Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Kritik Arthur Jeffrey Terhadap Surat al-Fatihah

Kritik Jeffrey terhadap Al-Qur’an, khususnya mengenai keberadaan surat al-Fatihah dimulai dari bentuk redaksi. Ia berkata, bahwa secara redaksional, umumnya dalam Al-Qur’an Allah-lah yang bertindak sebagai penyeru dan pemerintah terhadap umat munusia. Namun anehnya, dalam surat al-Fatihah, manusia yang bertindak sebagai penyeru.

Setelah melihat lebih dalam dan jeli, Jeffrey menyimpulkan bahwa al-Fatihah adalah do’a yang sering diucapkan oleh Nabi. Hal ini terlihat dari gaya bahasa yang digunakan serta ekspresi yang ada dalam al-Fatihah itu sendiri. Menurut Jeffrey, al-Fatihah itu dimasukkan oleh para pengkodifikasi terdahulu. Ia menganggap bahwa al-Fatihah tidak asli bagian dari Al-Qur’an, namun sengaja dibangun di awal karena hal semacam itu tidak biasa dan tidak dikenal di kebiasaan Arab dulu.

Untuk memperkuat argumennya ini, Jeffrey juga membuktikan bahwa keraguan terhadap al-Fatihah tidak hanya datang dari sarjana Barat seperti Noldeke, namun juga dari para sarjana Muslim, seperti Fakhr al-Din al-Razi yang mengutip pendapat Abu Bakr al-Asamm. Al-Asamm memulai pembahasannya dari surat al-Baqarah karena meyakini al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an yang dilandaskan pada mushaf Ibn Mas’ud yang tidak memasukkan al-Fatihah di dalamnya. Al-Asamm juga mengatakan bahwa al-Fatihah tidak ditemukan dalam naskah Kufi al-Qur’an awal. Kalaupun ada, maka akan ditulis di akhir naskah tersebut. Arthur menambahkan bahwa keberagaman atas bacaan dan tulisan al-Fatihah disebabkan karena bukan bagian dari Al-Qur’an.

Untuk membuktikan ini, Jeffrey mengutip bacaan yang beredar di kalangan Syi’ah seperti tertulis dalam kitab Tazdkirah al-A'imma yang ditulis oleh Muhammad Baqir Majlisi (Tehran, 1331, halaman 18). Dalam artikel ini, tertulis seperti di bawah ini:


نُحَمِّدُاللهَرَبَّالْعَالَمِيْنَ

اَلرَّحْمَنَالرَّحِيْمَ

مَلَكَيَوْمِالدِّيْنِ

هَيَّاكَنَعْبُدُوَوِيَّاكَنَسْتَعِيْنُ

تُرْشِدُسَبِيْلَالْمُسْتَقِيْمِ

سَبِيْلَالَّذِيْنَأَنْعَمْتَعَلَيْهِمْ

سِوَيالْمَغْضُوْبِعَلَيْهِمْ. وَلاَالضَّالِّيْنَ

Selain varian bacaan ini, Jeffrey memperkuat keyakinannya dengan sebuah buku yang ditemukannya di saat kunjungannya ke Mesir. Ia diberikan buku fiqih manual dan kecil oleh seseorang pada saat itu. Buku ini diawali dengan al-Fatihah. Buku tersebut boleh dicopy dan diperbanyak, asal jangan mencantumkan penulisnya, karena khawatir akan diserang oleh penganut Muslim ortodok. Namun kata Jeffrey, kitab tersebut hilang, hingga belum sempat tahu nama pengarangnya. Di bawah tulisan ini, Arthur berkata ada tulisan RiwayahAbi al- Fath al-Jubba'i 'an Syaikhih al-Susi 'an al-Nahrazwani 'an Abi al-Sa'adah al-Maidani 'an al –Marzubani 'an al-Khalil bin Ahmad.

Bismi' llahi 'r - rahmani 'r - rahimi.

Al-hamdu li 'llahi, Sayyidi 'l - alamina,

'r - razzaqi 'r - rahimi,

Mallakiyaumi 'd - dini,

Inna lakana' budu was innalakanasta' I nu.

Arshidnasabi la 'l - mustaqi mi,

Sabi la 'lladhinamananta 'alaihim,

Siwa 'l - maghdubi 'alaihim, waghaira'd - dallina.


بِسْمِاللهِالرَّحْمَنِالرَّحِيْمِ

اَلْحَمْدُلِلَّهِسَيِّدِالْعَالَمِيْنَ

اَلرَّزَّاقِالرَّحِيْمِ

مَلَكِيَوْمِالدِّيْنِ

إِنَّلَكَنَعْبُدُوَإِنَّلَكَنَسْتَعِيْنُ

أَرْشِدْنَاسَبِيْلَالْمُسْتَقِيْمِ

سَبِيْلَالَّذِيْنَمَنَنْتَعَلَيْهِمْ

سِوَيالْمَغْضُوْبِعَلَيْهِمْ. وَغَيْرَالضَّالِّيْنَ

Untuk menganalisis kepalsuan al-Fatihah, Jeffrey lebih jauh lagi menganalis setiap term yang digunakan dalam surat ini. Agar lebih jelas, penulis akan mengutip analisis Jeffrey sebagai berikut.

Sayyid dan Rabb adalah sinonim. Term sayyid digunakan dalam al-Qur’an surat 12: 25 untuk Yusuf sebagai raja Mesir saat itu, juga untuk Yahya dalam al-Qur’an. Dari ayat-ayat ini, ternyata penggunaan sayyid hanya bagi para nabi, namun ternyata dalam al-Fatihah malah digunakan untuk Allah.

Al-Razzaq adalah salah satu nama dari Allah, seperti dalam al-Qur’an surat 51: 58.

Malak adalah salah satu bacaan orang-orang Kufa di antara tujuh macam bacaan, yaitu bacaan al-Kisa’i, al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani, jilid 1, halaman 78, dan Abu Hayyan, jilid 1, halaman 20. Namun kedua bacaan, baik malaka atau malaki adalah bacaan yang sama-sama disetujui. Lebih lanjut, Jeffrey menyatakan bahwa term ini lebih lebih tepat daripada term malik atau malik. Dua bacaan pertama sebenarnya lebih baik dan lebih mengena zauq-nya, namun yang dipakai dalam “textus receptus” (bacaan yang diterima) adalah jenis bacaan kedua.

Inna laka. Term hiyyaka, wiyyaka, ayyaka, iyakadan iyyakaadalah jenis bacaan yang diterima. Kelihatannya semua term ini adalah bentuk usaha untuk menginterpretasikan huruf-huruf konsonan, huruf-huruf yang tanpa titik, yang terdapat dalam setiap bagian kata sebagaimana terdapat dalam naskah asli (original codex). Hiyyaka atau hayyaka adalah bacaan Abu al-Sawwar al-Ganawi dan Abu al-Mutawakkil. Sedangkan wiyyaka atau wayyaka adalah bacaan Abu Raja’.

Arsyidna. Artinya memilki kemiripan dengan Ihdina seperti terdapat dalam ‘textus receptus’, sekaligus juga merupakan bacaan Ibn Mas’ud dalam naskahnya. Kata perintah semacam ini tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, namun derivasi kata ini memang sering digunakan. Oleh sebab itu, menurut Jeffrey menggunakan kata tidak langsung, seperti dikutip dalam varian bacaan Syi’ah sebelumnya mungkin lebih layak.

Term sabil sebenarnya lebih diterima daripada term sirat seperti dalam “textus receptus”. Term ini juga, paling sering digunakan dalam al-Qur’an. Namun perlu diingat bahwa kedua term ini adalah diadopsi dari bahasa Aramaik. Adapun kalimat sirat al-mustaqim adalah bentuk idafah, dimana al-Mustaqim dianggap sebagai ungkapan untuk Allah. Varian bacaan ini digunakan oleh Ubay, Ja’far Sadiq dan ‘Abdullah bin ‘Umar. Dengan demikian bentuk idafah merupakan bacaan yang paling baik dan benar. Bacaan ini lebih diperioritaskan, walaupun kata Mustaqim bukan salah satu dari al-Asma’ al-Husna yang sembilan puluh sembilan. Tapi anehnya yang ada dalam kedua varian al-Fatihah di atas malah menggunakan sabil al-mustaqim.

Mananta dan an’amta adalah contoh term yang sinonim dan tidak memiliki efek makna yang signifikan. Bentuk kata na’ama lebih banyak dan lebih sering digunakan dalam al-Qur’an daripada manana seperti dalam varian al-Fatihah kedua. Selain itu, al-Qur’an juga sering menggunakan term manna yang memilki makna sinonim.

Siwa dan gair adalah sinonim, tapi siwa tidak banyak digunakan dalam al-Qur’an. Term gair juga dibaca la oleh ‘Umar. ‘Ali, Ibn al-Zubair. ‘Ikrimah, dan al-Aswad sebagai naskah awal al-Qur’an, dan juga diikuti oleh Ja’far Sadiq dan Zaid bin ‘Ali. Dengan demikian, bacaan la lebih dapat dipertanggung jawabkan dan lebih punya otoritas untuk dibaca.

Dengan demikian, dari kedua varian di atas, maupun al-Fatihah yang ada sekarang, tidak bisa dipertanggung jawabkan. Dalam varian tersebut juga, ada usaha untuk membangun gramatikal bahasa dengan tujuan memperindahkan dan memperjelas bacaan. Selain itu, Jeffrey juga menyatakan tidak adala tendensi tertentu dalam kedua varian di atas, serta bebas dari unsur doktrin yang signifikan. Namun varian al-Fatihah di atas hanya berupa do’a yang diriwayatkan secara oral, kemudian pada akhirnya dimasukkan di awal al-Qur’an.

Kesimpulan yang diambil oleh Jeffrey bahwa al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an seharusnya mengutip dan membandingkannya pada naskah asli yang disebutnya dengan ‘textus receptus’, karena dari awal, Jeffrey sering sekali menyebut dan berkata bahwa mushaf ‘Usmani yang sekarang sudah tidak lagi murni. Hal ini juga ia tekankan bahwa ketika mengkritik teks al-Qur’an dia merujuk pada ‘textus receptus’ yang dia anggap paling benar, namun ketika menyatakan al-Fatihah bukan bagian dari al-Qur’an, yang terjadi hanya merujuk pada kitab yang dipegang oleh orang Syi’ah, yang menurut penulis bukan merupakan naskah atau kumpulan al-Qur’an,tapi hanya sekedar karya tulis yang didahului oleh bacaan yang mirip dengan al-Fatihah.

Selanjutnya, tanggapan Jeffrey atas varian al-Qur’an yang kedua juga tidak bisa dipertanggung jawabkan. Yang pertama, ia beralasan bahwa buku tersebut hilang. Sehingga menurut penulis, hal ini akan menjadi dasar dia untuk membangun alasan selanjutnya, yaitu tidak sempat mengetahui nama pengarangnya. Namun, kalaupun keberadaan kitab tersebut ada, anehnya, Jeffrey terlalu cepat meyakininya, padahal dari awal ia sudah mengatakan bahwa kitab tersebut adalah buku kecil fiqih. Aneh sekali kalau untuk mengklaim sebuah tulisan yang keaslian atau kepalsuan al-Fatihah hanya melalui buku kecil.

Adapun mengenai perbedaan lafal yang ada dalam kedua varian al-Fatihah yang tertulis dalam kedua buku yang dimiliki oleh Jeffrey, dan kemudian Jeffrey melakukan komparasi dengan bacaan-bacaan yang sahih dan diterima serta melakukan perbandingan selanjutnya dengan Al-Qur’an mushaf ‘Utsmani. Malah meyakinkan penulis, bahwa apa yang ada dalam kedua buku tersebut hanyalah bentuk do’a yang dibubuhi oleh penulis ketika itu, bukan bentuk bacaan al-Fatihah.

Secara logika juga, al-Fatihah yang sudah ada sekarang tidak mungkin masih dibumbui dengan kesalahan dan kepalsuan. Apalagi al-Fatihah sudah dilafalkan minimal 17 kali dalam sehari ketika solat. Jadi tidak mungkin hal sepenting surat al-Fatihah begitu mudahnya bagi ‘Utsman untuk mencantumkannya dalam Al-Qur’an jika memang bukan bagian dari Al-Qur’an. Selain itu, Jeffrey mungkin tidak tahu kalau ‘Utsman ketika membukukan Al-Qur’an juga tidak sendirian, namun dilakukan oleh beberapa sahabat pilihan ketika itu. Dan bahkan dari berbagai kalangan suku pada saat itu.


Sumber :
  1. Lihat dalam Arthur Jeffrey, “A Variant Text of the Fatiha”. Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm. Artikel ini juga diterbitkan dalam The Muslim World, Volume 29 (1939), hlm. 158-162.
  2. Arthur Jeffrey. “A Variant Text of the Fatiha”. Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm.
  3. Arthur Jeffrey. “A Variant Text of the Fatiha”. Dalam http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm.
  4. Analisis Arthur Jeffrey ini bisa dilihat dalam Arthur Jeffrey. “A Variant Text of the Fatiha”. http://www.answering-islam.org/Books/Jeffery/fatiha.htm. atau juga dalam The Muslim World, Volume 29 (1939), hlm. 158-162.

Post a Comment for "Kritik Arthur Jeffrey Terhadap Surat al-Fatihah"