Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

Sejarah Perkembangan Ingkarus Sunnah

1. Gejala Awal Ingkarus Sunnah

Belum ada atau tidak ditemukan bukti sejarah yang kuat yang menjelaskan bahwa bahwa pada zaman Nabi ada dari kalangan umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Dalam sejarah para sahabat tidak skeptic dalam mendengar, meriwayatkan dan melaksanakan sunnah yang dating dari Nabi Saw. Di masa hidup beliau, tidak ada sahabat yang mendustakannya, atau tidak mempercayai sabda-sabdanya, atau berani berdusta atas nama beliau.

Memang , Ahmad Amin budayawan dan sejarawan Mesir lahir pada 1878 dan wafat pada 1954 memberikan analisis berbeda dengan realita sejarah terhadap hadis Nabi Saw:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ 

Menurutnya, hadis ini memberikan gambaran bahwa kemungkinan besar pada masa Nabi Saw. Telah terjadi pemalsuan hadis dan pendustaan kepada beliau. Dan sabab al-wurud hadis ini kemungkinan besar dilator belakangi adanya pendustaan terhadap beliau. Hanya saja, pendapat ini mengandung kelemahan baik dilihat dari segi bukti historis, sikap sahabat terhadap segala yang berasal dari Nabi, serta tidak adanya dukungan data hadis yang dibuat pada masa Nabi. Pendapatnya itu hanya didasarkan pada dugaan tersirat (mafhum) hadis tersebut.

Gejala paling awal, menurut Mahmud Muhammad Mazru’ah, telah terjadi di zaman Rasulullah sendiri. Beliau mengutip hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dan lain-lain dari sahabat Zubair bin Awwam yang bertengkar dengan seorang laki-laki Anshar dalam masalah pengairan kebun. Rasulullah memutuskan supaya Zubair mengairi kebunnnya terlebih dahulu baru kemudian mengalirkan air tersebut ke kebun tetangganya yang Anshar. Laki-laki Anshar tersebut memprotes keputusan Nabi seraya berkata “Apakah karena dia itu anak bibimu (sehingga engkau memutuskan seperti itu)?”. Berubahlah wajah Rasulullah seketika itu (karena marah), lalu berkata sekali lagi: “Airilah (wahai Zubair)! Kemudian tahan airnya sampai mata kaki”. Lalu turunlah ayat al-Qur’an surat an-Nisa ayat 65. Zubair berkata ”Demi Allah aku tidak berpendapat bahwa ayat ini turun kecuali dalam peristiwa ini”.

Kendati demikian peristiwa tersebut tidak dianggap oleh sejarawan sebagai tindakan mengingkari sunnah Rasulullah. Hal ini karena asing dan jarangnya kejadian seperti itu, lagi pula pelakunya pun segera rujuk atau kembali kejalan yang benar sehingga pengaruhnya juga tidak signifikan.

Riwayat lain dikemukakan oleh Imam Hasan al-Bashri menuturkan bahwa ketika sahabat Nabi Saw. Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis, tiba-tiba ada seorang yang emosi pembicaraan beliau lalu bertanya: “Wahai Abu Nujaid”, (nama panggilan “Imran), berilah kami pelajaran al-Qur’an saja.

Imran bin Hushain lalu meminta agar orang tersebut maju ke depan. Setelah itu beliau bertanya, “Bagaimana pendapatmu seandainya kamu dan kawan-kawanmu hanya memakai al-Qur’an saja, apakah kamu dapat menemukan dalam al-Qur’an bahwa shalat zuhur empat rakaat, salat ashar empat rakaat, dan shalat magrib tiga rakaat? Apabila hanya memakai al-Qur’an saja, dari mana kamu tahu bahwa tawaf dan sa’i antara Shafa dan Marwah itu tujuh kali?

Mendengar jawaban itu orang tadi berkata, “Engkau telah menyadarkan aku, mudah-mudahan Allah selalu menyadarkan engkau”. Akhirnya , kata al-Hasan al- Bashri- sebelum wafat orang itu menjadi tokoh ahli fiqih.

Imam Hasan al-Bashri tidak menyebutkan siapa nama orang yang tidak mau diberi pelajaran hadis tadi. Namun kisah ini menunjukan bahwa pada masa yang sangat dini sudah muncul gejala-gejala ketidakpedulian terhadap hadis di mana dalam perkembangan selanjutnya hal ini menjadi ‘cikal-bakal’ munculnya paham yang menolak hadis sebagai salah satu sumber syariat Islam, yang kemudian lazim dikenal inkar-sunnah.

2. Ingkarus Sunnah Klasik

Pada awal masa Abasiyah (750-1258 M), barulah muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam. Musthafa al-Siba’I juga mengungkapkan bahwa abad kedua (hijriyah) belum berlalu, sunnah telah diuji oleh mereka yang mengingkari kehujahannya sebagai salah satu sumber hukum penetapan syariat Islam, baik yang mengingkarinya secara mutlak, maupun yang mengingkari sunah yang tidak mutawattir, dan yang mengingkari al-sunnah bal-ustaqillah- sunnah yang bukan merupakan penjelasan dan bukan pula penguat al-Qur’an. Terhadap yang terakhir ini, sunah yang berdiri sendiri, Imam Ibnu Qayyim menyatakan bahwa ini bukan berarrti mendahulukan sunnah dari al-Qur’an, tetapi justru menaati perintah Allah supaya mengikuti RasulNya. Kalau dalam hal ini Rasul tidak diikuti, maka tiada maknanya ketaatan kepadaNya, dan gugurlah ketaatan kepada Rasul yang bersifat khusus (pada hal-hal yang tidak dinyatakan al-Qur’an).

Hal tersebut dapat dipahami dari penjelasan Imam al-Syafi’I (Imam madzhab fikih w. 204 H) di dalam kitab Jima’ al-Ilmi yang merupakan bagian dari kitab al-Umm. Di situ ia membuat fasal khusus yang memuat panjang lebar perdebatannya dengan orang yang disebut sebagai “ ahli tentang mazhab kawan-kawannya’ yang menolak sunnah secara keseluruhan. Di antara argument yang dikemukakan kelompok ingkarus sunnah secara rinci sebagai berikut:

  1. Al-Qur’an turun sebagai penerang atas segala sesuatu, bukan yang diterangkan. Jadi al-Qur’an tidak memerlukan keterangan dari sunnah.
  2. Al-Qur’an bersifat qat’iy (pasti, absolute kebenarannya), sedang sunnah bersifat dzanniy (bersifat relative kebenarannya) maka jika terjadi kontradiksi antara keduannya sunnah tidak dapat berdiri sendiri sebagai produk hukum baru.
  3. Jika di antara fungsi sunnah sebagai penguat (muakkidah) terhadap hukum di dalam al-Qur’an, maka yang diikuti adalah al-Qur’an, bukan sunnah.
  4. Jika sunnah merinci (tafshil) keglobalan ayat al-Qur’an, maka tidak mungkin terjadi al-Qur’an yang bersifat qat’iy diterangkan dengan sunnah yang bersifat dzanniy dan tidak kafir pengingkarannya.
  5. Sunnah mutawatirah tidak dapat member kepastian (qat’iy) karena prosesnya melalui ahad. Boleh jadi, di dalamnya terdapat kebohongan.

Semua argumentasi yang dikemukakan orang tersebut dapat ditangkis dan dipatahkan oleh Imam al-Syafi’iy dengan jawaban yang argumentative, ilmiah, dan rasional, sehingga akhirnya ia mengakui dan menerima sunah Nabi sebagai hujjah. Karenannya Imam Syafi’I diberi julukan sebagai nashir al-sunnah (pembela sunnah).

Sementara menjelang akhir abad kedua Hijriyah muncul kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, di samping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja. Di antara kelompok tersebut adalah :

a. Khawarij dan Sunnah

Kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti ‘sesuatu yang keluar’. Sementara menurut terminologis, khawarij adalah kelompok atau golongan yang keluar dan tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan Khawarij di sini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib r.a. Apakah khawarij menolak Sunnah? Ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat sebelum kejadian fitnah (perang saudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Muawiyah r.a.) diterima oleh kelompok khawarij. Dengan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagai orang-orang yang adil. Namun setelah kejadian fitnah tersebut, kelompok Khawarij menilai mayoritas sahabat Nabi Saw. Sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sesudah kejadian itu di tolak kelompok Khawarij.

b. Syiah dan Sunnah

Kata Syi’ah berarti para pengikut atau para pendukung. Secara terminologis, Syi’ah sdalah golongan yang menganggap bahwa Ali bin Abu Tholib r.a. lebih utama dari khalifah sebelumnya (Abu Bakar, Umar, dan Utsman) dan berpendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi Saw.) lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.

Golongan syi’ah menganggap bahwa bahwa sepeninggal Nabi Saw., moyoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam), kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap Muslim. Karena itu, golongan Syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl Al-Bait saja.

c. Mu’tazilah dan Sunnah

Arti kebahasaan dari kata mu’tazilah adalah “sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksud disini adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka berpendapat bahwa seorang Muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat Mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Bashri, dan dipelopori oleh Washil Bin Ata (w. 131 H).

Apakah Mu’tazilah menolak sunnah? Syeikh Muhammad al-Khudhari Beik berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak sunnah. Pendapat ini berdasarkan adanya diskussi antara Imam Syafi’I (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran yang ada pada waktu itu di Basrah Irak adalah Mu’tazilah. Prof. Dr. al-Siba’I tampaknya sependapat dengan pendapat al-Khudari.

Ulama Mu’tazilah yang tampak menolak sunnah yaitu Abu Ishaq Ibrahim bin Sajyar, yang popular dengan sebutan al-Nadhdham (w. 221-223 H). ia mengingkari kemukjizatan al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mukjizat Nabi Muhammad Saw., dan mengingkari hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.

3. Ingkarus Sunnah Modern

Sejak abad ketiga sampai abad keempat belas Hijriyah, tidak ada catatan sejarah yang menunjukan bahwa di kalangan umat Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak sunnah sebagai salah satu sumber syari’at Islam, baik secara perseorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak sunnah yang muncul pada abad I H (ingkarus sunnah klasik) sudah lenyap ditelan masa pada akhir abad III H.

Pada abad keempat belas hijriyah, pemikiran seperti itu muncul kembali ke permukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari ingkarus sunnah klasik. Apabila ingkarus sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidakahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan sunnah, ingkarus sunnah modern muncul akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.

Kapankah aliran ingkarus sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkarus sunnah modern lahir di Kairo Mesir pada masa Syeikh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain, Syeikh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkarus sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih di beri catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.

Abu Rayyah menuturkan bahwa Syeikh Muhammad Abduh berkata, “ Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain al-Qur’an, dan Islam yang benar adalah Islam pada awal sebelumnya terjadi fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, “Umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di al-Azhar dan sejeninya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu al-Qur’an. Semua hal selain al-Qur’an akan menjadi kendala yang menghalangi antara al-Qur’an dan ilmu serta amal.

Abu Rayyah dalam menolak sunnah banyak merujuk pada pendapat Syeikh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini khususnya Muhammad Abduh disebut-sebut sebagai pengingkar sunnah. Namun , benarkah Muhammad Abduh mengingkari sunnah? Seperti dituturkan di atas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dipastikan kebenarannya.

Pemikiran Syeikh Muhammad Abduh dalam ‘menolak’ sunnah ini diikuti oleh Taufik Shidqi, yang menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun IX dengan judul “Islam adalah al-Qur’an itu sendiri”. Sambil mengutip ayat-ayat al-Qur’an, Taufiq Shidqi mengatakan bahwa Islam tidak memerlukan sunnah.

Sayyid Rasyid Ridha tampaknya sangat mendukung pemikiran Taufiq Shidqi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hadis-hadis yang sampai kepada kita dengan riwayat mutawatir, seperti jumlah rakaat shalat, puasa dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan agama secara umum. Akan tetapi, hadis-hadis yang periwayatanya tidak mutawatir disebut aturan agama secara khusus dimana kita tidak wajib menerimanya.

Begitulah pendapat dan pemikiran Sayyid Rasyid Ridha tentang hadis. Namun demikian, belakangan ia mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela hadis. As-Siba’I menuturkan “ Pada awalnya Sayyid Rasyid Ridha terpengaruh dengan pemikiran gurunya, Syeikh Muhammad Abduh”. Sesudah Syeikh Muhammad Abduh wafat dan Sayyid Rasyid Ridha menerima tongkat estafet pembaharuan, ia banyak mendalami imu-ilmu fiqih, hadis, dan lain-lain, sehingga ia menjadi tempat bertanya umat Islam seluruh dunia. Karena itu, pengetahuan beliau tentang hadis semakin dalam sehingga akhirnya ia menjadi pengibar panji-panji sunah di Mesir.

Babak berikutnya, pada tahun 1929, Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajar al-Islam yang mengulas masalah hadis dalam satu bahasan khusus (Bab VI Pasal 2). Kemudian , pada tahun 1353 H (1933 M), Ismail Adham mempublikasikan bukunya tentang sejarah hadis. Ia berkesimpulan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab sahih (antara lain Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim) tidak dapat dipertanggungjawabkan sumbernya. Menurutnya, hadis-hadis itu secara umum diragukan otentitasnya.


  1. Sumber :
  2. Zarkasih, Pengantar Studi Islam, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm. 120
  3. Zarkasih, Pengantar Studi Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Ressindo, 2012), hlm. 122
  4. Agus Sholahuddin, Agus Suydi, Ulumul Hadis (Bandung :Pustaka Setia, 2009) hlm. 210
  5. Zarkasih, Pengantar Study Hadis,( Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2012), hlm.128

Post a Comment for "Sejarah Perkembangan Ingkarus Sunnah"