Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH GAYA RETORIS III (Erotesis, Silepsis, Koreksio, Hiperbol, Paradoks dan Oksimoron)


MAKALAH
GAYA RETORIS III (Erotesis, Silepsis, Koreksio, Hiperbol, Paradoks dan Oksimoron)
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Stilistika al-Qur’an pada semester V
Dosen Pengampu: Ali Mahfudz, S.Th.I., M.S.I.




DisusunOleh:
KholiliyyatulMufakhiroh
(1631047)
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.Wb
Pujisyukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul Gaya Retoris III (Erotesis, Silepsis, Koreksio, Hiperbol, Paradoks, Oksimoron)ini tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW. yang telah membawa kita selaku ummatnya dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang penuh dengan nuansa Islami dan zaman yang penuh penerangan ini.
Ucapan terimakasih tidak lupa kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing yakni BapakAli Mahfudz, S.Th.I., M.S.I. dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritikdan saran sangat kami harapkan agar makalah ini mengalami perbaikan kearah yang lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikumWr.Wb








Kebumen, 3Januari 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Salah satu pembeda manusia dengan makhluk hidup lainnya adalah bahasa. Bahasa merupakan media yang paling cepat untuk menyampaikan informasidengan beberapa fungsi dan tujuannya. Selain manusia, Tuhan juga menggunakan bahasa sebagai media komunikasi dengan makhluknya. Bahasa tersebut disampaikan pada manusia pilihan yaitu Rasulullah dalam bentuk wahyu dengan cara yang tidak sama.
Selain untuk menyampaikan pesan-pesan teologis dan humanis kepada manusia, ternyata al-Qur’an juga sangat sarat sekali dengan unsur seni. Di antara unsur-unsur seni yang terdapat dalam al-Qur’an adalah penggambarannya yang artistik, menciptakan imajinasi inderawi atau personifikasi, terdapat kohesi dan koherensi. Ketiga unsur tersebut sangat lekat sekali dalam al-Qur’an baik dalam tema kisah maupun selain dari itu.
Al-Qur’an selain sebagai kitab suci umat Islam yang didalamnya terdapat pedoman hidup manusia, juga merupakan sumber ilmu yang memiliki daya pikat bagi para peneliti dan ilmuan. Salah satu disiplin ilmu yang juga memiliki peran yang signifikan dalam membongkar gaya yang digunakan juga keindahan suatu tuturan adalah stilistika. Ia merupakan suatu ilmu yang membedah pilihan kata atau gaya yang digunakan dalam sebuah tuturan, termasuk teks al-Qur’an. Hal tersebut dilakukan guna memberi efek terdalam teradap pembaca. Dalam makalah ini, pemakalah akan mencoba memberi ulasan mengenai gaya bahasa dalam ilmu stilistika.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasa erotesis dalam al-Qur’an itu?
2.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasa silepsis dalam al-Qur’an itu?
3.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasakoreksiodalam al-Qur’anitu?
4.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasa hiperbol dalam al-Qur’an itu?
5.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasa paradoks dalam al-Qur’anitu?
6.      Apakah yang dimaksud dengan gaya bahasa oksimoron dalam al-Qur’an itu?
C.  Tujuan Makalah
Tujuan dari makalah ini diantaranya ialah:
1.      Untuk mengetahui gaya bahasa erotesis dalam al-Qur’an.
2.      Untuk mengetahui gaya bahasa silepsis dalam al-Qur’an.
3.      Untuk mengetahui gaya bahasa koreksio dalam al-Qur’an.
4.      Untuk mengetahui gaya bahasa hiperbol dalam al-Qur’an.
5.      Untuk mengetahui gaya bahasa paradoks dalam al-Qur’an.
6.      Untuk mnegetahui gaya bahasa oksimoron dalam al-Qur’an.


BAB II
PEMBAHASAN
A.  Erotesis
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Dalam bahasa Arab erotesis dikenal dengan istilah al-istifham li ghair m’nahual-ashliy (pertanyaan yang tidak sesuai dengan fungsinya semula). Pada kisah Ibrahim, gaya bahasa ini muncul, antara lain pada ayat-ayat berikut:
وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ اِبْرَاهِيْمَ
“dan siapa yang benci kepada agama Ibrahim?” (QS. al-Baqarah [2]: 130).
قُلْ ءَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ الله
katakanlah, “apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah.” (QS. al-Baqarah [2]: 140).
Gaya ini dipakai sebagai deviasi dari ayat-ayat sebelumnya yang menggunakan kalimat affirmative (khabari). Pada ayat-ayat sebelum QS. al-Baqarah [2]: 130 diungkapkan berita tentang ujian terhadap Ibrahim dan Ismail yang membangun Ka’bah. Semuanya dalam kalimat affirmative. Kemudian ayat dilanjutkan dengan gaya do’a dan diakhiri dengan pertanyaan: “siapa yang benci kepada agama Ibrahim?” Sebelum itu, dikisahkan terlebih dahulu data-data tentang ketabahan nabi Ibrahim dalam menerima ujian dan keteladanan dalam melaksanakan perintah Allah dan setelah itu ditampilkan do’anya. Uraian diakhiri dengan gaya pertanyaan. Dengan gaya ini, secara sadar ataupun tidak, para pembaca atau pendengar diiring untuk mengatakan bahwa tidak seorang pun yang tidak senang terhadap millah Ibrahim.[1]
Demikian pula halnya dengan QS. al-Baqarah [2]: 140. Ayat ini dimulai dengan pemberitaan ketundukan Ibrahim terhadap Tuhan semesta alam, wasiat Ibrahim kepada keturunannya dan juga kematian Ya’qub. Kemudian, uraian dilanjutkan dengan ajakan dari sekelompok orang untuk menjadi Yahudi atau Nasrani. Lalu dilanjutkan dengan bantahan terhadap ajakan itu. Seakan-akan ada anggapan bahwa Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan Asbat itu Yahudi atau Nasrani. Statemen-statemen tersebut dibantah dengan nada tinggi dengan menggunakan gaya pertanyaan apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah? Gaya seperti ini mengandung arti yang sinis sehingga gaya ini bisa juga dikelompokkan pada sinisme.
Efek lain dari penggunaan gaya erotesis khusus dalam konteks diatas adalah adanya variasi gaya, tidak monoton, dan tidak terus-menerus datar, tetapi sekali-kali ada hentakan-hentakan sehingga tidak membosankan. Inilah sebagian ciri khas gaya al-Qur’an.
B.  Silepsis
Silepsis adalah gaya yang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam khazanah Arab, makna seperti ini dikenal dengan istilah al-jam’u ma’a at-tafriq.[2]Contohnya dalam kisah Ibrahim, antara lain terdapat dalam QS. al-Anbiya [21]: 69 yaitu:
قُلْنَا يَنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلَمًا عَلَى اِبْرَاهِيْمَ
Kami berfirman: “hai api jadilah dingin, dan jadilah keselamatan bagi Ibrahim.”
Dalam ayat ini, kata salaman dihubungkan dengan kata bardan sehingga keduanya dalam kedudukan yang sama, yakni sebagai khabar kana.Meskipun keduanya memiliki kedudukkan yang sama, yang memiliki hubungan makna secara langsung dengan perintah Allah pada api sebenarnya adalah kata bardan (dingin). Sedangkan kata salaman (mashdar/infinitive) yang berperilaku seperti kata kerja perintah (jadilah keselamatan) berhubungan makna dengan kata sesudahnya, yaitu Ibrahim.
C.  Koreksio
Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya bahasa yang mula-mula tampak menegaskan sesuatu, namun kemudian mengoreksinya. Gaya seperti ini digunakan oleh kaum Ibrahim sewaktu mereka akan menghukum Ibrahimsebagaimana disebutkan dalam QS. al-‘Ankabut [29]: 24 berikut ini:
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ, إِلاَّ اَنْ قَالُوْا اقْتُلُوْهُ اَوْحَرِّقُوْهُ فَاَنْجَىهُ الله مِنَ النَّارِ, اِنَّ فِيْ ذَالِكَ لَاَيَتٍ لِّقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ
Maka tidak adalah jawaban kaum Ibrahim selain mengatakan, “bubuhlah atau bakarlah dia”. Lalu, Allah menyelamatkannya dari api. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang beriman.
Pada awalnya mereka sepakat menghukum Ibrahim untuk di bunuh (dengan pedang) lalu sepakat lagi untuk membakarnya. Pemahaman seperti itu berdasarkan indikator kalimat sesudahnya: fa anjahu Allahu min an-nar (maka Allah menyelamatkan Ibrahim dari (bakaran) api. Gaya seperti ini digunakan dalam konteks adanya keragu-raguan sekalipun pada awalnya mantap dan meyakinkan.
D.  Hiperbol
Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pertanyaan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal.[3] Gaya ini digunakan oleh Sarah tatkala mendapatkan berita akan dikaruniai anak sebagaimana dalam QS. Hud [11]: 72 berikut ini:
قَالَتْ يَوَيْلَتَى ءَاَلِدُ وَاَنَاْ عَجُوْزٌ وَّهَذَا بَعْلِيْ شَيْخًا, اِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عَجِيْبٌ
Istrinya berkata, “sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak, padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula?sesungguhnya hal ini benar-benar suatu yang sangat aneh”.
Dalam ayat ini, Sarah bertutur dengan panjang lebar. Intinya, ia beranggapan mustahil dapat melahirkan anak. Penuturannya di lebih-lebihkan. Ia mengatakan bahwa baik Sarah maupun suaminya sudah sangat tua. Gaya seperti ini digunakan dalam konteks aneh, heran atau takjub. Meskipun demikian, al-Qur’an menampilkan tuturan itu untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Dengan kemahakuasaan-Nya, Ia bisa membuat sesuatu yang kelihatannya mustahil menjadi kenyataan.
E.  Paradoks
Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya. Gaya ini digunakan antara lain, sewaktu Ibrahim berdoa sebagaimana terekam dalam QS. Ibrahim [14]: 37 berikut ini:
رَبَّناَاِنِّيْ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ, رَبَّنَا لِيُقِيْمُوْا الصَّلَوةَ فَاجْعَلْ اَفْئِدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرَتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ
Ya Tuhan kami sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki berupa buah-buahan. Mudah-mudahan mereka bersyukur.[4]
Dalam ayat ini, dipertentangkan antara lembah yang tidak ada tanaman dengan keinginan akan buah-buahan. Dengan kata lain, Ibrahim menginginkan buah-buahan, padahal tanaman pun tidak tumbuh. Oleh karena itu, keinginan Ibrahim itu tampak bertentangan dengan fakta yang ada.
Gaya bahasa ini digunakan untuk memperlihatkan keprihatinan agar mendapatkan anugerah dan pertolongan dari Allah. Pada saat sekarang, do’a Ibrahim tersebut nyata-nyata telah dikabulkan Allah. Meskipun Makkah merupakan tanah yang gersang, di sana tersedia berbagai macam buah-buahan.
F.   Oksimoron
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu gaya bahasa yang dimaksudkan untuk menggabungkan kata-kata agar bisa mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama. Oleh karena itu, sifatnya lebih padat dan tajam daripada paradoks. Dalam khazanah sastra Arab gaya ini bisa dipadankan dengan ath-thibaq dan al-muqobalah.[5]Dalam kisah Ibrahim, banyak sekali dijumpai gaya seperti ini. Misalnya, QS. al-Baqarah [2]: 258 berikut ini:
اِذْ قَالَ اِبْرَاهِيْمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ, قَالَ اَنَاْ اُحْيِ وَاُمِيْتُ, قَالَ اِبْرَاهِيْمُ فَاِنَّ الله يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ
Ketika Ibrahim mengatakan, “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan”, Orang itu berkata, “saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata, “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur maka terbitlah dia dari barat”.
Dalam ayat ini, dipertentangkan antara yuhyi dan yumit (Dia menghidupkan dan Dia mematikan), uhyi dan umit (saya menghidupkan dan saya mematikan), serta kata al-masyriq dan al-maghrib(timur dan barat). Lebih lanjut, gaya ini pun digunakan dalam QS. al-An’am [6]: 77 berikut ini:
قَالَ لَئِنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضآلِّيْنَ
Ibrahim berkata, “sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,pastilah aku termasuk orang yang sesat.”
Dalam ayat ini, dipertentangkan antara kata petunjuk (yahdi) dan sesat (adh-dhallin). Gaya ini pun digunakan dalam QS. Ibrahim [14]: 38 berikut:
ربَّنَا إِنَّكَ تَعْلَمُ مَا نُخْفِيْ وَمَا نُعْلِنْ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengetahui apa yang kami sembunyikan dan apa yang kami perlihatkan.
Dalam ayat ini, dipertentangkan antara kami sembunyikan (nukhfi) dan kami perlihatkan (nu’lin). Penggunaan gaya seperti ini, memiliki beberapa kelebihan. Di satu sisi, pemakaian gaya ini menunjukan bahwa penutur memiliki keterampilan khusus untuk menghadapkan dua kata secara semantik berlawanan. Di sisi lainm hal ini mendorong pembaca atau pendengar untuk memikirkan makna kedua rs yang berlawanan tersebut sehingga gaya ini dapat mendekatkannya kepada pemahaman. Selain itu, gaya seperti ini sangat membantu para penghafal (hafizh) untuk menghafalkan teks.[6]


















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpualan
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Dalam bahasa Arab erotesis dikenal dengan istilah al-istifham li ghair m’nahual-ashliy.
Silepsis adalah gaya yang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenarnya hanya salah satunya yang mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam khazanah Arab, makna seperti ini dikenal dengan istilah al-jam’u ma’a at-tafriq.Koreksio atau epanortosis adalah suatu gaya bahasa yang mula-mula tampak menegaskan sesuatu, namun kemudian mengoreksinya.
Hiperbol adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pertanyaan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal.Paradoks adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya.
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu gaya bahasa yang dimaksudkan untuk menggabungkan kata-kata agar bisa mencapai efek yang bertentangan. Dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase yang sama. Oleh karena itu, sifatnya lebih padat dan tajam daripada paradoks. Dalam khazanah sastra Arab gaya ini bisa dipadankan dengan ath-thibaq dan al-muqobalah.


Daftar Pustaka

Qalyubi, S. (2009). Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim). Yogyakarta: LKiS Yogyakarta.




[1] Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 128.
[2]Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 129.
[3]Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 131.
[4]Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 131.
[5]Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 132.
[6]Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Makna di Balik Kisah Ibrahim), LkiS Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm. 133.

Post a Comment for "MAKALAH GAYA RETORIS III (Erotesis, Silepsis, Koreksio, Hiperbol, Paradoks dan Oksimoron)"