Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Contoh-Contoh Tafsir Kontekstual

Berkaitan dengan penafsiran kontekstual Rasulullah saw., ada contoh yang bisa diungkap di sini. Al-Bukhari (194-256 H) meriwayatkan dari ‘Abdullah ra.: “Kami ikut ambil bagian dalam perang-perang suci (jihad) bersama Rasulullah saw. dan kami tidak membawa istri-istri kami. Maka kami berkata (kepada Nabi saw.), “Haruskah kami mengibiri diri kami?” Nabi saw. melarang kami melakukan (pengibirian) itu dan mengizinkan kami menikahi seorang perempuan (secara temporer) bahkan pun dengan hanya memberinya sehelai pakaian (sebagai mahar). Kemudian Nabi saw. membacakan ayat berikut : “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah (kalian) haramkan tayyibah (yang baik-baik) yang dihalalkan Allah kepadamu” (QS. al-Ma`idah 5: 87).”

Konteks hadis tersebut jelas pada saat perang. Padahal Ibn Katsir (705-774 H) dalam Tafsir al-Qur`an al-’Adzim menukil beberapa riwayat Asbab al-Nuzul ayat ini yang seluruhnya seputar meninggalkan kenikmatan duniawi yang berupa makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan seksual untuk fokus beribadah kepada Allah , dan tidak ada kaitannya dengan perang. Bisa jadi hadis ini merupakan salah satu penafsiran kontekstual Rasulullah saw. atas ayat 87 surat al-Mā`idah guna memecahkan persoalan pengibirian dan pernikahan pada saat perang.

Muhammad Rashid Rida (1865-1935 M) mempunyai penafsiran kontekstual menarik tentang konsep Ahli Kitab sebagaimana termaktub dalam ayat 5 surat al-Mā`idah. Ia berpendapat bahwa al-Qur`an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi’in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma (Hindu), Budha, dan para pengikut Konfusius karena kaum Sabi’in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran awal al-Qur`an, karena kaum Sabi’in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain. Tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal (oleh bangsa Arab), sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi alamat pembicaraan itu di masa turunnya al-Qur`an, berupa penganut agama-agama yang lain. Setelah itu tidak diragukan lagi bagi mereka (orang Arab) yang menjadi alamat pembicaraan (wahyu) itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Budha, dan lain-lain. Statemen Muhammad Rashid Rida (1865-1935 M) ini merupakan penafsiran kontekstualnya terhadap konsep Ahli Kitab yang selama ini mayoritas sarjana Sunni membatasinya hanya pada Yahudi dan Kristen. Menurutnya, konsep Ahli Kitab juga mencakup Hindu, Budha, dan para pengikut Konfusius karena pada saat turunnya al-Qur`an orang Arab belum mengenal agama-agama tersebut sehingga tidak perlu menyebutnya. Secara tidak langsung, ia mengakui adanya sisi-sisi lokalitas-temporal al-Qur`an yang memerlukan pemahaman dan wawasan mendalam untuk menafsirkannya seperti konsep Ahli Kitab, sehingga seorang penafsir tidak terjebak dalam sisi-sisi lokalitas-temporalnya dan berusaha mengungkapkan maksud kandungan internal dan eksternalnya sesuai dengan konteks di mana ia diturunkan dan ditafsirkan guna merespons tuntutan kehidupan aktual manusia.

Post a Comment for "Contoh-Contoh Tafsir Kontekstual"