Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Makna Haqiqi

Kata Haqiqi dari asal kata hakikat (حققة), yang ditambah ya’ nisbat (حققي) berarti lafadz yang digunakan dalam makna yang sebenarnya sesuai dengan yang ditunjukkan harfiahnya. Sedangkan apabila disambung dengan kata ‘makna’ menjadi satu kesatuan, makna haqiqi berarti makna (arti) yang dimaksud adalah makna yang sebenarnya sesuai dengan harfiahnya. Contoh, orang me-ngatakan : “malam ini langit penuh bintang”, makna haqiqinya adalah langit pada ma-lam hari yang penuh dengan bintang. Berbeda dengan ketika orang menga-takan “bintang” keada orang yang memiliki wajah yang penuh dengan jerawat, maka kata “bintang” disini diartikan sebagai jerawat.

Adapun metode yang digali dari kaidah bahasa Arab, terumuskan dalam kaidah:

اَلْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقَيْقَةِ وَلَا يَصْرِفُ إِلَى الْمَجَازِ إِلَّا مَعَ الْقَرِيْنَةِ

“Pada dasarnya pembicaraan/ucapan itu harus diartikan lebih dahulu secara makna haqiqi (sebenarnya), dan tidak dialihkan kepada makna majazi (kiasan/metaforis) kecuali dengan adanya qarinah (indikasi).” 

Contoh : Kata “asad” misalnya, makna haqiqi-nya adalah singa. Tapi dalam kalimat

رَأَيْتُ أَسَدًا فِي الْمِنْبَرِ

(saya melihat “singa” di atas mimbar) kata “asad” mempunyai makna majazi, yaitu “rajulun syujaa’” (lelaki yang gagah berani). Sebab ada qarinah yang mengalihkannya dari makna haqiqi menjadi makna majazi, yaitu potongan kalimat “fil mimbar” (di atas mimbar).

Adapun, makna haqiqi dibagi menjadi 3 yaitu : Makna haqiqi syar’i, Mak-na haqiqi ‘urfi, dan Makna haqiqi lughawi. Ketiganya adalah makna haqiqi. Jika ketiganya tidak atau belum bisa memaknai suatu nash syara’, maka barulah suatu nash syara’ diartikan secara majazi.

1. Makna haqiqi syar’i adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang telah dialihkan dari makna lughawi-nya, dikarenakan nash-nash syara’ telah memberikan makna tersendiri. Contohnya adalah lafadz sholat, shaum, dan lain-lain. Kata sholat secara lughawi (dari kamus bahasa Arab) artinya adalah “ad-du’a” atau doa. Tapi nash-nash syara’ (khususnya hadits) telah menjelaskan tatacara Nabi sholat, sehingga kita tidak dapat lagi mengartikan nash syara’ yang menyebut “sholat” dengan arti bahasanya (doa), sebab sudah ada tambahan makna. Sholat secara syar’i lalu diartikan suatu kumpulan perbuatan dan perkataan (doa) yang diawali takbir dan diakhiri salam. Kata “shaum” secara bahasa, sebagaimana terdapat dalam kamus bahasa Arab, artinya adalah imsaak (menahan diri). Tapi nash-nash syara’ dan juga hadits-hadits nabi memberikan makna tambahan dari kata shaum itu, yaitu menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan shaum dari shubuh sampai malam (maghrib) disertai niat. Inilah makna syar’i dari shaum.

Jika suatu kata telah memiliki makna syar’i, maka ia tidak boleh diartikan lagi secara lughawi, kecuali terdapat qarinah yang tidak memungkinkan pemberian makna secara syar’i. Dalam keadaan demikian, kata itu diartikan kembali ke makna asal (secara lughawi). Misalkan kata “sholat” dalam at-Taubah: 103, “wa shalli ‘alayhim” tidak dapat diartikan (sholatlah kamu atas mereka), tetapi (berdoalah kamu untuk mereka). Sebab ayat yang ada tidak sedang menjelaskan masalah sholat (secara syar'i), tetapi pemungutan zakat, yaitu disunnahkan bagi pemungut zakat untuk mendoakan (bukan menyolatkan) para muzakki setelah mengambil zakat dari muzakki.

2. Adapun makna haqiqi ‘urfi adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang telah menjadi ‘urf (kebiasaan) orang Arab dalam mengartikan suatu kata. Contohnya kata “daabbah” dan “ghaaith”. Kata “daabbah” makna lughawi-nya adalah segala makhluk yang melata di muka bumi (termasuk hewan dan manusia). Namun secara urfi orang Arab lalu menggunakan kata daabbah dalam arti dzawatul arba’ (hewan berkaki empat) seperti sapi, tidak termasuk manusia. Ghaaith arti lugawinya adalah al makanul munkhafidh (tempat yang rendah). Tapi secara ‘urfi lalu digunakan untuk buang air (qadha'ul hajah). Jadi dalam makna ‘urfi, makna lughawinya tidak dipakai lagi. Maka dari itu, kata “ghaaith” dalam Al-Qur`an Al-Maidah : 6, tidak diartikan lagi sebagai “tempat yang ren-dah”, tetapi “buang air”.

... وَإِن كُنتُم مَّرۡضَىٰٓ أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوۡ جَآءَ أَحَدٞ مِّنكُم مِّنَ ٱلۡغَآئِطِ ...

Artinya : “...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) ...”

Adapun makna haqiqi lughawi adalah makna haqiqi (bukan majazi) yang menunjuk pada arti asalnya secara bahasa. Contohnya, kata jaa’a (datang), dza-haba (pergi), as samaa’ (langit), al ardh (bumi), dan sebagainya.


Sumber :
  1. Fuji, hono. “Kaidah Membedakan Hadist Makna Majaz Dan Makna Nyata” dalam http://mas-pujiono.blogspot.co.id/2014/03/kaidah-membedakan-hadist-makna-majaz.html. Diaskses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.
  2. ahmad, ghozi. “Hadits Majazi : Haidts-Hadits Bermakna Majazi” dalam http://ahmadghozi.blogspot.co.id/2009/05/hadits-majazi.html. Diakses pad 24 April 2018 pukul 23.00 WIB
  3. hanif, nur fauzi. “Belajar Ushul Fiqh -Makna Haqiqi dan Majazi” dalam https://hanifnurfauzi.wordpress.com/2009/04/11/belajar-ushul-fiqh-makna-haqiqi-dan-majazi/”. Diakses pada 24 April 2018, pukul 23.00 WIB.

Post a Comment for "Makna Haqiqi"