Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Pandangan Angelika Nouwirth terhadap Al-Qur’an

a) Karakter pewahyuan

Mengutip Nasr Hamid Abu Zayd, Neuwirth menyatakan bahwa Alquran adalah kode yang membawa pesan. Karena sebagai sebuah pesan dia harus dimengerti oleh sang penerima pesan, maka pesan tersebut haruslah disampaikan dalam sistem linguistik yang mereka mengerti,dalam kode yang mereka pahami. Lalu bagaimanakah Alquran menyampaikan seperangkat kodenya (set of signs) agar ia bisa direspon secara baik oleh pendengarnya? Lebih-lebih, seperti diketahui, Alquran tidak hanya disampaikan kepada penerima tunggal,tapi plural meliputi masyarakat Pagan, Yahudi dan Kristen.

Alquran sebagai respon atas ruang dan waktu yang berbeda (Mekkah dan Madinah) juga tampak dengan jelas dalam Alquran itu sendiri.Retorika Alquran tampak bisa memuaskan dan mengagumkan pendengarnya, dan sangatlah disesuaikan dengan situasi yang melatarinya.Ketika situasi berubah,Alquran juga akan dengan lentur menyesuaikan dirinya demi efektivitas penyampaian pesannya.

b) Al-Qur’an post-kanosisasi: Komposisi dan Implikasi

Dari diskusi karakter pewahyuan Alquran di atas, hakikat historis telah melekat secara inhern dalam pesan yang dibawa Muhammad. Kealamian ini menjadi terkesampingkan ketika Alquran pra-kanonisasi ini mengalami kanonisasi. Sejarah kemunculan teks menjadi sesuatu yang sudah tidak mungkin lagi direkonstruksi.Selain itu, sebagaimana disebutkan di muka, dia telah menjelma menjadi teks meta-historis, karakter baru yang sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan hakikat awal.Pasca kanonisasi, secara tiba-tiba Alquran dijadikan sebagai manual ibadah dan sebagai petunjuk bagi umat manusia, tanpa melibatkan bagaimana dia berproses pada masa lahirnya. Selain itu, ada persoalan lain yang menarik untuk dibahas berkaitan dengan Alquran post-kanonisasi. Alquran yang diterima secara luas saat ini, the textus receptus, memiliki komposisi yang sangat khas, yang secara esensial berbeda dengan Bibel.Alquran tidaklah disusun secara kronologis sebagaimana Perjanjian Lama dan Juga tidaklah dibagi dalam tema-tema seperti dalam Perjanjian Baru yang menarasikan sejarah keimanan Kristiani.Dari segi bentuk pun, Alquran bukanlah sebuah kitab yang koheren, terbagi menjadi subunit yang membangun satu sama lain, tapi kumpulan dari 114 unit teks independen yang disebut surat. Surat ini pun berbeda-beda panjang dan kompleksitas temanya.Selain itu,banyak pengulangan yang terjadi dalam Alquran.

Neuwirth menyatakan, Alquran benar-benar membangun genresastra tersendiri, sama sekali berbeda dengan yang lain. Selain itu,Alquran berisi beragam materi dari tradisi lain,sebagai konsekuensi logis dari beragamnya pendengar Alquran.

c) Metode pembacaan Al-Qur’an pra-kanonisasi

Setelah meletakkan basis sebagaimana disampaikan dalam bab terdahulu, dan setelah mengetahui secara lebih tegas bagaimana karakter dasar Alquran, Neuwirth menawarkan sebuah cara untuk mendekati teks. Satu kata kunci yang disampaikan Neuwirth dalam proses memahami Alquran adalah dengan menganggapnya sebagai “teks sastra” sekaligus sebagai teks “komunikasi.” Benar, Alquran yang ada di tangan umat Islam sekarang ini memang tidak disusun secara kronologis, namun disusun dalam unit sastra integral (integral literary units) yang disebut surat, yang tersusun dari elemen-elemen yang secara intrinsik terhubung satu sama lain.

Yang terpenting dalam mengkaji teks adalah bagaimana menghidupkan Alquran post-kanonisasi ini dalam semangat Alquran pra-kanonisasi.Artinya, Alquran yang ada sekarang tidaklah dianggap sebagai sesuatu yang telah mapan, akan tetapi sebagai sebuah teks yang bergerak dan cair yang merefleksikan dialog dan debat antara beragam peran. sehingga nouwirth menawarkan kajian Intertekstualitas


Sumber :
  1. Sebagaimana diketahui, pemikiran Abu Zayd, terutama tentang doktrinnya bahwa Alquran sebagai produk budaya (muntaj ṡaqafī) memang sangat tepat jika dijadikan sebagai pondasi ‘kehalalan’ Alquran didekati sebagai teks yang tidak melampaui sejarah.
  2. Neuwirth, “Referentiality and Textuality”, hlm. 154. Lihat pula Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Alquran: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (terj.) Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 30-32.
  3. Lihat Neuwirth, “Form and Struncture of the Qur’an” dalam Jane D. McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: E.J. Brill, 2002, Vol 2), hlm. 263-264; “Sura(s)”dalam Jane D. McAuliffe (ed.), Encyclopaedia of the Qur’an (Leiden: E.J. Brill, 2006, Vol 5), hlm. 166-176.
  4. Neuwirth, “Two Faces of the Qur’an”, hlm. 142-143.
  5. Neuwirth, “Structure and the Emergence of Community”, hlm.141; “Qur’an and History”, hlm. 10-11.
  6. Neuwirth, “Two Faces of the Qur’an”, hlm. 145.
  7. Neuwirth, “Structure and the Emergence”, hlm.147; “Referentiality and Textuality”, hlm. 164.
  8. Neuwirth, “Qur’an and History”, hlm. 16.
  9. Neuwirth, “Two Faces of the Qur’an”, hlm. 142.

Post a Comment for "Pandangan Angelika Nouwirth terhadap Al-Qur’an"