Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُÙˆْصُ Ù‚َدْ Ø¥ِÙ†ْتِÙ‡َÙ‰ ÙˆَالْÙˆَÙ‚َائِعُ غَÙŠْرُ Ù…ُتَÙ†َÙ‡ِÙŠَØ© # صَÙ„ِØ­ٌ Ù„َÙƒُÙ„ِّ زَÙ…َان ÙˆَÙ…َÙƒَان

SISTEM PERIWAYATAN HADITS

KARYA TULIS 
SISTEM PERIWAYATAN HADITS 

Disusun untuk memenuhi tugas individu 
Bahasa Indonesia



Oleh : 
Akhsan Fahmi 
Kelas XII a 
YAYASAN PENDIDIKAN AL-ISTIQOMAH KARYA GUNA (YAPIKA) 
TANJUNGSARI PETANAHAN KEBUMEN 
TAHUN AJARAN 2014-2015

DAFTAR ISI

HALAMAN COVER
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang
2.Rumusan Masalah
3.Tujuan Pengamatan
4.Manfaat Penelitian
5.Sistematika Penulisan
6.Landasan Teori

a.Pengertian Riwayah dan As-syahadah
b.Persamaan dan Perbedaan Ar-Riwayah dan As-Syahadah

PEMBAHASAN

1.Syarat Penerimaan dan penyampaian hadits
2.Metode periwayatan hadits
3.Bentuk riwayat yang disampaikan dengan lafal dan makna
4.Upaya sosialisasi hadits
5.Perbedaan pendapat dan tanggapan

a.Sekitar penerimaan dan periwayatan hadits
b.Sekitar metode periawayatan

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA



KATA PENGANTAR

Assalam’alaikum wr.wb
Alhamdulillah segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat allah swt yang telah banyak memberikan banyak kenikmatan berupa segala yang telah dirasakan dalam kehidupan ini. Salah satu diantaranya adalah pemberian ilmu dan kemampuan menuangkannya ke dalam bentuk tulisan serta menjadikannya ke dalam bentuk karya tulis yang berjudul “SISTEM PERIWAYATAN HADIS”
Shalawat dan salam semoga tetap dilimpahkan kepada beliau Nabi Muhammad , keluarga, serta para sahabat-sahabatnya.
Ucapan terima kasih saya hanurkan kepada para guru yang mana telah banyak memberikan ilmu , khususnya Nur Isriqomah,S.Pdi yang telah membimbing saya sehingga dapat menyelesaikan tugas karya tulis ini tanpa ada halangan.
Karya tulis ini tentu jauh dari sempurna, karenanya saya senantiasa mengharapkan masukan dan kritikan dari pembaca.
Akhir kata, bila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum wr.wb


Kebumen, 30 November 2014
Penulis

Akhsan fahmi


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang


Hadits adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an . dilihat dari segi periwayatannya,hadits berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan ayatnya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan hadits Nabi sebaggian periwayatannya berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad[1]. Karenanya, al-Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud atau qath’iy as-tsubut[2] dimana seluruh ayat telah diakui keasliannya, sedang hadits, terutama yang dikategorikan hadits ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepasian periwayatannya: apakah berasal dari Nabi atau bukan. Hadits dilihat dari segi periwayatannya berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.

Kajian-kajian yang banyak dilakukan umat Islam terhadap al-Qur’an adalah untuk memahami kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadits, kajian mereka tidak hanya menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya, tetapi juga periwayatannya. Karenanya, kajian terhadap periwayatan hadis ini kemudian melahirkan disiplin ilmu tersendiri yang dikenal dengan ilmu ad-dirayah.

Bab ini membahas aspek periwayatan hadis yang secara khusus mengkaji syarat-syarat penerimaan dan periwayatan hadits, metode-metode, bentuk riwayat, dan upaya sosialisasi hadits dengan terlebih dahulu mengemukakan pengertian, persamaan, dan perbedaan ar-riwayah dan as-syahadah, kemudian diakhiri dengan perbedaan pendapat dan tanggapan. 

B. Rumusan Masalah

1.      Bagaimana syarat-syarat penerimaan hadits ?

2.      Bagaimana metode-metode periwayatan hadits ?

3.      Apakah sajakah bentuk riwayat hadits ?

4.      Apa saja perbedaan pendapat dan tanggapan seputar periwayatan hadits?

C. Tujuan Pengamatan

Tujuan dari pengamatan ini adalah untuk memperoleh informasi secara rinci mengenai sistem periwayatan hadits

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk memberikan sumbangan tentang dasar-dasar periwayatan hadits
2. Sebagai bahan bacaan bagi pembaca yang berminat mempelajari lebih lanjut mengenai sistem periwayatan hadits.

E. Sistematika Penulisan

Karya tulis ini dibuat dengan sistematika-sistematika yang ada dan ditulis berdasarkan EYD

F. Landasan Teori

1. Pengertian ar-Riwayah dan as- Syahadah

Secara etimologis ar- riwayah berasal dari kata rawa, yarwi, riwayatan yang berarti naqala wa dzakara ,[3] yakni membawa atau mengutip; memindahkan atau menyebutkan . dari sini kemudian dipakai riwayat al-hadits yang artinya menyampaikan hadits. Arti ini sejalan dengan hadits Nabi: qala shalla allahu alayhi wa sallam: allahumma irham khulafa’iy, qila wa man khulafa’uka? Qala al-ladzina ya’tuna min ba’diy yarwuna ahaditsiy wa yu’alimunaha annasa, rawahu at-thabrani wa ghairuhu. Semakna dengan itu adalah menyampaikan, menceritakan, dan menyebarkan hadits kepada orang lain, seperti tersirat dari sabda Nabi : ‘an zaid bin tsabit qala: sami’tu rasulallah shalla allahu alaihi wa sallam yaqul: nadhdhara allahu al-mar’a sami’a minhu haditsan fabalaghahu ghairahu …. Rawahu abu dawud wa at-tirmidzi.

Menurut istilah ahli hadits, ar-riwayah adalah memindahkan dari seorang guru kepada orang lain atau membukukannya ke dalam buku hadits.[4] Orang yagn melakukan kegiatan ini disebut rawi,yaitu orang yang menyampaikan atau menuliskan hadits yang diterima dari gurunya dalam sebuah buku.

Sedangkan Ias-syahadah secara bahasa berarti akhbara bikadza khayran qathi’an, yakni memberikan sesuatu dengan sebenar-benarnya[5]. Sedang menurut hadits hasbi ash-Shiddieqiy, as-syahadah berarti hadir, memberi kabar, dan mengetahui[6]. Semaka dengan itu adalah al-bayyinah wa al-yamin, bukti dansumpah atau kesaksian[7], seperti yang diterangkan dalam firman Allah surah al-Baqarah:282 dan 283: dzalikum aqsathu ‘indallah wa aqwamu li as-syahadati… wa la taktumu as-syahadah..

Berangkat dari arti bahasa ini, Ibnu Faris yang dikutip oleh Hasbi ash-shiddieqiy,dengan singkat merumuskan as-syahadah dengan ungkapan ikhbaru ma syahida[8] , memberitahukan sesuatu yang disaksikan,. Jadi, as-syahadah dapat dipahami sebagai seorang kesaksian atau beberapa orang yang diberikan karena memiliki implikasi hokum tertentu, sesuai al-Qur’an surah an-nur:6: “orang-orang yang menuduh istrinya(berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri maka persaksian mereka adalah bersumpah empat kali atas nama allah bahwa mereka termasuk orang-orang yang benar” 


2.      Persamaan dan Perbedaan ar- Riwayah dan as-Syahadah

Para ulama berpendapar bahwa persamaan ar-riwayah dengan as-syahadah terdapat pada empat hal, yaitu harus dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam , telah mukalaf (baligh dan berakal), bersifat adil dan dhabith[9]. Keempat hal itu berkaitan langsung dengan syarat sahnya periwayat dan saksi[10].

Adapun perbedaan antara periwayatan dan kesaksian jumlahnya cukup banyak. Menurut al Ghazali, enam diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Periwayatan boleh dilakukan oleh hamba sahaya, sedangkankesaksian harus dilakukan oleh rang yang merdeka.
2.      Periwayat syah saja dilakukan oleh laki-laki ataupun wanita, sedangkan kesaksian lebih diutamakan laki-laki.
3.      Periwayat asalkan pendengarannya baik, syah dilakukan oleh orang yang buta, sedangkan saksi tidak diperkenankan dari seorang buta.
4.      Periwayat boleh memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang dijelaskan dalam riwayat yang dikemukakannya, sedangkan kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekerabatannya dengan orang yang memberikan kesaksian perkaranya.
5.      Bilangan periwayat tidak menjadi persyaratan syahnya periwayatan, sedangkan kesaksian untuk peristiwa-peristiwa tertentu haruslah lebih dari satu orang.
6.      Periwayat dapat mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disinggung dalam berita yang diriwayatkannya, sedangkan kesaksian tidak boleh dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan permusuhan dengan orang yang disaksikan perkaranya[11].

Jadi, selama as-syahadah memiliki pengertian kesaksian seseorang terhadap hadis Nabi dan bukan terbatas pada kesaksian perkara maka ia sama dengan ar-riwayah. Sebaliknya, jika ar-riwayah berarti cerita seseorang tentang kesaksiannya terhadap suatu hal yang tidak hanya terbatas hanya terbatas pada hadis Nabi maka ia sama dengan as-syahadah. Ini karena ar-riwayah dan as-syahadah  memiliki persamaan dan perbedaan seperti tersebut diatas.


PEMBAHASAN

A.     Syarat-syarat Penerimaan dan Penyampaian Hadits

Syarat penerimaan dan penyampaian hadis telah ditetapkan oleh para ahli hadis semata-mata bertujuan untuk memelihara hadis dari tindakan pemalsuan. Penetapan syarat-syarat penerimaan dan penyampaian (periwayatan) hadis ditetapkan oleh para ulama sesudah generasi sahabat, terutama saat hadis  dihimpunkan dalam kitab-kitab hadis[12].

Menurut para ulama, secara umum, terdapat perbedaan antara syarat-syarat penerimaan dan syarat-syarat periwayatan hadis. Mereka pada umumnya memperbolehkan penerimaan hadis dilakukan oleh orang kafir dan anak-anak, asalkan ketika meriwayatkannyaia telah masuk Islamdan mukalaf[13]. Sedangkan syarat-syarat yang telah ditetapkan untuk periwayatan hadis adalah sebagai berikut: (1) Islam,(2) baligh, (3) berakal, (4) tidak fasik, (5) terhindar dari tingkah laku yang mengurangi danmenghilangkan kehormatan (muru’ah) (6) mampu menyampaikan hadis yang telah dihapalnya, (7) jika periwayat into memiliki catatan maka catatannya ini dapat dipercaya, dan (8) sangat mengetahui hal-hal yang merusakmaksud hadis yang diriwaatkannya secara makna[14]. Kedelapan syarat itu, menurut ibnu Al-Asir Al-Jazari, tercakup kedalam Islam,mukalaf, adil, dan dhabith[15]. Sedangkan menurut syuhudi Ismail, kedelapan syarat tadi tercakup didalam dua karakteristik dasar, yakni adail dan dhabith.[16].
     
    Tampak bahwa syarat-syarat yang ditetapkan ulama teradap periwayata yang melakukan kegiatan periwayatan haditslebih ketat daripada persyaratan ketika menerima hadits. Namun demikian, menurut Syuhudi Ismail, orang yang menerima hadis paling tidak harus memenuhi dau syarat, yaitu: (1) sehat akal pikirannya, (2) secara fisik dan mental tersebutmampu memahami dengan baikriwayat hadis yang diterimanya[17].

B.      Metode Periwayatan Hadits Nabi

Menurut istilah ilmu hadis, yang dilakukan periwayatan ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta menyadarkannya kepada rangkaian para periwayat hadis itu dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam hal ini, ada tiga unsure yang harus dipenuhi dalam meriwayatkan hadis, yaitu: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayatannya;(2) kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain,dan (3) ketika hadis ini disampaikan kepada orang lain, disebutkan susunan rangkaian periwayatannya[18].

Di dalam menyebutkan rangkaian para periwayat hadis yang disampaikan kepada orang lain itu, terdapat kata-kata atau huruf yang dipakai para periwayat hadis dalam rangkaian periwayat hadis yang ia riwayatkan sekaligus menetapkan metode penerimaan dan penyampaian hadis yang terekan di dalam kata-kata itu. Kata-kata atau huruf yang telah mereka identifikasi itu bisa dibagi ke dalam beberapa kelompok, yakni:
Kelompok pertama adalah kata-kata: (a) sami’tu (b) hadatsana (c) haddatsaniy (d) akhbarana (e) qala lana dan (f) dzakara lana. Para ulama hadits telah menetapkan bahwa apabila satu dari kata-kata tersebut dipakai oleh para periwayat dalam rangkaian para periwayat hadis yang ia riwayatkan maka metode penerimaan dan periwayatan hadis tersebut adalah al-sama’, yaitu seorang periwayat menerima hadits dengan cara mendengar langsung lafal hadis dari guru hadis. Seorang guru hadis meriwayatkan hadisnya kapada penerimanya (murid) dengan cara mendiktekan atau memperdengarkan  ucapan hadis yang dihafail atau hadis yang telah dicatatnya.
Kelompok kedua adalah kata-kata: (a) qara’tu ‘ala fulanin (b) qara’tu ‘ala fulanin wa ana asma’u fa aqqrabahu. Para ulama sepakat  bahwa pemakaian kata-kata ini telah menggambarkan caraperiwayatan hadis dengan metode qira’ahi, yaitu periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru  dengan cara periwayat itu sendirmembacanya atau orang lain yang membacanya dan memperdengarkan. Riwayat hadis yang dibacakan itu dapat saja berasal dari catatan atau dafi hafalannya. Guru hadis aktif memperdengarkan bacaan hadis yang disodorkannya itu dengan teliti dan cermat melalui hafalan sendiri atau catatan yang dianggap peling benar. Metode demikian, menurut ‘ajjaj  al-Khatib disebut ‘ard al-qira’ah (mendemonstrasikan bacaan).
Kelompok ketiga adalah kata-kata: (a) haddatsana ijazatan (b) akhbarana ijazatan. Kata-kata ini menggambarkan suatu metode penerimaan dan periwayatan hadis dengan metode ijazah, yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah kitab hadis tanpa membaca hadis tersebut satu per satu.
Kelompok keempat adalah kata-kata (a) haddatsana munawalatan wa ‘aradhan (b) iakhbarana munawalatan yang merekam suatu penerimaan dan periwayattan hadis dengan munawalah, yaitu seorang guru memberikan sebuah materi tertulis kepada seorang untuk meriwayatkannya.
Kelompok kelima adalah kata-kata (a) kataba ila fulanin (b) akhbarani mukatabatan (c) akhbarana bihi kitabatan yang melukiskan metode mukatabah, yaitu seorang ulama hadis menuliskan hadis atau menyuruh orang lain untuk menulisknannya , kemudian memberikan kepada orang lain yang ada dihadapannya atau tidak berada di hadapannya.
Kata akhbarana I’lamam dipakai periwayat hadis karena menunjukan pengertian bahwa metode yang dipakai dalam kegiatan menerima dan meriwayatkan hadis itu adalah i’lam.i’lam berarti bahwa seorang guru memberitahukan kepada muridnya bahwa dirinya telah menerima hadis tertentu dari periwayatnya dengan metode tertentu, namun pemberitahuan itu tanpa disertai pernyataaan agar muridnya itu meriwayatkan hadis yang beru diberitahukan sang guru tadi. Kata ausha ila fulanin melukiskan pengertian kepada meted ketujuh, yaitu metode yaitu metode al-washiyah. Yakni, seorang periwayat hadis mewasiatkan kitab hadis kepada seseorang. Wasiat itu berupa penegasannya bahwa seorang yang diberi wasiat itu boleh meriwayatkan hadis yang termuat dalam kitab itu. Kata wajadtu fi kitai fulanin atau qra’tu bi- khaththi fulanin ‘an fulanin. Kata ini menunjukan bahwa metode penerimaan dan periwayatan hadis yang ditempuh seorang hadis adalah wijadah,  yaitu seseorang seseorang menemukan hadis atau  kitab hadis yang ditulis oleh guruhadis yang dikenal tanpa melaluias-sama’, ijazah, dan munawalah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa metode periwayatan hadis itu ialah: (a) as-sama’, (b) qiraah (c) ijazah, (d) munawalah, (e) mukatabah, (f) I’lam, (g) washiyah, dan  (h) wijadah.
Dapat dipahami bahwa ketika periwayat hadis melakukan kegiatan penerimaan hadis dari seorang seorang guru hadis, sesungguhnya guru hadis itu telah melakukan periwayatan hadis. Saat itu dai dapat saja menempuh meted qira’ah, ia sendiri membacakan atau mendiktekan hadis, ijazah, munawalah, mukatabah, I’lam, washiyah dan  sama’ (guru hadis mendengarkan bacaan murudnya, lalu mengesahkan atau mengoreksi). Sedang satu metode yang tidak mungkin dilakukan guru adalah wijadah. Metode ini hanya mungkin dilakukan ooleh penerima hadis saja.

C.      Bentuk Riwayat yang Disampaikan dengan Lafal dan Makna

Bila disepakati bahwa kategori hadis yang meliputi (1) sifat-sifat Nabi, (2) perbuatan dan akhlak akhlak Nabi, (3) perbuatan sahabat yang didiamkan/ditolak Nabi, (4) pendapat  Nabi terhadap masalah yang dihadapi sahabat, (5) sabda Nabi yang berkenaan dengan do’a-do’a dalam ibadah , (6) hadis qudsi, dan (7)  surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada penguasa dan sebagainya. Maka, tampak empat point pertama diriwayatkan dalam bentuk makna(ar-riwayah bi al-ma’na), sedang tiga point terakhir diriwayatkan dengan lafal (ar-riwayah bi al-lafdzi).
Riwayah bi al-lafzhi adalah meriwayatkan hadis dengan redaksi matan yang telah didengar tanpa perubahan, penambahan, dan pengurangan. Redaksi matan itu bila diteliti sesuai dengan yang keluar daei ucapan Nabi Muhammad. Ulama yang berpegang teguh dengan hadis Nabi: naddhara allahu imra’am samia minna haditsan fabalaghahu kama sami’a minna fainnahu rubba muballighin huwa au’a lahu min sami’in rawah abu dawud wa at-tirmidzi.
Disamping hadis diatas, para ulama pendukung riwayat hadis dengan lafal juga berpegang  pada dalil kisah al-bara yang menyatakan bahwa dirinya ketika mengganti bacaan do’a tidur dengan ucapan wa nibika dari asalnya wa rasulika didengar oleh rasulullah maka beliau mengingatkannya. Sejak saat itu, al-bara tidak berani lagi mengulangi. Para ulama mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan secara mutlak, mereka tidak memenarkan riwayat dengan makna. Jadi, bila secara kukuh memegangi pendapat itu maka periwayatan hadis hanya dapat dilakukan terhadap hadis-hadis Nabi yang sifatnya qaulan(ucapan) saja, sedangkan hadis yang lain  (misalnya fi’l dan taqrir) tidak mungkin dapat diriwayatkan.
Karena itu, kebanyakan ulama hadis memperbolehkan periwayatan hadis dengan makna(ar-riwayah bi al-ma’na) dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: (1) periwayat benar-benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam, (2) periwayatan secara makna dilakukan karena terpaksa, misalnya lupa susunan lafalnya, (3) bukan sabda Nabi tentang bentuk bacaan ibadah, misalnya dzikir, do’a, adzan, takbir, dan syahadat serta bukan sabda Nabi dalam bentuk jawami’ al-kalim, (4)periwayatannya it atau yang lupa susunan lafalnya hendaknya ditambah kata aw kama qala atau aw nahwa dzalika atau yang semakna dengan itu, (5) diperbolehkan riwayah bi al-ma’na seperti ini hanya terbatas pada masa sebelum dibukukannya hadis-hadis Nabi secara resmi. Sesudah masa-masa kodifikasi hadis-hadis Nabi, periwayatan harus dilakukan secara lafzhi (lafal) .

D.     Upaya Sosialisasi Hadis

Penyabaran hadis, dalam sejarahnya, bersamaan dengan al-Qur’an yang telah dimulai sejak awal-awal dakwah Islam yang dilakukan oleh Nabi. Penyebaran hadis Nabi merupakan perilaku Nabi sendiri yang direkan oleh para sahabat, kemudian  dipraktikan dan disosialisasikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sehari-hari. Upaya sosialisasi hadis ini “sangat dekat” dengan beberapa hal, yaitu: pertama, upaya Nabi menyiarkan Islam, baik secara rahasia di Dar al-Arqam bin Abdi Manaf atau secara terang-terangan di tengah jama’ah. Keduanya, pertanyaan-pertanyaan sahabat dalam upaya memahami dan mengamalkan Islam dimana jawaban Nabi atas pertanyaan mereka segera tersosialisasi dalam kehidupan kaum muslimin. Ketiga, kegiatan para sahabat yang sangat serius dalam menerima dan menyabarkan ilmu pengetahuan dan ajaran Islam. Keempat, keberadaan istri-istri Nabi yang  secara khusus lebih banyak dari jumlah istri yang diperbiolehkan untuk orang-orang biasa adalah menjadi mediator tersosialisasinya hadis-hadis Nabi. Kelima, para delegasi yang dikirim oleh rasulullah menyiarkan dan membimbing umat Islam di daerah atau wilayah yang terpencil. Keenaam, para delegasi yang datang kepada Nabi dari daerah-daerah tertentu dan membawa masalh-masalh tertentu. Ketika pulang, mereka membawa hadis yang disampaikan Nabi. Ketujuh,, penaklukan-penaklukan Nabi dan umat Islam setelahnyaterhadap kota-kota atau  wilayah kekuasaan di luar Islam. Kedelapan, tulisan-tulisan yang mencakup hadis itu sendiri, fikih, teologi, tafsir, dan sebagainya yang telah dilakukan dan digalakan sejak abad ke-2 hijriyah oleh para ulama.

E.      Perbedaan Pendapat dan Tanggapan

1.      Sekitar Penerimaan dan Periwayatan Hadis

Perbedaan pendapat uang muncul diantaranya berkaitan dengan syah atau tidaknya anak-anak menerima hadis serta jumlah periwayatannya. Menurut Ibnu al-Asir al-Jazari, periwayatan hadis dari anak-anak sama sekali tidak syah karena dan kewajiban terhadapnya saja belum bisa ditetapkan dan kebenaran pengakuannya bisa diterima? Akan tetapi, apabila ana-anak hanya melakukan kegiatan penerimaan hadis maka syah saja penerimaaan itu dengan ketentuan di saat meriwayatkannya ia sudah baligh dan mumayyis. Ibnu al-‘Asir  al-Jazari tidak menetapkan batas minimal usia anak-anak yang syah menerima dan meriwayatkan hadis. Ia hanya berpedoman pada kebolehan Ibnu Abbas,Ibnu Zubair, Abi Thufail, Mahmud Bin Rabi’, dan sebagainya, menerima hadis pada masa masih anak-anak. Ulama SYam menetapkan bahwa kegiatan penerimaan hadis (sima’) hanya syah bagi yang sudah berusia 30 tahun,sedangkan ulama kufah menetapkan syahnya penerimaan gahis bagi yang sudah berusia 20 tahun.
Tanggapan yang mungkindapat diberikan adalah meskipun al-‘Asir tampak tidak menetapkan batas minimal usia penerimaan hadis, akan tetapi bila dicermati hadis yang menjelaskan kebolehan anak-anak sesungguhnya menjelaskan batas minimalnya, yaitu umur 5 tahun. Disamping itu, pemberian ’sertifikat’ pada kegiatan as-sima’ oleh guru-guru hadis telah diklasifikasikan secara jelas antara hadhara(pesrta yang hadir) dan as-sami’ (pendengar yang syah). Kategori yang pertama adalah bagi hadirin yang berusia 5 tahun lebih. Ulama Syam dan Kufah yang telah menetapkan batas minimal seperti tersebut diatas adalh berdasarkan kebiasaan yang berlaku di daerahnya masing-masing bahwa anak-anak yang mereka tidak keluar dari kampung mencari hadis sebelum sempurna berumur 20 atau 30 tahun. Jadi, alasan demikian tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan bahwa syahnya menerima hadis itu bagi yang sudah berusia 20 atau 30.
Sebagian ulama mensyaratkan bahwa periwayat hadis itu harus berjumlah dua orang, kemudian dari dua orang ini harus diriwayatkan lagi oleh masing-masing dua orang, dan seterusnya. Sementara sebagian ulama lagi mensyaratkanbagi periwayat hadis itu harus empat orang. Kepada ulama pertama dapat diberikan tanggapan bahwa bila  pendapatnya di  sepakati maka siring berjalannya waktu, jumlah periwayat itu terus membengkak tanpa batas, dan pada akhirnya kesulitan yang akan timbul adalah kesulitan menetapkan keaslian hadis, sebab tidak semua orang ‘adil, dan dhabith. Tanggapan kepada pendapat kedua adalah bahwa pada esensinya pendapa ini bertujuan memelihara keaslian hadis. Jadi, tidaklah salah kalau misalnya sudah diketahui bahwa periwayat sangat ‘adil dan dhabith meriwayatkan hadis meskipun seorang diri.

2.      Sekitar Metode Periwayatan Hadis

Sebenarnya hamper semua metode periwayatan hadis mendapat sorotan para ulama. Sorotan itu berkisar pada masalah kemungkinan-kemungkinan jaminan yang diberikan masing-masing metode itu terhadap upaya pemeliharaan hadis dari pemalsuan-pemalsuan. Metode yang dipandang mampu mengeliminir kesalahan-kesalahan atau ketidakakuratan penerimaan dan periwayatan hadis menduduki peringkat pertama dan seterusnya urutan dapat ditetapkan berdasarkan tingkat kemampuan metode itu menjamin terpeliharanya hadis dari kesalahan-kesalahan. Karenanya, sama pentingnya dengan penelitian terhadap sanad, matan dan rawi hadis adalah penelitian terhadap metode penerimaan dan periwayatan hadis(kayfiyatu tahammul al-hadits).


PENUTUP

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, atas berkat rahmat allah yang maha kuasa saya dapat menyelesaikan karya tulis ini guna memenuhi tugas Bahasa Indonesia yang diampu oleh Nur Istiqomah,S.Pdi tanpa ada halangan suatu apapun.
Masih sangat banyak kemungkinan materi system periwayatan hadis Nabi yang tidak termuat dalam bab ini. Karenanya, pemikiran-pemikiran yang bersifat konstruktif dari pembaca sangat  diharapkan untuk perbaikan dan pengembangan selanjutnya.
Semoga dengan adanya karya tulis yang jauh dari sempurna dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan luas bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA

[1] Mutawatir adahalh tatabu’, berurutan, yang dalam ilmu hadis disebut sebagai berita yang diriwayatkan oleh orang banyak pada setiap tingkat periwayat, mulai dari tingkat sahabat sampai dengan mukharrij, yang menurut ukuran akal dan adat kebiasaan mustahil para periwayat itu bersepakat dahulu untuk berdusta. Sedang hadis ahad adalah jamak dari kata wahid, artinya satu. Di dalam isltilah ilmu hadis diartikan sebagai hadis yang memiliki jumlah periwayat yang tingkat mempercayai tingkat murtawatir. Subhi as-Shaleh, ulum hadits wa Mushthalahuhu (Beirut dar al-‘lm li al malayin,1977), h 146-147. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis ( bandung : Angkasa, 1991)
[2] Syuhudi Ismail, metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 3-4
[3] Lois Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah Wa A’lam (Beirut: Dar  al-Ma’arif, 1986), hlm.289. bandingkan dengan Hasbi ash-Ahiddieqy, pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis II (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), hlm. 30
[4]  Syuhadi Ismail, kaedah-kaedah kesahihan sanad (Jakarta:bulan bintang, 1995), ham.23
[5]  Lois ma’luf, op.cit.
[6]  Hasbi ash-Shiddieqiy, op.cit
[7]  Ahmad Warsono Munawwir, al-munawwir: Kampus Arab Indonesia (Yogyakata: t.p., 1984), hlm.799
[8]  Hasbi ash-Shiddieqiy,  loc.cit.
[9]  Ibn Asir al-Jazari, jami’al-Usul Fi Hadits ar-Rosul (t,tp: Dar al-Fikr), hlm.70
[10]  Syuhudi Ismail, Kaedah-kaedah kesahihan sanad hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), Hlm. 24
[11]  Al-Ghozali, al-Mustafa min’IIm al-Usul (t.d) hlm. 187-188
[12] Syuhudi Ismail, op cit., 52
[13]  Al-Gozali, op cit.hlm. 187
[14]  Syuhudi Ismail, kaedah-kaedah kesahihan hadits, op .cit. 56
[15]  Ibn al-Asir al-jazair, op cit,hlm. 70: as-Suyuti, Tadrib ar-Rawi (Madidah: al-Maktabah al-‘IImiyah, 1972), hlm. 4
[16]  Syuhudi Ismail, kaedah kesahihan Sanad, op. cit., 57
[17]  Ibid
[18]  Ibid., hlm. 23-24

Post a Comment for "SISTEM PERIWAYATAN HADITS"