja yang bersengketa sudah wajib didamaikan, apalagi jika lebih dari dua orang. Digunakannya kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna, bahwa sengketa atau pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari tubuh kaum Muslim. Mereka tetap disebut saudara.[4]

Ayat sebelumnya pun menyebut dua kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhâf-kannya kata akhaway dengan kum (kalian, pihak yang diperintah) lebih menegaskan kewajiban ishlâh (mendamaikan) itu sekaligus menunjukkan takhshîsh (pengkhususan) atasnya. Artinya, segala sengketa di antara sesama Mukmin adalah persoalan internal umat Islam, dan harus mereka selesaikan sendiri.Perintah dalam ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat sebelumnya.
Ayat sebelumnya mengatakan: wa in thâ’ifatâni min al-Mu‘minîna [i]qtatalû (jika ada dua golongan dari kaum Mukmin berperang). Kata thâ’ifatâni (dua golongan) dapat membuka celah kesalahan persepsi, seolah ishlâh hanya diperintahkan jika dua kelompok berperang, sedangkan jika dua orang bertikai, apalagi tidak sampai perang ([i]qtatalû) seperti hanya saling mencaci dan memaki, dan tidak menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlâh. Karena itu, firman Allah Swt. bayna akhawaykum itu menutup celah salah persepsi itu. Jadi, meski yang bersengketa hanya dua orang Muslim dan masih dalam taraf yang paling ringan, ishlâh harus segera dilaksanakan.[5]
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: wa [i]ttaqû Allâh la‘allakum turhamûn (dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat).

Takwa harus dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh dan semua perkara. Dalam melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat dengan kebenaran dan keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong pada salah satu pihak. Sebab, mereka semua adalah saudara yang disejajarkan oleh Islam. Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum Allah, yakni ber-tahkîm pada syariat. Dengan begitu, mereka akan mendapat rahmat Allah Swt. Allah SWT menegaskan dalam ayat sepuluh tersebut bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara orang-orang seketurunan karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal. [6]

Setiap muslim memiliki hak atas saudaranya yang sesama muslim. Dalam hadits riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda, “Orang muslim itu adalah saudara orang muslim, jangan berbuat aniaya kepadanya, jangan membuka aibnya, jangan menyerahkannya kepada musuh, dan jangan meninggikan bagian rumah sehingga menutup udara tetangganya kecuali dengan izinnya, jangan mengganggu tetangganya dengan asap makanan dari periuknya kecuali jika ia memberi segayung dari kuahnya. Jangan membeli buah-buahan untuk anak-anak, lalu dibawa keluar (diperlihatkan) kepada anak-anak tetangganya kecuali jika mereka diberi buah-buahan itu. Kemudian Nabi saw bersabda, “Peliharalah (norma-norma pergaulan) tetapi (sayang) hanya sedikit di antara kamu yang memeliharanya”. Dalam hadits shahih lain yang dinyatakan, “Apabila seorang muslim mendo’akan saudaranya yang ghaib, maka malaikat berkata ‘Amin’, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.”


6. Kandungan ayat
Ini merupakan ikatan yang Allah ikat antara kaum mu’minin, yaitu apabila ada seseorang yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir, serta beriman kepada qadha’ dan qadar, maka dia adalah saudaranya. Dengan kata lain, kaum mu’minin adalah bersaudara dalam agama. Selanjutnya Allah memeintahkan untuk bertakwa secara umum serta menerangkan hasil dari memenuhi hak kaum mu’minin kepada Allah, yaitu mendapatkan rahmat sebagaimana firman-Nya di akhir ayat. Apabila telah tercapai rahmat, maka akan tercapai kebaikan dunia dan akhirat. Ayat ini juga menunjukkan bahwa tidak memenuhi hak kaum mu’minin merupakan penghalang besar untuk mendapatkan rahmat.[7]

Di dalam suatu riwayat diterangkan,”Orang Muslim itu adalah saudara orang Muslim lainnya. Jangan dia berbuat aniaya kepadanya, janganlah dia membuka aibnya, janganlah dia menyerahkannya kepada musuh, dan janganlah dia meninggikan bangunan rumahnya sehingga menutup udara tetangganya kecuali atas izinnya. Janganlah ia mengganggu tetangganya dengan asap masakan dari periuknya keculia jika ia memberi segayung dari kuahnya, dan janganlah dia membeli buah-buahan, lalu dibawa keluar kepada anak-anak tetangganya, kecuali jika mereka diberi buah-buahan itu. Kemudian Nabi bersabda lagi,”Peliharalah (adab pergaulan), tetapi sayang, sedikit sekali di antara kamu yang memeliharanya.[8]

Ada juga riwayat yang mengatakan bahwa jika seorang Muslim mendoakan saudara Muslimnya, maka malaikat akan mengaminkan seraya mendoakan kembali kepada orang yang berdoa. Kemudian riwayat yang lain,”Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan, yang saling menguatkan antara satu bagian dengan bagian lainnya.”, dan kemudian Rasul saw. menjalinkan jari-jemari beliau.[9]

Selanjutnya, apa yang disampaikan oleh ayat di atas adalah hendaknya kita mendamaikan saudara kita yang mukmin ketika mereka berselisih. Kita sepatutnya mendamaikan saudara seagama kita, sebagaimana kita mendamaikan saudara senasab (satu keturunan) kita.[10] Persaudaraan seagama memiliki hubungan yang lebih kuat daripada persaudaraan senasab, karena persaudaraan senasab bisa terputus ketika berselisih perihal agama. Sedangkan persaudaraan seagama takkan terputus karena berbeda nasab atau keturunan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Ayat 10 surah al-Hujurat ini menerangkan persaudaraan seagama bagi kaum muslimin, yang beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari Akhir, serta beriman kepada qadha’ dan qadar. Sejauh apapun seseorang itu berada, selama dia mu’min, maka ia adalah saudara bagi mu’min yang lain. Maka, sebagai kaum mu’minin yang bersaudara, sudah sepatutnya kita melaksanakan dan menghargai hak-hak saudara seiman kita. Tidak berbuat aniaya sesama kaum mu’minin, Tidak saling membuka aib, Tidak menyombongkan diri terhadap orang lain. saling berbagi dan saling menghargai kepada sesama, agar kita tidak saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan.

Menghina sesama Muslim juga merupakan hal yang buruk, karena akan mengganggu hubungan kita dengan sesama kita. Pada dasarnya, norma-norma kesopanan juga harus dijunjung tinggi, karena tanpa kita menghargai orang lain, kita hanya akan saling benci dan saling menaruh amarah terhadap yang lain. Persaudaraan seiman mungkin tidak satu keturunan, tapi hubungannya lebih kuat dari persaudaraan seketurunan, karena sebaliknya, persaudaraan seketurunan akan terputus manakala di dalamnya terdapat perselisihan tentang keimanan.


Kritik dan Saran
Tak ada gading yang tak retak, kiranya demikianlah kiasan masyhur yang sering digaungkan para pemakalah guna mengharapkan kritik dan saran bagi makalahnya. Penulis tentu sangat merasa bahwa makalh yang dibuat sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu perlu adanya masukan guna penyempurnaan. Semoga apa yang tersurat maupun tersirat dapat menjadi manfaat sesame, amin.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad bin Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Beirut, Dar Ihya’ at-Turats al-`Arabiy, 1946.
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’ân Al-`Azhim, jilid 7, Dâr at-Thaibah, 1999.
Fakh ad-Dîn ar-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, jilid 2. Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-`Arabî, 2001.
Abû `Abdillah Muhammad al-Qurthubî, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, jilid 16. Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishriyyah, 1964.
https://mim.or.id/tafsir-surah-al-hujurat-ayat-10/ diakses pada 9 oktober 2018, pukul 20:30 WIB
https://dokumen.tips/documents/makalah-al-hujurat-10-13.html diakses pada 9 oktober 2018, pukul 20:45 WIB


[1] Abû Ja`far at-Thabarî, Jamî` al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Muassasah ar-Risâlah, 2000), jilid 22, 297.
[2] Fakh ad-Dîn ar-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-`Arabî, 2000 H), jilid 28, 129.
[3] Abû `Abdillah Muhammad al-Qurthubî, Al-Jâmi` li Ahkâm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishriyyah, 1964), jilid 16, 322.
[4] Abû Ja`far at-Thabarî, Jamî` al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, (Muassasah ar-Risâlah, 2000), jilid 22 , 305
[5] https://dokumen.tips/documents/makalah-al-hujurat-10-13.html diakses pada 9 oktober 2018, pukul 20:45 WIB
[6] Fakh ad-Dîn ar-Râzî, Mafâtîh al-Ghaib, (Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-`Arabî, 2000 H), jilid 28, 134
[7] Ahmad bin Mushtafa al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, (Beirut, Dar Ihya’ at-Turats al-`Arabiy, 1946), jilid 26, 131.
[8] https://mim.or.id/tafsir-surah-al-hujurat-ayat-10/ diakses pada 9 oktober 2018, pukul 20:30 WIB
[9] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’ân Al-`Azhim, (Dâr at-Thaibah, 1999), jilid 7, 375.
[10] Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, jilid 26, 131.

Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR AYAT TENTANG RELASI SOSIAL"