Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH TAFSIR ADHWA AL-BAYAN KARYA MUHAMMAD AL-AMIN AL-SYINQITHI


MAKALAH
TAFSIR ADHWA AL-BAYAN KARYA MUHAMMAD AL-AMIN AL-SYINQITHI
MakalahinidibuatuntukmemenuhitugasmatakuliahTafsirModernpada semester V
DosenPengampu: Ali Mahfudz, S.Th.I., M.S.I.




DisusunOleh:
KholiliyyatulMufakhiroh
(1631047)
FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr.Wb
Pujisyukur kami panjatkankepada Allah SWT. yang telahmelimpahkanRahmatdanKarunia-Nya sehingga kami dapatmenyelesaikanpenulisanmakalah yang berjudul“TafsirAdhwa al-BayanKarya Muhammad al-Amin al-Syinqithiinitepatpadawaktunya.
SholawatdansalamsenantiasakitahaturkankepadaBagindaRasulullah SAW. yang telahmembawakitaselakuummatnyadari zaman jahiliyyahmenuju zaman yang penuhdengannuansaIslamidan zaman yang penuhpeneranganini.
Ucapanterimakasihtidaklupa kami sampaikankepadaDosenPembimbingyakniBapakAli Mahfudz, S.Th.I., M.S.I.dankepadasemuapihak yang telahmembantudalampenyelesaianmakalahini.
Penulissadarbahwamakalahinijauhdari kata sempurna. Olehkarenaitu, kritikdan saran sangat kami harapkan agar makalahinimengalamiperbaikankearah yang lebihbaiklagi.
Wassalamu’alaikumWr.Wb








Kebumen, 13 Desember 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Kitab al-Qur’an adalah kitab suci yang layak untuk dikaji sepanjang zaman dan di belahan bumi manapun. Meskipun telah banyak orang-orang yang berupaya menafsirkannya, namun hal itu tidak mencegah siapapun yang hendak menafsirkannya juga.Penafsiran-penafsiran tersebut akan membantu pembaca al-Qur’an untuk dapat memahami makna dan kandungan yang tersimpan dalam tiap-tiap ayat bahkan huruf dalam al-Qur’an itu sendiri.Meskipun telah banyak kitab tafsir, namun kesemuanya itu belum tentu memudahkan pembacanya untuk bisa memahami maksudnya secara baik, karena tingkat intelektual setiap pembaca pun berbeda-beda. Berbagai macam cara dan tujuan telah dihadiahkan oleh mereka para mufasir kepada umat ini. Maka kita semestinya berterimakasih kepada mereka yang telah membukakan jalan bagi kita untuk memahami Al-Qur'an yang suci ini.
Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil Qur’an adalah salah satu kitab tafsir yang telah disumbangkan oleh seorang ulama di masa modern yang bernama Muhammad Amin Asy-Sinqithi, yang sangat menakjubkan.Penafsirannya mudah dan kita dapat dengan mudah memahami makna ayat ayat yang ada, bahkan kita tidak usah khawatir apakah tafsiran ini menyimpang atau tidak dari batasan aqidah yang benar? Karena dalam tafsir ini ayat dijelaskan dengan ayat-ayat penjelas yang semisalnya dan kemudian kesimpulan maksud dan maknanya.Sangat mudah dan sangat ringkas, sehingga pemakalah merekomendasikan kepada kaum muslimin sekalian untuk membaca kitab tafsir Adhwaul Bayan Fi Idhohil Qur’an Bil Qur’an.
Setiap kitab tafsir atau mufasirnya tentu memiliki karakteristik tersendiri dalam menafsirkan al-Qur’an karyanya, dalam kitab asy-syeikh Syinqithi mengutamakan tafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Sebagai mana generasi sahabat dalamm menafsirkan Al-Qur'an bertumpu yang pertama dengan Al-Qur'an. Begitu juga kalangan tabi’in, mufasir dari generasi ini mengutamakan penyandaran tafsir Al-Qur'an dengan isi Al-Qur'an yang menjelaskannya.


B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana biografi dari Muhammad al-Amin al-Syinqithi?
2.        Bagaimana tafsir Adhwa al-Bayan karya Muhammad al-Amin al-Syinqithi itu?


























BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi al-Syinqithi
1.    Kelahiran
Nama lengkap penulis tafsir Adhwa al-Bayan adalah Muhammad al-Amin bin Muhammad bin Mukhtar Al Jilani Asy-Syinqithiy (wafat 1393). Adapun nama bapaknya ialah Muhammad Al-Mukhtar bin Abdul Qadir bin Muhammad bin Ahmad Nuh bin Muhammad bin Sayidi Ahmad bin Al-Mukhtar. Nasab qabilah (suku)nya kembali ke suku himyar.[1]Syaikh Asy-Syinqithiy lahir di Tanbeh provinsi Kifa Syinqith pada tahun 1325 H (1907 M) atau yang sekarang dikenal sebagai Mauritania dan menjadi laqab para ulama Mauritania yang dikenal yakni sebuah Negara Islam di benua Afrika yang berbatasan dengan Sinegal, Mali, dan al-Jazair (Algeria). Syinqith sekarang juga masih di pakai sebagai nama sebuah kampung di bagian Barat Laut Mauritania.[2]
Adapun Jakni adalah nama sukunya yang diambil dari nama nenek moyangnya Jakin al-Abar. Suku ini adalah orang-orang Arab yang tinggal di Syinqith. Anggota suku ini dikenal sebagai kalangan terpelajar. Aktifitas belajar dan menuntut ilmu adalah tradisi mereka baik ketika mukim maupun dalam perjalanan.[3]
2.    Studi dan Guru-Gurunya.
Syaikh Muhammad al-Amin al-Syinqithi berasal dari sebuah keluarga pecinta ilmu dan terhitung kaya. Ayahnya meninggal ketika usianya masih belia. Ia telah berhasil menghafalkan al-Qur’an pada pamannya, Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Saw. ketika umurnya 10 tahun. Setelah itu, ia belajar tentang rasm mushhaf  Utsmani, tajwid dan tilawah. Ia belajar dari istri pamannya pelajaran sastra Arab, baik nahwu, sharf, nasab dan silsilah Arab, sirah, sejarah. Sedangkan fikih madzhab Maliki, ia belajar ke putra pamannya. Dan semuanya dijalaninya hingga ia berumur 16 tahun. Ia terus mendalami berbagai keilmuan seperti balaghah, tafsir dan hadis ke beberapa ulama yang ada di wilayahnya saat itu. Beliau meninggal pada tahun 1393 H/ 1973 M.
Pada sekitar tahun 1367 H/1947 M. Ia  melakukan perjalanan darat menuju Arab Saudi untuk melakukan ibadah haji dengan niat untuk dapat kembali lagi ke negaranya. Akan tetapi, sesampainya di Arab Saudi ia memutuskan untuk menetap di sana. Di antara sebabnya adalah pertemuannya dengan dua orang ulama di Arab Saudi, Abdullah az-Zahim dan Abdul Aziz bin Shalih yang memperkenalkannya pada madzhab Hambali dan manhaj salaf. Ia kemudian melakukan diskusi tentang berbagai persoalan fikih dan akidah yang semakin memantabkannya untuk menetap di Arab Saudi. Dan inilah awal mula ia dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan; fikih, tafsir, hadis, bahasa dan sebagainya yang memberinya kesempatan untuk dipercaya sebagai salah seorang pengajar tafsir di Masjid Nabawi.[4]
Di antara guru-buru beliau yang telah berjasa besar dalam mengajarkan berbagai disiplin ilmu syariah kepada beliau ialah:
1.      Syaikh Muhammad bin Shalih, yang dikenal dengan Ibnu Ahmad Al-Afram.
2.      Syaikh Ahmad Al-Afram bin Muhammad al-Mukhtar.
3.      Syaikh Al-Alamah Ahmad bin Umar.
4.      Al-Faqih (pakar fikih) yang bernama Muhammad An-Ni’mah bin Zaidan.
5.      Al-Faqih Al-Kabir (senior pakar fikih) yang bernama Ahmad bin Mud.
6.      Al-Alamah yang sangat luas ilmunya yang bernama Ahmad Fala bin Aduh, dan masih banyak guru-guru yang lainnya.
Beliau pernah berkata, “Saya telah menimba semua disiplin ilmu dari semua syaikh itu, baik nahwu, sharaf, ushul, balaghah, tafsir dan hadits. Adapun ilmu mantiq dan adabul baths dan munadzarah (adab mengkaji dan berdiskusi) saya dapatkan secara otodidak.”[5]
3.    Aktifitas dan Murid-Muridnya
Al-Syanqith menjadi pengajar di lembaga formal dan non formal yakni di  Universitas Islam Madinah dan di Masjid Nabawi. Dia telah dua kali menyelesaikan pengajaran tafsir Al-Qur’anul Karim di masjid tersebut.Saat menjadi pengajar tafsir al-Qur’an di masjid Nabawi, asy-Syinqithi menyelesaikan penafsiran seluruh al-Qur’an sebanyak dua kali dan meninggal dunia sebelum menyelesaikan yang ketiga kalinya. Aktifitas ini pada awalnya dijalaninya setiap hari selama satu tahun. Demikian juga ketika berada di Riyadh, dia ditetapkan sebagai pengajar di Fakultas Syariah dan Fakultas Bahasa, dimana dia mengajarkan tafsir dan ushul fiqh. Serta mengajar pula di masjid Syaikh Muhammad bin Ibrahim tempat dia mengajarkan Ushul Fiqh dan Qawa’id al-Ushul.Akan tetapi, ketika beliau mulai menjadi pengajar di Fakultas Syari’ah dan Bahasa di Riyadh, beliau hanya menjalani pengajaran tafsir al-Qur’an di masjid Nabawi pada liburan musim panas. Ini dijalaninya mulai tahun 1371 H/1951 M dan berlanjut hingga tahun 1381 H/1961 M saat ia menjadi pengajar di Universitas Islam (al-Jami’ah al-Islamiyyah) di Madinah. Dan sejak tahun 1385 H/1965 M beliau hanya mengajarkan tafsir al-Qur’an di Masjid Nabawi di bulan Ramadhan. Selain itu, beliau juga mengajar tafsir al-Qur’an di Dar al-Ulum di Madinah pada tahun 1369-1370 H/1949-1950 M.[6]
Dalam mengajar tafsir, dia memulai dengan meminta seorang muridnya untuk membaca ayat yang hendak ditafsirkan. Kemudian dia lanjutkan dengan menjelaskan arti kosa kata, lalu dijelaskan I’rab dan tashrifnya, kemudian dilanjutkan dengan balaghah. Jika ayat itu terkait dengan fiqh, maka dia akan menguraikan kesimpulan hukum yang ada di dalamnya dengan menyebut pendapat-pendapat yang sudah ada dan mentarjih salahsatunya dengan dungungan ushul fiqh, bayan al-Qur’an dan ulum al-Qur’an.
Selain mengajar, al-Syanqith juga merupakan anggota dari organisasi ulama terkemuka di kerajaan Saudi Arabia dan merupakan salah satu anggota pendiri Rabithah Alam Islam.
Karena banyaknya murid-murid beliau, maka tidak dapat diketahui satu per satu mereka. Namun, yang bisa disebutkan antara lain:
1.      Syaikh Abdul Aziz Bin Baz yang tetap menghadiri pelajaran beliau dalam  tafsir di Masjid Nabawi ketika beliau sebagai kepala Universitas Islam.
2.      Syaikh Atiyah Muhammad Salim, salah satu yang menyelesaikan tulisan Syaikh Muhammad Al-Amin (sepeninggal beliau) berjudul tafsir Adwa Al- Bayan.
3.      Syaikh Bakr Bin Abdullah Abu Zaid.
4.      Putranya, Syaikh Abdullah Bin Muhammad Al-Amin al- Syanqithi.
5.      Putranya, Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Bin Muhammad Al-Amin Asy  Syinqithi.[7]
4.    Karya-Karyanya
Selama masa hidupnya, asy-Syinqithi telah menghasilkan berbagai karya ilmiah, baik saat ia masih berada di tanah kelahirannya maupun saat ia sudah menetap di Arab Saudi. Di antara karyanya adalah:
1.      Khalish al-Juman yang berisi tentang silsilah atau nasab Arab. Karya ini dihasilkannya saat ia masih remaja.
2.      Rajaz dalam fikih Maliki yang berkaitan dengan bab jual beli, terdiri dari ribuan bait.
3.      Alfiah dalam Ilmu Manthiq.
4.      Nadzm Fara’idh.
5.      Man’ Jawaz al-Majaz fi al-Munazzal li at-Ta’abbud wa al-I’jaz yang berisi tentang pandangannya bahwa majaz tidak boleh diberlakukan dalam ayat-ayat tentang Asma’ wa ash-Shifat.
6.      Adab al-Bahts wa al-Munadzarah. Karya ini dijadikan sebagai buku pegangan perkuliahan dalam mata kuliah yang sama yang diajarkannya di Universitas Islam Madinah.
7.      Daf’ Iham al-Idhthirab ‘an Ayi al-Qur’an yang berisi tentang penyelesaian ayat-ayat al-Qur’an yang nampak saling bertentangan.
8.      Mudzakkirah al-Ushul ‘ala Raudhah an-Nadzir yang berisi penjelasan (syarh) kitab Raudhan an-Nadzir dalam bidang Ushul Fikih. Ia berusaha memadukan Ushul Fikih dalam madzhab Hambali, Maliki dan Syafi’i dalam karya ini. Kitab ini juga menjadi pegangan dalam mata kuliah Ushul Fikih di Fakultas Syari’ah dan Dakwah Universitas Islam Madinah.
9.      Rihlah al-Hajj ila Baitillah al-Haram. Karya ini adalah kumpulan jawaban asy-Syinqithi terhadap berbagai persoalan yang disampaikan padanya selama masa perjalanannya dari Mauritania ke Arab Saudi untuk haji. Persoalan yang disampaikan meliputi tafsir, hadis, fikih, sastra, bahasa, akidah, manthiq, sejarah dan bahkan ilmu alam.
10.  Adhwa’ al-Bayan yang merupakan karya terbesarnya dalam bidang tafsir yang terdiri dari 7 juz. Hanya saja ia baru menyelesaikannya hingga akhir surat Al-Mujadilah. Dan muridnya, Athiyyah Muhammad Salim, menyelesaikan tafsir ini hingga akhir surat an-Nas.
Selain karya-karya tersebut, asy-Syinqithi juga menghasilkan beberapa makalah dalam berbagai bidang, yaitu fikih, tafsir, hadis, akidah, ushul fikih dan juga bahasa. Selain itu, ia juga telah berperan besar dalam menghasilkan para tokoh dan ulama besar di dunia Islam yang perannya masih terasa hingga saat ini.[8]






B.  Tafsir Adhwa al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an.
1.    Gambaran kitab tafsir Adhwau al-Bayan

Kitab Adhwaul Bayan pengarangnya adalah Syaikh Asy Syinqithiy, covernya berwarna hijau kekuning-kuningan, penerbit Darul Fikri dan terdapat sembilan jilid:
·         Jilid 1=549 halaman, dimulai dengan surat Al-Fatihah di akhiri dengan surat Al-An’am.
·         Jilid 2=469 halaman, dimulai dengan surat Al-A’raf diakhiri dengan surat Al-Hijr.
·         Jilid 3=519 halaman, dimulai dengan surat Bani Israel di akhiri dengan surat Maryam.
·         Jilid 4=499 halaman, dimulai dengan surat thaha diakhiri dengan surat Al-Hajj.
·         Jilid 5=561 halaman, dimulai dengan surat al-Hajj di akhiri dengan surat An-Nur.
·         Jilid 6=397 halaman, dimulai dengan surat Al-Furqon diakhiri dengan surat Ghofir.
·         Jilid 7=557 halaman, dimulai dengan surat Fushilat diakhiri dengan surat Al Mujadallah.
·         Jilid 8=580 halaman, dimulai dengan surat Al-Hasyr diakhiri dengan surat Al Hasyru.
·         Jilid 9=468 halaman, dimulai dengan surat At Tin diakhiri dengan surat An-Nas.[9]
2.    Alasan dan Tujuan Penulisan
Al-Syanqithy menjelaskan alasan kenapa dia menulis tafsirnya, yaitu beliau mengetahui bahwa mayoritas masyarakat yang mengaku sebagai kaum muslimin berpaling dari kitabullah, mengindahkan janji Allah dan tidak takut akan ancaman-Nya.[10]Mereka tidak tertarik pada janji-janji al-Qur’an dan tidak takut kepada ancamannya. Hal itulah yang mendorong seseorang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an untuk mengabdikan diri dengan menjelaskan maknanya, menampakkan kebaikannya, mengurai keruwetanya, menjelaskan hukum-hukumnya, menyeru manusia untuk mengamalkan ajarannya dan meninggalkan apa yang bertentangan dengannya.
Selanjutnya al-Syanqithy menjelaskan dua tujuan utama penulisan tafsirnya yaitu pertama, menjelaskan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an sebagaimana disepakati oleh para ulama bahwa tafsir yang paling mulia dan paling agung adalah tafsir kitabullah dengan kitabullah, karena tidak ada yang lebih tahu makna kalamullah dari pada Allah azza wa jalla.
Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan hukum-hukum fiqh pada semua ayat yang dijelaskan dengan mengambil dalil dari sunnah dan pendapat para ulama kemudian memilih yang dianggap rajih, lebih kuat, tanpa ta’assub kepada madzhab tertentu atau kepada pendapat seseorang tertentu, karena yang diperhatikan adalah pendapatnya bukan siapa yang mengatakannya. Barangkali karena tujuan kedua inilah, tafsir ini digolongkan oleh al-Qattan dalam Tafsir Fiqhy, sekelompok dengan Ahkam al-Qur’an, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Tafsir Ayat al-Ahkam dll.[11]
3.    Teknik Penulisan
Sebelum memulai tafsirnya, Al-Syanqithy memanfaatkan tidak kurang dari tiga puluh halaman untuk menjelaskan macam-macam Bayan seperti Bayan al-ijmal bi sabab al-isytirak fi al-asma, fi al-af’al, fi al-huruf yaitu penjelasan terhadap kata-kata baik berupa kata benda, kata kerja, ataupun huruf (kata sambung) dalam al-Qur’an yang memiliki lebih dari satu arti. Dalam hal ini al-Syanqithy menjelaskannyadengan ayat itu sendiri atau dengan ayat lain[12]; Bayan al-ijmal bi sabab al-ibham fi ism jins majmu’, fi ism mufrad, fi asma al-majmu’, fi shilat al-maushul, fi ma’ani al-huruf yakni menjelaskan kata-kata yang masih samar artinya, kemudian dijelaskan maksudnya dengan menggunakan ayat yang lain[13]; Bayan al-ijmal bi sabab al-ihtimal fi mufassar al-dlamir yakni penjelasan bagi dlamir atau kata ganti yang memiliki kemungkinan dua tempat kembali, dan macam-macam Bayan lainnya (terlampir). Karena itulah dia menamai tafsirnya ini dengan Adhwau al-Bayan.
Kemudian al-Syanqithy, seperti halnya para mufassir yang lain, memulai penafsiran terhadap al-Qur’an secara berurutan sesuai nomor urut surat, yakni dari al-Fatihah sampai al-Nas. Akan tetapi yang membedakan kitab Adhwau al-Bayan dari kebanyakan kitab tafsir yang lain adalah bahwa penafsiran satu surat tidak selalu dimulai dari ayat pertama, dan ayat-ayat dalam satu surat tidak semuanya ditulis lalu ditafsirkan. Ayat yang ditafsirkan pun tidak selalu ditulis penuh (dari awal hingga akhir ayat). Untuk memberi penjelasan terhadap satu ayat, seringkali dia menyebutkan ayat yang lain dari surat tersebut. Hal itu dapat dilihat pada awal tafsirnya terhadap surat al-Baqarah maupun surat Ali Imran (terlampir).
Meskipun tidak semua ayat dari satu surat ditafsirkan, namun kitab tafsir ini dari segi jumlah jilid dan jumlah halamannya, kitab tafsir ini tergolong besar. Pada cetakan yang diterbitkan oleh Alam al-Kutub Beirut, tafsir ini berjumlah sepuluh jilid. Dan pada rekaman elektronik, dalam bentuk file Adobe Reader terdapat sembilan jilid untuk tafsir ini. Hal itu disebabkan banyaknya ayat yang disebut oleh al-Syanqithy untuk menjelaskan makna suatu ayat, ditambah dengan penyebutan hadits-hadits Nabi saw, yang terkadang dengan menyebut sanadnya secara lengkap, dan hal itu masih ditambah lagi dengan mengutip pendapat ulama dari berbagai madzhab.
Dalam tafsir ini, al-Syanqithy tidak membuat judul atau sub judul untuk mengawali pembahasannya, selain nama-nama surat yang dicantumkan pada permulaan tafsir untuk masing-masing surat. Tetapi bila seorang pembaca inginmencari topik-topik tertentu, dia bisa melihatnya pada daftar isi yang diletakkan pada bagian akhir setiap jilid kitab.
Pada banyak tempat dalam tafsir ini dapat dijumpai kata-kata tanbih yang mungkin dimaksudkan oleh penulisnya untuk menekankan perhatian pembaca terhadap apa yang ada di dalamnya. Tetapi isi pada tanbih itu tidak selalu berupa kesimpulan atau hasil analisa dari al-Syanqithy sendiri. Malah di banyak tanbih dia masih mengutip pendapat banyak orang. Contohnya pada tanbih berikut ini yang dia kemukakan setelah menafsirkan ayat penciptaan manusia sebagai khalifah:
تنبيه:
قال القرطبي في تفسير هذهالآية الكريمة: هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة: يسمع له ويطاع: لتجتمع به الكلمة وتنغذ به أحكام الخليفة, ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة, ولا بين الأئمة.
Sedangakan contoh tanbih yang berisi pandangannya sendiri adalah pada tanbih tentang syafaah yang tidak akan diberikan kepada orang-orang kafir setelah membahas ayat tentang syafaah:
تنبيه:
هذا الذي قررنا من أن الشفاغة للكفار مستحيلة شرعا مطلقاز يثتثنى منه شعاعته صلى الله عليه وسلم لعمه أبي طالب في نقله من محل من النار إلى محل إخر منها كما ثبت عنه في الصحيح فهذه الصورة التي ذكرنا من تخصيص الكتاب بالسنة.
4.    Sumber Penafsiran
Tafsir Adwa al-Bayan tergolong tafsir bi al-ma’tsur yang berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan ayat lain, atau dengan hadits Nabi saw. Dan jarang atau sedikit sekali menggunakan ra’yu, pemikiran akal, untuk menjelaskannya. Penggunaan ra’yu itu hanya ketika dibutuhkan saja.
Hadits-hadits yang digunakan dalam tafsir ini sebagian besar diambil dari kitab-kitab hadits yang digunakan oleh kaum Muslimin secara luas yakni al-Kutub al-Tis’ah. Meskipun ada juga hadits-hadits yang digunakan tanpa menyebut mukharrijnya.
5.    Metode dan Corak Penafsiran
Tafsir ini bukan bukan Tafsir Maudhu’i (tematis), dimana seorang mufassir tidak memulai tafsirnya dari surat pertama sampai surat terakhir melainkan memilih satu tema dalam al-Qur’an untuk kemudian menghimpun seluruh ayat Qur’an yang berkaitan dengan tema tersebut baru kemudian ditafsirkan untuk menjelaskan makna tema tersebut.
Untuk disebut sebagai tafsir dengan metode Tahlily, yang mana mufasir-nya berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat al-Qur’an sebagaimana tercantum dalam al-Qur’an, juga kurang tepat. Mungkin lebih tepat kalau metode tafsir ini dikelompokkan dalam metode tafsir Muqarin yang menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama.[14] Atau dalam sumber lain dikatakan bahwa dalam menafsirkan al-Qur’an, asy-Syinqithi menggunakan dua metode pokok, yakni metode literer/naqli (al-manhaj an-naqli) dan metode rasional/‘aqli (al-manhaj al-‘aqli). Metode naqli yang dimaksud dalam hal ini adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’. Sedangkan metode ‘aqli yang dimaksud dalam hal ini adalah penggunaan metode-metode rasional dalam penafsiran al-Qur’an seperti qiyas, analisis kebahasaan dan ushul fikih.
Mengenai metode penafsiran naqlinya, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya:
واعلم أن من أهم المقصود بتـأليفه أمران"...
احدهما بيان القرأن لاجماع العلماء على أن أشرف أنواع التفسير كتاب الله بكتاب الله, اِذ لا أحد أعلم بمعنى كلام الله من الله جلا وعلا..."
Hal ini menunjukkan bahwa asy-Syinqithi berusaha untuk menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Dan ini adalah metode yang juga dijalankan oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para ulama setelahnya yang dikenal dengan tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an. Hal ini karena terkadang suatu ayat turun di satu tempat secara mujmal, atau muthlaq atau ‘amm, dan ditemukan penjelasannya secara mubayyan, muqayyad dan mukhashshash di tempat yang lain.
Misal dalam hal ini adalah saat asy-Syinqithi membahas pernikahan antara muslim dengan non muslim. Ia menegaskan tentang makna musyrik dan ahl al-kitab dalam surat al-Baqarah: 22 dengan menghadirkan surat al-Ma’idah:5, al-Bayyinah: 1 dan 6, al-Baqarah: 105, dan at-Taubah: 30-31. Selain itu, asy-Syinqithi juga menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis. Ia mengatakan:
واعلم أن مما التزمنا في هذاالكتاب المبارك أنه"... أِن كانت للأية الكريمة مبين من القرأن غير واف بالمقصود من تمام البيان فاِنا نتمم البيان من السنة من حيث اِنها تفسير للمبين"...
Asy-Syinqithi terhitung sangat banyak mengutip hadis untuk menguatkan penjelasan atas sebuah ayat, menafsirkannya ataupun menjadikannya sebagai dalil dalam menentukan sebuah hukum. Bahkan sebagian besar dalil yang disampaikan oleh asy-Syinqithi dalam tafsir ayat-ayat hukum adalah hadis. Saat menafsirkan surat al-Baqarah: 229, ia berbicara tentang talak tiga dengan satu lafadz dan mengemukakan pendapat para ulama yang menyatakan keabsahan dan tidaknya, dan perdebatan antara ulama’ tentang masalah tersebut. Dengan panjang lebar, ia membahas masalah ini dengan menyebutkan banyak hadis yang menguatkan kedua pendapat, kemudian mentarjih antar pendapat tersebut dengan menyebutkan kelemahan dan kekuatan masing-masing pendapat.
Selain itu, asy-Syinqithi juga sering mengutip ijma’ dan kesepakatan para ulama atas sebuah permasalahan hukum untuk menguatkan penjelasannya setelah mengutip ayat al-Qur’an atau hadis. Misalnya adalah saat ia membahas masalah kafarah dzihar.
Mengenai metode ‘aqli atau rasional yang dipakai, asy-Syinqithi pada dasarnya bertumpu pada beberapa sumber, antara lain ushul fiqh dan kaidah fiqhiyyah, bahasa, dan penalaran murni. Hanya saja, sumber-sumber ini digunakan untuk menguatkan metode naqli, memperjelas makna yang ada atau digunakan saat tidak ada nash yang jelas dalam masalah yang dibahas.Tentang metodenya dalam masalah fiqh, ia mengatakan dalam pendahuluan tafsirnya tentang tujuannya dalam mengarang tafsir:
بيان الاحكام الفقهية في جميع الايات المبينة" بالفتح – في هذا الكتاب, فاِننا نبين ما فيها من الاحكام وادلتها من السنة, وأقوال العلماء في ذلك ونرجح ما ظهر لنا أنه الراجح بالدليل من غير تعصب لمذهب معين ولا لقول قائل, لان كل كلام فيه مقبول ومردود اِلا كلامه ص.ل ومعلوم أن الحق ولو كان قائله حقيرا"
Karena Adhwa’ al-Bayan adalah kitab dalam bidang tafsir, dan bukan dalam bidang fikih, maka tentu saja tidak disusun dengan urutan bab-bab dalam fikih. Asy-Syinqithi berbicara tentang masalah hukum apabila ia melewati ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum (ayat al-ahkam). Hanya saja, saat ia melewati ayat-ayat hukum dan berbicara tentang masalah fikih, ia membuat urutan-urutan pembahasan secara baik dan detil. Saat berbicara tentang masalah dzihar misalnya, ia membuat bab tersendiri tentang dzihar, membagi pembahasannya dalam 17 masalah, dan membagi beberapa masalah yang ada dalam beberapa cabang masalah (far’). Dan itu dilakukannya dalam masalah-masalah yang lain.
Ketika berbicara dalam sebuah masalah yang menimbulkan banyak perbedaan pendapat, asy-Syinqithi selalu menuturkan berbagai pendapat yang ada, menyebutkan dalil-dalil yang dipakai oleh setiap kelompok, dan kemudian melakukan perbandingan antar dalil (munaqasyah al-adillah). Jika perbedaan tidak begitu kuat, ia hanya menyebutkan perbedaan antar ulama dan dalil masing-masing tanpa melakukan perbandingan antar dalil. Dalam menjelaskan perbedaan pendapat, sering sekali ia mengutip pendapat para ulama dan member sedikit komentar atas perbedaan tersebut sekedar menjelaskan kelemahan atau keunggulan satu pendapat atau mentarjih pendapat yang dianggapnya kuat.
Hanya saja, dalam menjelaskan pendapat dalam beberapa madzhab, ia seringkali mendahulukan pendapat Imam Malik. Hal ini menunjukkan bahwa ia memang lebih cenderung pada madzhab Maliki, madzhab yang pernah dianutnya saat ia belum berpindah ke Arab Saudi. Akan tetapi, ia tidak fanatik (ta’ashshub) pada madzhab Maliki. Contoh yang paling jelas dalam hal ini adalah saat ia menjelaskan perbedaan ulama tentang makna al-qur’an dan masalah khulu’.[15]
Sedangkan coraknya sebagaimana telah disinggung di awal adalah corak fiqh, sebab pengarangnya adalah seorang yang menekuni bidang fiqh dan menjadi pengajar bidang ini baikdi Madinah maupun Riyadh.[16]
6.    Sistematika Tafsirnya.
Kitab tafsir yang menakjubkan ini memiliki system penafsiran yang begitu bagus, yaitu;
a)    Menafsirkan ayat secara urutan surat al-Qur'an. Kita dapat mengamatinya dari penafsiran yang ada dimulai dari surat al-Fatihah kemudian al-Baqoroh kemudian ali-Imran dan seterusnya.
b)   Tidak menafsirkan setiap ayat yang ada, bahkan tidak menafsirkan al-Qur'an perkata, namun hanya pada ayat yang memiliki tafsiran pada ayat yang lainnya, atau ayat yang mengandung hukum.
c)    Menjelaskan al-Qur'an dengan al-Qur'an, ini telah menjadi ijma’ ulama’ bahwa cara penafsiran yang terbaik adalah menafsirkan al-Qur'an dengan al-Qur'an, karena tidak ada yang lebih memahami makna kalam-kalam Allah dari Allah yang maha tinggi. Contoh:
قوله تعالى : ( فتلقى آدم مِن رَّبِّه كَلِمِاتٍ). سورة في بينها ولكنه, الكلمات هذه ما هنا يبين لم رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ  قالا : ( بقوله الاعراف الاعرف ) ( تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ )
d)   Konsisten dengan hanya menafsirkan dengan qiroah sab’ah, tidak mengambil dari qiro’ah syadzah. Dan mungkin kami mencantumkan qiro’at syadzah hanya sebagai saksi dalam qiro’at sab’ah. Qiro’at abi ja’far, ya’qub dan khalaf oleh penafsir tidaklah syadz, bahkan para ahli qiro’atpun  berpendapat demikian.
e)    Menjelaskan hukum-hukum fiqih pada ayat hukum, dengan menambahkan pendalilan dari sunnah dan perkataan para ulama’, kemudian merojihkan yang Nampak kuat di mata penafsir berdasarkan dalil yang ada tanpa fanatik terhadap aliran madzhab tertentu, tidakk pula memihak pada perkataan tokoh tertentu,  karena setiap perkataan dari siapapun itu bisa diterima (karena benar) dan bisa ditolak (karena salah).Kecuali perkataannya Rosulullah Shalallahu 'alaihi wa salam. Kebenaran tetaplah kebenaran meskipun yang mengatakannya adalah manusia biasa.Di bidang fiqih, dalam tafsirannya yang  berkenaan hukum fikih, asy-syeikh menampilkan berbagai pendapat ulama’ yang berbeda-beda, kemudian menyimpulkan pendapat mana yang lebih kuat berdasarkan atas dalil aqli atau naqli.Artinya dalam kitab tafsir ini, sang mufasir tidak semata-mata hanya menggunakan ayat dalam menafsirkan, namun menguatkan hujah dengan sunnah juga.
f)    Dalam perkara aqidah, beliau menjelaskan secara mantik dan dalil. Metode yang sangat kental sekali adalah bahwa semua Allah sifati untuk dirinya sendiri yang ada dalam al-Qur'an ini seperti istiwa’, tangan, wajah dan lain sebagainya diantara sifat-sifat Allah. Maka sifat itu adalah sifat yang hakiki bukan majas dengan tetap meninggikan kesucian dzat Allah dari musyabahah dari sifatnya manusia.
g)   Mengeluarkan Hikmah yang terpendam, sebagai mana yang beliau kelurkan atas tasfiran surat al-Fatihah
قوله تعالى : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ }
أشار في هذه الآية الكريمة إلى تحقيق معنى لا إله إلا الله : لأن معناها مركب من أمرين : نفي وإثبات . فالنفي : خلع جميع المعبودات غير الله تعالى في جميع أنواع العبادات ، والإثبات : إفراد رب السموات والأرض وحده بجميع أنواع العبادات على الوجه المشروع . وقد أشار إلى النفي من لا إله إلا الله بتقديم المعمول الذي هو { إِيَّاكَ } . وقد تقرر في الأصول ، في مبحث دليل الخطاب الذي هو مفهوم المخالفة . وفي المعاني في مبحث القصر : أن تقديم المعمول من صيغ الحصر . وأشار إلى الإثبات منها بقوله : { نَعْبُدُ } . وقد بين معناها المشار إليه هنا مفصلاً في آيات أخر كقوله : { يَاأَيُّهَا الناس اعبدوا رَبَّكُمُ الذي خَلَقَكُمْ } [ البقرة : 21 ] الآية - فصرح بالإثبات منها بقوله : { اعبدوا رَبَّكُمُ } وصرح بالنفي منها في آخر الآية الكريمة بقوله : { فَلاَ تَجْعَلُواْ للَّهِ أَندَاداً وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [ البقرة : 22 ] وكقوله : { وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت } [ النحل : 36 ] فصرح بالإثبات بقوله : { أَنِ اعبدوا الله } وبالنفي بقوله { واجتنبوا الطاغوت } وكقوله : { فَمَنْ يَكْفُرْ بالطاغوت وَيْؤْمِن بالله فَقَدِ استمسك بالعروة الوثقى } [ البقرة : 256 ] فصرح بالنفي منها بقوله : { فَمَنْ يَكْفُرْ بالطاغوت } [ البقرة : 256 ] وبالإثبات بقوله : { وَيْؤْمِن بالله } [ البقرة : 256 ] وكقوله : { وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَآءٌ مِّمَّا تَعْبُدُونَ إِلاَّ الذي فَطَرَنِي } [ الزخرف : 26-27 ] الآية - وكقوله : { وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نوحي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إله إِلاَّ أَنَاْ فاعبدون } [ الأنبياء : 25 ] وقوله : { وَاسْأَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرحمن آلِهَةً يُعْبَدُونَ } [ الزخرف : 45 ] إلى غير ذلك من الآيات
قوله تعالى : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } .أي لا نطلب العون إلا منك وحدك . لأن الأمر كله بيدك وحدك لا يملك أحد منه معك مثقال ذرة . وإتيانه بقوله  : { وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ } بعد قوله : { إِيَّاكَ نَعْبُدُ } ، فيه إشارة إلى أنه لا ينبغي أن يتوكل إلا على من يستحق العبادة . لأن غيره ليس بيده الأمر . وهذا المعنى المشار إليه هنا جاء مبيناً واضحاً في آيات أخر كقوله : { فاعبده وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ } [ هود : 123 ] الآية - وقوله : { فَإِن تَوَلَّوْاْ فَقُلْ حَسْبِيَ الله لا إله إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ } [ التوبة : 129 ] الآية - وقوله : { رَّبُّ المشرق والمغرب لاَ إله إِلاَّ هُوَ فاتخذه وَكِيلاً } [ المزمل : 9 ] وقوله : { قُلْ هُوَ الرحمن آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا } [ الملك : 299 ] إلى غير ذلك من الآيات[17]
7.    Aqidah Penulis Kitab
Beliau adalah termasuk ulama Salafiyun yang terkenal yang selalu memperjuangkan aqidah salaf baik dengan lisan ataupun dengan tulisan. Contoh tulisan beliau dalam memperjuangkan aqidah salaf adalah risalah beliau dalam pembahasan Asma dan Shifat ( nama-nama dan sifat-sifat Allah ) yang beliau beliau beri nama : “Ayatus Shifat”[18]
8.    Penolakan al-Syanqithi terhadap Penggunaan Majaz
Dalam bukunya yang berjudul Man’u Jawaz al-Majaz fi al-Munazzal li al- Ta’abbud wa al-I’jaz, al-Syanqithy menyebutkan adanya perbedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya majaz dalamal-Qur’an. Diantara yang menolak adanya majaz dalam al-Qur’an adalah Ibn Taimiyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim.
Al-Syanqithy sendiri sependapat dengan kedua tokoh tersebut. Alasannya ialah bahwa majaz boleh dinafikan, dan orang yang menafikan dianggap benar. Ketika ada orang mengatakan “saya melihat singa sedang memanah” kata singa itu boleh dinafikan dan diganti dengan seorang pemberani. Maka kalau dikatakan bahwa dalam al-Qur’an terdapat majaz berarti dalam al-Qur’an terdapat sesuatu yang boleh dinafikan. Padahal tidak diragukan bahwa tidak boleh ada dari al-Qur’an sesuatu yang boleh dinafikan. Jika dalam al-Qur’an terdapat majaz, maka akan dapat menafikan sifat-sifat keagungan dan kemuliaan Allah. Orang yang mengatakan bahwa dalam al-Qur’an ada majaz, akan berkesimpulan: tidak ada tangan, tidak ada wajah, tidak ada istiwa bagi Allah, karena semua itu hanya majaz. Padahal Allah sendiri yangmensifati diri-Nya dengan semua sifat itu. Dan menurut madzhab ahlu sunnah wa al-jama’ah semua itu harus diimani tanpa takyif, tasybih, ta’thil, ataupun tamtsil.
Berdasarkan prinsip bahwa tidak ada majaz dalam al-Qur’an maka al-Syanqithy menegaskan bahwa dalam menyikapi ayat-ayat sifat harus didasarkan pada dua hal:
Pertama, mengimani apa yang sudah ditetapkan dalam al-Qur’an dan sunnah yang shahih secara hakiki bukan majazi.
Kedua, menafikan tasybih dan tamtsil dari sifat Allah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan hadits yang shahih. Siapa yang manfikannya adalah mu’aththil padahal tidak ada yang lebih tahu dari Allah dan Rasulullah untuk mensifati Allah. Siapa yang mentasybihkan sifat Tuhan dengan sifat makhluk maka dia musyabbih mulhid. Dan siapa yang beriman kepada sifat-sifat Tuhan dan mensucikanNya dari tasybih dan tamtsil dengan sifat makhluk, dialah seorang mukmin muwahhhid.Dalil untuk kedua pendapat di atas menurut al-Syanqithi adalah ayat 11 dari surat al-Syura. Di dalamnya terdapat nafyu, penegasian tamtsil sekaligus itsbat, peneguhan sifat secara hakiki.
Menurut al-Syanqithy, peneguhan sifat wajah, tangan, atau istiwa dsb pada Allah tidak menyebabkan penyerupaanNya dengan makhluk (seperti yang dianggap oleh bebrapa kelompok), sebagaimana halnya mensifatiNya dengan pendengaran dan penglihatan tidak berarti menyamakanNya dengan makhluk yang mendengar dan melihat. Kedua sifat itu adalah hakiki bagiNya sesuai dengan kesempurnaan dankeagunganNya, sebagaimana kedua sifat itu hakiki bagi makhluk-makhlukNya dalam pengertian yang sesuai bagi mereka.
Penolakan al-Syanqithy terhadap adanya majaz pada ayat-ayat yang terkait dengan ta’abbud dan i’jaz, boleh jadi merupakan tanggapan terhadap padangan golongan Mu’tazilah mengenai ayat-ayat yang menyebutkan sifat-sifat jasmani Tuhan, yang bagi mereka harus ditafsirkan secara metaforis karena apabila ditafsirkan menurut makna lahir akan timbul anggapan bahwa Tuhan sebagai badan materi (jasmani), padahal Dia mustahil demikian. Karena itu kata-kata wajah dan tanganyang diidhafahkan kepada Tuhan, menurut mereka, harus ditakwilkan.23 Tokoh Mu’tazilah yang membahas persoalan ini dengan cukup luas adalah al-Qdhy Abd al-Jabbar yang menjelaskan argumennya bahwa Allah bukan wujud materi dan bahwan Allah tidak serupa dengan makhluk.
Menurut Subhi al-Shalih, penolakan adanya majaz dalam al-Qur’an, termasuk majaz yang terkait dengan sifat Allah, adalah pendapat yang gharib, asing. Anggapan yang mengatakan bahwa majaz itu sama dengan dusta sedangkan al-Qur’an tidak mungkin dusta, dan bahwa seseorang tidak menggunakan majaz kecuali jika ia tidak mungkin menggunakan hakikat, sedangkan yang demikian adalah mustahil bagi Allah, menurut Shubhi, bagi orang yang menyelami keindahan uslub al-Qur’an, anggapan seperti itu salah.[19]
9.    Contoh Tafsir al-Syinqithi
·      kepemimpinan
قوله تعالى: (وَاِذْقَالَ رَبُّكَ لِلْمَلئِكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِيْ الْاَرْضِ خَلِيْفَةْ) الاية في قوله: (خَلِيْفَةً) وجهان من التفسير للعلماء:
احدهما: أن المراد بالخليفة أبونا ءادم عليه وعلى نبينا الصلاة والسلام, لانه خليفة الله في ارضه في تنفيذ أو امره. وقيل: لانه صار خلفا من الجن الذين كانو يسكنون الارض قبله, وعليه فالخليفة: فعيلة بمعنى فاعل. وقيل: لانه اذا مات يخلفه من بعده, وعليه فهو من فعيلة بمعنى مفعول. وكون الخليفة هو ءادم هو الظاهر المتبادر من السياق الآية.
الثانى: أن قوله:(خليفة) مفرد اريد به الجمع, اي خلائف, وهو اختيار ابن كثير. والمفرد ان كان اسم جنس يكثر فى كلام العرب اطلاقه مرادًا به الجمع كقوله تعالى: (اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنَّةٍ وَنَهَرٍ), يعني وأنهارا بدليل قوله: (فِيْهَا اَنْهَارٌ مِنْ مَّاءٍ غَيْرِ ءاسِنٍ). وقوله: (وَجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا), وقوله: (فَأِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا), ونظيره من كلام العرب قول عقيل بن علفة المري: وكان بنو فزارة شرعم وكانت لهم كشر بني الاخينا وقول العباس بن مرداس السلمي: فقلنا اسلموا انا اخوكم وقد سلمت من الإحن الصدور وانشد له سيبويه قول علقمة بن عبدة التميمي: بها جيف الحسري فإما عظامها فبيض وأما جلدها فصليب.[20]

10.    Kelebihan, Kekurangan dan Komentar Ulama’.
Kelebihan kitab Tafsir Adhwaul Bayan adalah menjelaskan al-Qur’an dengan al-Qur’annya sendiri. Disamping beliau tidak fanatik dalam suatu madzhab olehnya menafsirkan kitab tafsirnya tersebut, padahal beliau bermadzhab Maliki. Kemudian dilengkapi penjelasan tambahan seperti contohnya pembahasan tentang beberapa masalah kebahasaan (Lughah) dan hal-hal yang diperlukannya.
Kekurangan dari kitab tafsir ini adalah beliau dalam mengarang kitab tafsirnya ini juga mengambil pendapat para Ulama’, beliau tidak memberi nama Ulama’ siapa yang diambil pendapatnya.[21]















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nama lengkap penulis tafsir Adhwa al-Bayan adalah Muhammad al-Amin bin Muhammad bin Mukhtar Al Jilani Asy-Syinqithiy, lahir di Tanbeh provinsi Kifa Syinqith pada tahun 1325 H (1907 M) atau yang sekarang dikenal sebagai Mauritania. Ketika ia berusia 10 tahun ia sudah menghafalkan al-Qur’an dan belajar tentang sastra Arab dan silsilah Arab, sirah, sejarah oleh pamannya sendiri, dan ketika ia berusia 16 tahun Ia terus mendalami berbagai keilmuan seperti balaghah, tafsir dan hadis ke beberapa ulama yang ada di wilayahnya saat itu. Beliau juga menetap di Arab Saudi, disana beliau melakukan pertemuan dan berdiskusi tentang persoalan fikih dan akidah dengan dua orang ulama, yakni Abdullah az-Zahim dan Abdul Aziz bin Shalih yang memperkenalkannya pada madzhab Hambali dan manhaj salaf.  Dan inilah awal mula ia dikenal sebagai ulama yang menguasai berbagai bidang keilmuan; fikih, tafsir, hadis, bahasa. Al-Syanqith menjadi pengajar di lembaga formal dan non formal yakni di Universitas Islam Madinah dan di Masjid Nabawi dan meninggal dunia sebelum menyelesaikan penafsiran yang ketiga kalinya. Beliau juga merupakan anggota dari organisasi ulama terkemuka di kerajaan Saudi Arabia dan merupakan salah satu anggota pendiri Rabithah Alam Islam.
Satu karnyanya ialah kitab tafsir Adhwa’ al-Bayan yang merupakan karya terbesarnya dalam bidang tafsir yang terdiri dari 7 juz. Hanya saja ia baru menyelesaikannya hingga akhir surat Al-Mujadilah. Dan diselesaikan Athiyyah Muhammad Salim hingga akhir surat an-Nas. Alasan beliau menulis tafsir Adhwa’ al-Bayan karena beliau mengetahui bahwa mayoritas masyarakat yang mengaku sebagai kaum muslimin berpaling dari kitabullah, mengindahkan janji Allah dan tidak takut akan ancaman-Nya. Mereka tidak tertarik pada janji-janji al-Qur’an dan tidak takut kepada ancamannya. Tujuan kedua adalah untuk menjelaskan hukum-hukum fiqh pada semua ayat yang dijelaskan dengan mengambil dalil dari sunnah dan pendapat para ulama kemudian memilih yang dianggap rajih, lebih kuat, tanpa ta’assub kepada madzhab tertentu atau kepada pendapat seseorang tertentu, karena yang diperhatikan adalah pendapatnya bukan siapa yang mengatakannya. Beliau memulai penafsiran terhadap al-Qur’an secara berurutan sesuai nomor urut surat, yakni dari al-Fatihah sampai al-Nas. Yang membedakan dari kitab tafsir yang lain adalah bahwa penafsiran satu surat tidak selalu dimulai dari ayat pertama, dan ayat-ayat dalam satu surat tidak semuanya ditulis lalu ditafsirkan. Ayat yang ditafsirkan pun tidak selalu ditulis penuh (dari awal hingga akhir ayat). Untuk memberi penjelasan terhadap satu ayat, seringkali dia menyebutkan ayat yang lain dari surat tersebut.Dalam tafsir ini, ia tidak membuat judul atau sub judul untuk mengawali pembahasannya, selain nama-nama surat yang dicantumkan pada permulaan tafsir untuk masing-masing surat. Apabila ingin mencari topik-topik tertentu, bisa melihat pada daftar isi yang diletakkan pada bagian akhir setiap jilid kitab.Tafsir ini tergolong tafsir bi al-ma’tsur yang berusaha menjelaskan makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan ayat lain, atau dengan hadits Nabi saw. Dan jarang atau sedikit sekali menggunakan ra’yu untuk menjelaskannya. Penggunaan ra’yu itu hanya ketika dibutuhkan saja. Metode tafsir ini dikelompokkan dalam metode tafsir Muqarin yang menggunakan metode perbandingan antara ayat dengan ayat, atau ayat dengan hadits, atau antara pendapat-pendapat para ulama. Atau dalam menafsirkan al-Qur’an, asy-Syinqithi menggunakan dua metode pokok, yakni metode literer/naqli (al-manhaj an-naqli) dan metode rasional/‘aqli (al-manhaj al-‘aqli). Metode naqli adalah metode penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan al-Qur’an, al-Hadits dan Ijma’. Sedangkan metode ‘aqli adalah penggunaan metode-metode rasional dalam penafsiran al-Qur’an seperti qiyas, analisis kebahasaan dan ushul fikih. Beliau termasuk ulama Salafiyun yang terkenal yang selalu memperjuangkan aqidah salaf. Beliau juga termasuk ulama yang menolak penggunaan majaz alasannya ialah bahwa majaz boleh dinafikan, dan orang yang menafikan dianggap benar. Kelebihan kitab Tafsir Adhwaul Bayan adalah menjelaskan al-Qur’an dengan al-Qur’annya sendiri. Disamping beliau tidak fanatik dalam suatu madzhab olehnya menafsirkan kitab tafsirnya tersebut, padahal beliau bermadzhab Maliki, kemudian dilengkapi penjelasan tambahan.Kekurangan dari kitab tafsir ini adalah beliau dalam mengarang kitab tafsirnya ini juga mengambil pendapat para Ulama’, beliau tidak memberi nama Ulama’ siapa yang diambil pendapatnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris. (tt). Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an.
Abi Wa. (2015, Mei 19). Makalah; Tafsir asy-Syinqithi. Diambil kembali dari http://generasimodern.blogspot.com/2015/05/makalah-tafsir-asy-syinqithy.html?m=1
Admin. (2014, April 24). Syaikh asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya dalam Adhwaul Bayan. Diambil kembali dari http://www.adhwaulbayan.or.id/syaikh-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya-dalam-adhwaul-bayan/
As-Saedy, S. (2014, Mei 07). Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi. Diambil kembali dari http://www.alsofwa.com/25179/syaikh-muhammad-al-amin-asy-syinqithi-1325-h-1393-h.html
Ridwan, A. (2014, Juli). Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir. Diambil kembali dari https://wawanridwan0314.blogspot.com/2014/07/seri-pengenalan-kitab-kitab-tafsir-19.html?m=0
Sofianasma. (2013, Januari 7). Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya. Diambil kembali dari https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/07/muhammad-al-amin-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya/
Ulfa, S. F. (2015, Februari 06). Tafsir Adhwaul Bayan. Diambil kembali dari http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-adhwaul-bayan.html?m=1



[1]Saed As-Saedy, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, http://www.alsofwa.com/25179/syaikh-muhammad-al-amin-asy-syinqithi-1325-h-1393-h.html diakses 11 Desember pukul 23.00
[2] Sofianasma, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya, https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/07/muhammad-al-amin-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya/ diakses 11 Desember pukul 22.00 WIB
[3] Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[4]Abi Wa, Makalah; Tafsir asy-Syinqithi, http://generasimodern.blogspot.com/2015/05/makalah-tafsir-asy-syinqithy.html?m=1 diakses 11 Desember pukul 22.15 WIB
[5]Saed As-Saedy, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, http://www.alsofwa.com/25179/syaikh-muhammad-al-amin-asy-syinqithi-1325-h-1393-h.html diakses 11 Desember pukul 23.00
[6]S Fatihatul Ulfa, Tafsir Adhwaul Bayan,  http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-adhwaul-bayan.html?m=1 diakses 12 Desember pukul 21.00
[7]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[8]Admin, Syaikh asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya dalam Adhwaul Bayan,   http://www.adhwaulbayan.or.id/syaikh-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya-dalam-adhwaul-bayan/ diakses 11 Desember pukul 23.20

[9]S Fatihatul Ulfa, Tafsir Adhwaul Bayan,  http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-adhwaul-bayan.html?m=1 diakses 12 Desember pukul 21.00
[10]Annisadiyah Ridwan, Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir, https://wawanridwan0314.blogspot.com/2014/07/seri-pengenalan-kitab-kitab-tafsir-19.html?m=0 diakses 12Desember 21.15

[11]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[12]Contohnya kataثلاثة قروء yang bisa ditafsirkan masa suci ataumasa haid. Al-Syanqithy menafsirkannya dengan masa suci karena kata itu sebanding denga ثلاثة اطهارkalau ditafsirkan sebagai masa haid maka semestinya kata itu berbunyiثلاثة قروء  sebanding denganثلاثة حيضات Adhwau al-Bayan, Juz 1, h.7
[13] Contohnya kataولكن حقت كلمت العذاب yang ditafsirkan dengan ayatولكن حق القول مني لاملان جهنم Adhwau al-Bayan, Juz 1, h. 10
[14]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[15]Sofianasma, Muhammad al-Amin asy-Syinqithi dan Metode Tafsirnya, https://sofianasma.wordpress.com/2013/01/07/muhammad-al-amin-asy-syinqithi-dan-metode-tafsirnya/ diakses 11 Desember pukul 22.00 WIB
[16]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[17]Abi Wa, Makalah; Tafsir asy-Syinqithi, http://generasimodern.blogspot.com/2015/05/makalah-tafsir-asy-syinqithy.html?m=1 diakses 11 Desember pukul 22.15 WIB
[18]Annisadiyah Ridwan, Seri Pengenalan Kitab-Kitab Tafsir, https://wawanridwan0314.blogspot.com/2014/07/seri-pengenalan-kitab-kitab-tafsir-19.html?m=0 diakses 12Desember 21.15
[19]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[20]Abdul Haris, Distingsi Tafsir Adhwau al-Bayan fi Idhah al-Qur’an bi al-Qur’an, tp, tt.
[21]S Fatihatul Ulfa, Tafsir Adhwaul Bayan,  http://syeevaulfa.blogspot.com/2015/02/tafsir-adhwaul-bayan.html?m=1 diakses 12 Desember pukul 21.00

Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR ADHWA AL-BAYAN KARYA MUHAMMAD AL-AMIN AL-SYINQITHI"