Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH RELEVANSI ANTROPOLOGI DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN

MAKALAH RELEVANSI ANTROPOLOGI DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN
Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas individu pada semester V
DosenPembimbing : Wahyuni Shifatur Rohmah, M.S.I

Disusun Oleh :LuthfiRosyadi
NIM : 1631037
ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR / V
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH, DAN SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
KEBUMEN
2018

بِسْمِ الله ِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, rabbul ‘alamin. Dzat yang memiliki sifat dzal jalali wal ikram, yang mana telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini, yang berjudul “Makalah Relevansi Antropologi Dalam Penafsiran Al-Qur’an”.
Shalawat serta salam, semoga selalu tercurahkan kepada sang pembawa kedamaian, pembebas perbudakan, beliau Baginda AgungNabi Muhammad SAW. SemogakitabisaberkumpuldenganBeliau di yaumul akhir, amin
Penulis ucapkan terimakasih, kepada Ibu Wahyuni Shifatur Rohmah, M.S.I, khususnya yang telah membimbing dalam pembuatan makalah, dan kepada semua teman-teman saya pada umumnya, yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.Jazakumulloh khoiro jaza.
Di penghujung kata pengantar ini, penulis mengharapkan kepada para pembaca sekalian, agar memberikan kritik dan saran yang mampu meningkatkan kualitas makalah-makalah yang akan tercetak pada waktu yang akan datang.
Sekian,
Wassalamu’ailikum, warahmatullahi wabarakatuh.
Kebumen, 02 Oktober 2018


Penulis






Al-Qur'an adalah pedoman hidup bagi manusia, pada umumnya, dan bagi umat islam khususnya, serta merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan yang ada di dunia ini. Tetapi alangkah lebih baik apabila isi kandungan Al-Qur'an dapat dikaji lebih dalam dengan mempelajari tafsir Al-Qur'an.
Pada masa sekarang, dalam menyingkapkan berbagai persoalan kehidupan, harus disandarkan pada Al-Qur'an dan Hadis. Tetapi untuk memahaminya tentu saja dibutuhkan penafsiran yang tepat agar makna yang terkandung di dalamnya tidak melenceng. Untuk itu kita bisa merujuk pada kitab-kitab tafsir yang sudah diakui kebenarannya.

Tafsir al qur'an akan menjelaskan tentang berbagai hal, Antropologi mempelajari tentang manusia dan segala perilaku mereka untuk dapat memahami perbedaan kebudayaan manusia. Banyak kita jumpai urgensi peran sebuah tokoh. Sebagai contoh kata al-muttaqûn /al-muttaqîn sebagai sarana menjelaskan hakikat ketakwaan seperti yang terdapat pada awal surah al-Baqarah dan Ali Imran, ayat: 133-136, ash-shabirûn/ash-shabirîn dipakai untuk memaparkan konsep kesabaran, shâdiqûn/shâdiqîn/shadiqât untuk lebih mendalami makna kejujuran, kesungguhan serta etios kerja; serta kata-kata pelaku (fâ’il) lainnya. Dalam Islam manusia digambarkan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Secara antropologis ungkapan ini berarti bahwa sesungguhnya realitas manusia menjadi bagian realitas ketuhanan. Di sini terlihat betapa kajian tentang manusia, yang itu menjadi pusat perhatian antropologi, menjadi sangat penting.

1. Bagaimanakah relevansi Antropologi dalam penafsiran Al-Qur’an ?

1. Mengetahui tentang relevansi antropologi dalam penafsiran Al-Qur’an.


Dalam KBBI, kata relevansi diartikan dengan hubungan atau kaitan.[1] Atau daat dikatakan secara umum, konsep relevansi adalah bagaimana cara kita saat mencoba menghubungkan konsep satu topik dengan konsep topik yang lainnya dengan cara bersamaan memperimbangkan topik yang pertama.[2]

Antropologi adalah ilmu tentang manusia. Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau "orang", dan logos yang berarti "wacana" (dalam pengertian "bernalar", "berakal") atau secara etimologis antropologi berarti ilmu yang mempelajari manusia.[3]
Antropologi dalam KBBI didefinisikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna, bentuk fisik, adat istiadat dan kepercayaannya pada masa lampau.[4]
Adapaun pengertian menurut para ahli :[5]

1. Conrad Phillip Kottak
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari keragaman manusia secara holistik meliputi aspek sosial budaya, biologis, kebahasaan dan lingkungannya dalam dimensi waktu lampau, saat ini, dan di masa yang akan datang. Kottak membagi antropologi dalam empat subdisiplin, yaitu: antropologi sosial budaya, arkeologi, antropologi biologi dan linguistik antropologi.

2. David Hunter
Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

3. Koentjaraningrat
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

4. William A. Haviland
Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
Antropologi lahir atau berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa pada ciri-ciri fisik, adat istiadat, dan budaya etnis-etnis lain yang berbeda dari masyarakat yang dikenal di Eropa. Pada saat itu kajian antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di suatu kawasan geografis yang sama, memiliki ciri fisik dan bahasa yang digunakan serupa, serta cara hidup yang sama. Namun demikian dalam perkembangannya, ilmu antropologi kemudian tidak lagi hanya mempelajari kelompok manusia tunggal yang mendiami suatu wilayah geografis yang sama.
Dengan melihat uraian-uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa maksud dari relevansi antropologi dalam penafsiran Al-Qur’an adalah hubungan atau keterkaitan antara ilmu antropologi dalam proses penafsiran Al-Qur’an.

Berbicara masalah Antropologi maka yang menjadi objek adalah manusia sebagai makhluk sosial yang secara definisi maupun objek kajiannya hampir sama namun berbeda dengan kajian sosiologi. Kemudian dihadapkan dengan Al-Qur’an dan Hadits yang notabene merupakan sumber primer umat islam dalam beribadah dimana dipastikan bahwa didalamnya akan muncul konsep-konsep sosial manusia maka disanalah Antropologi berperan.[6]

Syeikh Muhammad Abduh berpendapat yang dibutuhkan oleh umat ini adalah pemahaman kitab suci sebagai sebuah hidayah yang membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga Al-Qur’an pasti dapat menyuguhkan berbagai solusi beragam atas berbagai polemik sosial dan problem yang sangat kompleks[7].

Penjabaran kegiatan-kegiatan ekonomi yang dijabarkan dari tafsir sosial permasalahan masyarakat; seperti kemiskinan, melawan monopoli, perlakuan zhalim terhadap harta anak yatim, sampai pada distribusi zakat dan kinerja para amilin zakat. Sebagai penyeimbang kasus-kasus polemik epistimologis yang dihasilkan dari premis desakralisasi teks (al-Qur’an), dari sejak wacana penyetaraan gender sampai menggugat jenis-jenis hukuman kriminal.

Relevansi pedekatan antropologi dicontohkan al-Qur’an sendiri dalam kasus pelarangan meminum khamr yang turun dalam tiga tahapan: pertama, tahapan balance informasi[8]. Kedua, tahapan peringatan[9]. Ketiga, tahapan final pengharamannya[10]. Struktur perintah termasuk redaksi dan pola penyampaiannya sangat memperhatikan kondisi sosial masyarakat saat itu.

Demikian halnya dalam konteks penyampaian isi al-Qur’an dan penafsirannya pada skup yang sangat mikro dan lokal yang diperhatikan adalah konteks metode penafsirannya dan bukan pada pengubahan substansinya. Bila tidak problem budaya akan semakin menjadi tema polemik yang menarik antar komunitas yang berbeda. Seperti pengertian dan batasan tentang jilbab. Benarkah batasan wajibnya hanya pada aurat kubra? Selebihnya diserahkan pada nilai kebiasaan dan adat masyarakat setempat. Benarkah hijab atau jilbab hanya menjadi sebuah simbol keberagamaan. Atau ada maqashid syariah di sana? Jika sebagai symbol apakah mewakili symbol keberagamaan universal atau mewakili kultur tertentu saja. Atau sebaliknya dengan dalih maqashid, simbol seperti ini bisa digantikan dan tidak dipakai?

Bila yang dijadikan patokan hukum adalah adat maka tidak mustahil suatu kondisi kemungkaran yang menyebar berubah penilaiannya menjadi makruf. Sedang sebaliknya pengingkaran terhadap ini menjadi mungkar karena melawan suara mayoritas. Lebih dahsyatnya bila umat ini kehilangan imunitas saat serangan globalisasi peradaban dan budaya datang bertubi-tubi.

Gelombang globalisasi budaya ditandai dengan akhir dari periodisasi keyakinan atau budaya Amerika[11]yaitu bagaimana menyalurkan pemikiran-pemikiran ini ke seluruh penjuru dunia menembus batas-batas geografis dan keyakinan bangsa lain. Pada akhir abad 20 kita masih sering membuat anti tesa antara peradaban Islam dengan peradaban Barat, atau antara Timur dan Barat. Akan tetapi anti tesa ini perlahan bergeser dan berubah dengan anti tesa antara Islam dan Amerika. Sehingga Islam diwacanakan sebagai common enemy (musuh bersama). Atau meminjam istilah Ibnu Kholdun sebagai konspirasi penafsiran sejarah (at-Tafsir at-Ta’amury li at-Tarikh). Tidakk aneh, jika suatu saat ada anekdot pilihan menjadi manusia hanya dua; menjadi pluralis (yang mengakui persamaan/penyatuan semua agama) atau menjadi teroris.

Serangan globalisasi budaya bila disikapi dengan pendekatan antropologi terhadap penafsiran al-Qur’an bisa mengakibatkan mindset terbalik yang bertujuan desakralisasi nilai-nilai dan sangat propagandis. Sebagai misal, sebut saja pengalihan wacana pertikaian dan kepentingan politik Amerika di Timur Tengah menjadi seruan perhatian dunia terhadap lingkungan hidup. Ini ajakan yang bagus. Hanya saja shâhib fikrahnya adalah perusak lingkungan maka dagangan politik ini cenderung kurang laku meski tak henti-hentinya didengungkan.

Karena itu perlu penyikapan realitas sosial dengan bijak. Pembacaan minor internal umat Islam dengan sikap mental inferior, meminjam istilah Malik ben Nabi sikap qâbiliyah umat untuk dijajah akan memperparah menjadi inferiority complex. Akibatnya, dengan serta merta mengikut dan mengadopsi budaya eksternal dengan filter terlalu lebar atau tidak sama sekali. Demi melihat glamournya kemajuan dan kemapanan kehidupan sebuah komunitas sosial seperti di Eropa dan Amerika.


Berdasarkan penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa :
1. Maksud daripada relevansi antropologi dalam penafsiran Al-Qur’an adalah kerterkaitannya, atau hubungan antara ilmu antropologi dalam proses manafsirkan ayat-ayat-ayat Al-Qur’an.
2. Sebagai percontohan, dalam dalam kasus pelarangan meminum khamr yang turun dalam tiga tahapan: pertama, tahapan balance informasi. Kedua, tahapan peringatan. Ketiga, tahapan final pengharamannya. Artinya bahwa dalam penetapan hukum khamr adalah dengan melirik adat-budaya masyarakat arab, yang memang dulunya penuh dengan kebebasan, sehingga penetapan hukumnya membutuhkan tahapan-tahapan.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Al-Karim.
Antopologi. (t.thn.). Dipetik Oktober 02, 2018, dari Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi#Pengertian_Antropologi_menurut_para_ahli
Antropologi. (t.thn.). Dipetik Oktober 02, 2018, dari Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi
Fahmi, A. (2013, Juni 05). Antropologi Al-Qur'an : Relevansi Antropologi Agama Terhadap Studi al-Qur’an dan Hadits. Dipetik Oktober 02, 2018, dari Taman baca: http://fahmi-assaifi.blogspot.com/2013/06/antropologi-al-quran.html
KBBI. (2001). Balai Pustaka.
Munim, M. A. (2000). Al-Islam Wa Hadaiq As-Syaithon Kitab Mahrajan lil-Jami’. Cairo: Maktabah Usrah.
Pengertian Relevansi. (t.thn.). Dipetik Oktober 03, 2018, dari Definisi Menurut Para Ahli: http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-relevansi/
relevansi. (t.thn.). Dipetik Oktober 02, 2018, dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): https://kbbi.web.id/relevansi
Ridha, M. R. (1998). Tafsîr al-Manâr. Beirut: Dar al-Fikr.







[1]https://kbbi.web.id/relevansi. Diakses pada Selasa, 02 Oktober 2018, pukul 15.00 WIB
[2]http://www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-relvansi/. Diakses pada Rabu, 03 Oktober 2018, pukul 05.43 WIB
[3]https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi. Diakses pada Selasa, 02 Oktober 2018, pukul 15.00 WIB
[4] KBBI, BalaiPustaka, EdisiKetiga, cet. I, 2001, h. 58.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Antropologi#Pengertian_Antropologi_menurut_para_ahli. Diakses pada Selasa, 02 Oktober 2018, pukul 15.00 WIB
[6]http://fahmi-assaifi.blogspot.com/2013/06/antropologi-al-quran.html. Diakses pada Selasa, 02 Oktober 2018, pukul 15.00 WIB
[7] Muhammad RasyidRidha, Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dar al-Fikr, 1998, Vol. I, h. 24
[8]lihat QS. Al-Baqarah, ayat: 219
[9]lihat QS. An-Nisâ’, ayat: 43
[10]lihat QS. Al-Mâ’idah, ayat: 90
[11] Muhammad Abdul Munim, Al-Islam WaHadaiq As-Syaithon, KitabMahrajanlil-Jami’, Cairo: MaktabahUsrah, 2000, h. 98-99

Post a Comment for "MAKALAH RELEVANSI ANTROPOLOGI DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN"